Kisah Cinta Jalaluddin Rumi Yang Membawanya ke Tingkat Makrifatullah

Kisah Cinta Jalaluddin Rumi Yang Membawanya ke Tingkat Makrifatullah

Pecihitam.org – Sudah menjadi rahasia publik bahwa cinta kadang datang lewat sebuah pandangan. Melalui mata, seseorang mulai menumbuhkan rasa dalam dirinya. Mata juga seakan menjadi salah satu indra terpenting dalam kehidupan manusia, mulai dari untuk melihat keagungan Tuhan hingga menjadi sebab tumbuh dan bersemainya cinta dalam dirinya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di sisi lain, berbicara tentang cinta tak melulu hanya membahas hubungan hati antara pria dan wanita. Cinta seorang ibu kepada anaknya, cinta seorang murid kepada gurunya, dan bahkan cinta seorang hamba kepada Tuhannya juga merupakan perwujudan dari esensi sebuah cinta.

Menarik, Jalaluddin Rumi sosok pencetus whirling dervish dan salah satu sufi besar dunia juga pernah mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama.

Namun cinta Jalaluddin Rumi lewat pandangan pertamanya bukan untuk seorang gadis cantik nan jelita, melainkan untuk seseorang yang pada akhirnya menjadi guru spiritualitasnya. Dan ia adalah Syamsuddin Tabrizi, sang mentari dari kota Tabriz, Persia. 

Dalam banyak riwayat, dikisahkan bahwa pertemuan pertama kali antara Jalaluddin Rumi dan Syams Tabrizi terjadi pada tahun 642 H. Ketika itu Syams Tabrizi sedang berada dalam pengembaraan spiritualitasnya di kota Konya.  Bahkan Syamsuddin Aflaky dalam bukunya Manaqib al-‘Arifin menjelaskan secara detail dan seksama mengenai awal perjumpaan antara keduanya.

Al kisah, suatu hari ketika Jalaluddin Rumi telah selesai mengajar murid-muridnya di sebuah sekolah, ia bergegas untuk pulang ke rumahnya. Sesampainya Jalaluddin Rumi di depan pintu gerbang sekolah, dilihatnya ada sosok pria asing berdiri di depan gerbang sekolah seakan sedang menunggu seseorang. Tak disangka, ternyata pria itu menghampiri Jalaluddin Rumi seraya berkata:

Baca Juga:  Ajaran Tasawuf Sebagai Dasar dalam Memajukan Perdaban Islam di Indonesia

“Menurutmu mana yang lebih mulia antara Nabi Muhammad Saw. ataukah Abu Yazid al-Bustami?”

Dengan tegas Rumi menjawab:

“Jelas dan tiada keraguan lagi bahwa Nabi Muhammad Saw. lah yang lebih mulia.”

Lalu Syams Tabrizi kembali menimpali:

“ Jika memang Nabi Muhammad Saw. lebih mulia dari Abu Yazid, kenapa Nabi Muhammad Saw. malah tawaduk? Dan berkata: Tuhanku, maaf jika aku tak mengenalmu dengan sebaik-baiknya pengenalan. Sedangkan Abu Yazid malah berkata: Maha suci aku dan beta agungnya aku.”

Mendengar pernyataan yang tidak biasa dari Syams Tabrizi tadi, membuat Jalaluddin Rumi kaget dan pingsan tak sadarkan diri tepat di hadapan Syams Tabrizi. Dan sejak saat itulah, Syams Tabrizi mulai mendapat tempat di hati Jalaluddin Rumi. 

Bulan mulai berganti, semakin hari semakin intim hubungan antara Rumi dan Syamsuddin Tabrizi. Syams yang terkenal sebagai sufi pengembara yang selalu berjalan dan menyusuri setiap sudut dunia, akhirnya menghentikan langkahnya di kota Konya karena telah menemukan Jalaluddin Rumi, sosok yang dianggapnya tepat untuk saling bertukar suara. Keduanya saling memberi dan memotivasi, Rumi menjadikan Syams Tabrizi sebagai gurunya, dan Syam memposisikan diri sebagai muridnya.

Baca Juga:  Sang Sufi Legendaris Jalaluddin Rumi dan Jejak Hidupnya

Namun ketika cinta keduanya sedang merekah, banyak orang-orang yang menyalahkan kehadiran Syams Tabrizi. Iya, setelah Syams Tabrizi datang dalam kehidupan Jalaluddin Rumi, banyak dari murid-muridnya merasa terduakan oleh cinta Rumi. Bahkan sebagian dari orang terdekat Rumi ingin menjauhkan Syams Tabrizi dari kehidupan Rumi.

Syams Tabrizi yang merasa dengan kehadirannya di lingkungan Rumi membuat para muhibbin Rumi terganggu, akhirnya memilih untuk hijrah secara diam-diam tanpa sepengetahuan Rumi menuju kota Damaskus, Syiria. Sungguh, perpisahan yang sangat tak diinginkan oleh Jalaluddin Rumi.

Menanggung beratnya suatu perpisahan membuat Jalaluddin Rumi terus-menurus menulis surat untuk Syams Tabrizi. Ratusan surat telah tertulis dan ratusan surat telah terbaca, namun itu semua tak mengubah keputusan Syamsuddin Tabrizi untuk kembali ke Konya. 

Hingga akhirnya, Rumi mengutus anaknya dan beberapa muridnya untuk menjemput langsung Syams Tabrizi di Damskus, Syiria. Singkat cerita, Syams Tabrizi akhirnya mau diajak kembali ke Konya untuk bertemu dengan Rumi kembali.

Namun lagi-lagi sesampainya di Konya, banyak yang menentang kehadiran Syams Tabrizi, dan perpisahan pun kembali terjadi. Perpisahan ini adalah perpisahan terakhir Rumi dan Syams Tabrizi, karena menurut pendapat yang muktabar Syams Tabrizi telah terbunuh secara tersembunyi.

Mendengar kabar bahwa guru serta kekasihnya telah meninggal membuat Jalaluddin Rumi tak percaya, hingga suatu saat dalam kesedihan yang sangat dalam Rumi bersenandung:

Baca Juga:  Inilah Pembagian Macam-Macam Khauf Menurut Para Ulama Tasawuf

که گفته که آن زنده جاوید بمرد

که گفته که آفتاب آمید بمرد

آن دشمن خرشید بر آمد بربام

دو چشم ببست گفت خورشید بمرد

Artinya:

“Siapa yang berkata: ia yang abadi telah mati
Siapa yang berkata: matahari harapan telah mati
Ia yang benci akan hadirnya sosok matahari
Merangkak naik ke atap, menutup kedua mata dan berkata: matahari telah mati.”

(Rumi, Divan e Syams, Rubaiyyat, 84)

Dan waktu pun berlalu, perlahan Rumi mulai memahami bahwa Syams Tabrizi telah mati dan dia hanya sebagai perantara bagi Rumi untuk mengenal lebih dalam Allah Swt.

Kini Rumi tak lagi mengejar raga Syamsuddin Tabrizi, karena sekarang baginya Syams selalu hadir dalam hatinya. Dan melalui kematian Syams Tabrizi pula Rumi akhirnya memberi kabar kepada seluruh alam raya bahwa Allah Swt. lah Dzat yang benar-benar ada dan abadi.

محویم به حسن شمس تبریزی

در محو نه او بود نه ماییم

Artinya:

“Aku tiada melalui langkah Syams Tabrizi
Sebenarnya, aku tak pernah ada, pun Syams Tabrizi.”

Wallahu ‘alam


Penulis: Muhammad Hilal Zain
Editor: Resky S

M Resky S