Tidak Adanya Konsistensi Wahabi dalam Penggunaan Dalil

Tidak Adanya Konsistensi Wahabi dalam Penggunaan Dalil

PeciHitam.org Konsistensi berpikir dalam menentukan sebuah hukum memang sangat diperlukan, meskipun dalam Islam sendiri banyak ditemui pengecualian-pengecualian pada hukum tertentu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kepentingan konsistensi kiranya harus banyak dipertanyakan kepada golongan salafi wahabi yang sangat sering menuduh Muslim lainnya beribadah/ amaliah tanpa dalil.

Anggapan golongan mereka adalah yang paling sesuai dengan Nabi SAW, karena langsung merujuk kepada keduanya. Namun disatu sisi mereka menuduh amaliah Muslim (semisal NU) sebagai bid’ah, sesat dan musyrik. Tuduhan tersebut tentunya tidak menggunakan dalil nash Al-Qur’an dan Hadits namun menggunakan dalil sendiri.

Jargon ‘mana Dalilnya?’, ‘Mana Tuntunannya?, ‘Tidak ada ayat atau dalil khusus’, ‘Nabi tidak pernah melakukan itu’ dan lain sebagainya. Menegasikan amaliah dengan pertayaan jahil tersebut menunjukan kualitas salafi wahabi yang hanya mampu menuduh, tanpa bisa mengelak ketika ada dalil. Berikut argumentasinya!

Cacat Nalar Salafi Wahabi

Klaim wahabi salafi yang paling gampang untuk menuduh golongan disebarang  tidak sesuai dengan Islam cukup murahan, dengan hanya ‘Tidak ada Dalil Khusus’ atau ‘Nabi Tidak Pernah Melakukan Hal Tersebut’.

Sebagaimana tidak adakan ditemui Nabi SAW membawa Maulid Diba’, Al-Barzanji dan kitab Shalawat lainnya, lah wong kitab tersebut muncul jauh setelah Nabi SAW.

Baca Juga:  Pandangan KH Hasyim Asy'ari Tentang Salafi Wahabi Dipelintir oleh Minhum

Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawwas juga sering menyerang tindakan spontan dan bentuk kecintaan Muslim kepada Al-Qur’an dengan menciumnya setelah membaca.

Cacatnya, beliau menuduh perbuatan tersebut sebagai bid’ah atau bahkan musyrik karena mencium Mushaf al-Qur’an. Alasannya adalah Nabi SAW tidak pernah mencontohkan demikian.

Bagaimana mungkin Nabi SAW mencontohkan untuk menciuam mushaf al-Qur’an yang mana baru tersusun secara sempurna pada masa Utsman bin Affan. Sekira 12 tahun setelah kewafatan Nabi Muhammad SAW.

Bisa jadi, pola nalar salafi wahabi adalah kecacatan yang diakibatkan terlalu kontekstual dalam memahami teks al-Qur’an atau hadits Nabi SAW.

Syamsul Maarif menyadur pendapat Imam Qarafi bahwa larangan untuk melakukan penafsiran dan pemahaman teks Agama dengan Tekstual semata;

الجمد على المنقولات ابدا ظلال في الدين، وجهل في المقاصد العلماء المسلمين

“Bahwa cara berpikir tekstual yakni al-jumud ‘ala almanqulat (statis pada teks-teks nash) yakni Al-Qur’an dan al-Hadits saja bisa mengarah kepada kesesatan dalam beragama. Kesesatan dalam agama kalau (pemahaman) hanya tekstual selamanya, dan merupakan kebodohan, ketidakpahaman terhadap apa yang dimaksud oleh ulama terdahulu dan ulama-ulama salaf.”

Umum Khusus dalam Penggunaan  Dalil

Imam Qarafi dengan jelas mengatakan bahwa penggunaan interpretasi teks saja dalam segala aspek keagamaan berbahaya. Karena setiap makna dalam sebuah bahasa memiliki kandung luas yang mencakup beberapa aspek, baik budaya, konteks, kinayah, majaz, umum-khusus dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Dauroh Adalah Bid'ah Yang Dilakukan Wahabi Setiap Hari Minggu

Maka dalam mempelajari al-Qur’an diperlukan perangkat Ulumul Qur’an yang bisa didapatkan ketika mempelajarinya dengan concern tinggi, bukan 2 minggu ketika pesantren kilat.

Penulis sangat jengah ketika amaliah Muslim Nusantara tertuduh bid’ah, musyrik, dan sesat. Dan kemudian bertanya ‘Mana Dalilnya?’ atau ‘Ada tidak Tuntunanya’. Karena maksud pertanyaan tersebut bukan semata-mata bertanya namun bertanya untuk menyalahkan.

Sebagai contoh adalah tuduhan syirik atau bid’ah sebuah Majlis Diba’ atau Shalawat, yang selalu dipertanyakan ‘Pernahkan Nabi membaca tersebut?’. Tentu jawabannya tidak, karena pada masa itu belum ada kitabnya. Salafi wahabi seringjuga menuduh Membaca Yasin pada malam Jumat adalah Bid’ah karena tidak ada Anjurannya.

Maka dalam kerangka ini salafi wahabi benar-benar menunjukan kebodohan dan sama sekali tidak paham kategorisasi Umum-Khusus dalam Islam. allah SWT berfirman;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٧٧

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (Qs. Al-Hajj: 77)

Bahwa ayat tersebut sangat membuka pintu selebar-lebarnya untuk beramal/ amaliah apapun selama baik maka bermakna Ibadah. Membaca Surat Yasin, dikhususkan atau tidak tetap baik sebagaimana pesan surat Al-Hajj ayat 77 tersebut. Pun dalam kaidah Ushul diterangkan;

Baca Juga:  Mr. Hempher dan Perannya Terhadap Muhammad Ibn Abdul Wahab (Bag 1)

العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ

Artinya; ‘Dalil yang Umum dapat diterapkan dalam semuan bagian-bagian yang mencakupnya.

Maka tuduhan tidak ada dalil khusus atau Nabi SAW tidak pernah melakukannya adalah murni Dalil buatan kelompok salafi wahabi. Dan bisa jadi berasal dari Nafsu mereka yang tidak suka dengan amaliah sesama Muslim.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan