Media Sosial; Sekedar Berinteraksi, Edukasi, Hingga Menambah Ketaqwaan

Media Sosial Menambah Ketaqwaan

Pecihitam.org – Media sosial sebagai bagian dari media komunikasi massa diharapkan menjadi fungsi sosial di era digital. Mulai dari fungsi informasi, edukasi hingga hiburan. Lebih dari itu, jika dikaitkan dengan nilai agama, media sosial mestinya menjadi alat untuk menambah dan meningkatkan ketaqwaan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hal ini mengingat bahwa tujuan akhir dari interaksi sosial adalah meningkatnya ketakwaan, sebagimana firman Allah. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS al-Hujurat [10]: 13)

Begitulah ilustrasi hidup bersosial di dunia nyata sebagai masyarakat: tercipta berbeda, dijadikan beragam, diperintahkan hidup bersosial, saling memperbaiki untuk meningkatkan ketaqwaan.

Lalu bagaimana di dunia maya yang menggunakan media sosial, semisal FB, WA, Twitter, Instagram dan sejenisnya? Seharusnya sama, mengikuti tuntunan pola yang digariskan di dalam QS. al-Hujurat ayat 13 itu.

Pengguna medsos adalah orang dengan jenis kelamin berbeda, latar belakang yang beragam, kemudian berteman, join, berkomunikasi, sharing, dan diskusi. Semuanya itu harus dibangun atas dasar menuju peningkatan ketaqwaan.

Mengaitkan media sosial dengan menambah ketaqwaan sangat urgen. Karena hakikat taqwa adalah menjaga. Ini dapat dipahami dari pengertian taqwa itu sendiri baik secara bahasa maupun istilah.

Secara kebahasaan, taqwa berasal dari kata waqa yang bermakna ‘menjaga’. Sedangkan menurut istilah Islam, taqwa merupakan definisi dari sikap melakukan segala perintah dan menjauhi segala larangan.

Maka dalam aktivitas berselancar di media sosial penting bagi kita ntuk menjaga: menjaga perasaan pengguna lain dengan tidak membuat caption atau TS yang menyinggung, mengkritik secara berlebihan, menghina tokoh, organisasi atau paham keagamaan tertentu. Penting untuk menjaga jemari kita agar senantiasa mengetikkan, mengunggah, mengunduh konten-konten yang dilarang agama.

Baca Juga:  Keutamaan Silaturahmi Dalam Islam dan Ancaman Memutus Silaturahmi

Jika membaca Al-Qur’an dan merenungkan maknanya, maka kita akan mendapatkan dua ciri umum orang bertaqwa. Pertama, ciri berkaitan dengan kehidupan sosial. Kedua, ciri yang melekat sebagai makhluk individual. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT. dalam QS Ali Imran [3]: 134-135.

(orang-orang yang bertakwa itu adalah) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS Ali Imran [3]: 134-135.

Ayat 134 memaparkan ciri orang bertaqwa sebagai makhluk sosial. Sedangkan ayat 135 berbicara tentang cirinya sebagai makhluk individual. Ciri pertama, yakni ciri orang bertakwa sebagai makhluk sosial inilah menjadi titik tekan tulisan ini.

Menafkahkan harta baik di waktu lapang maupun sempit, menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Itulah ciri takwa sosial sebagaimana ayat 134 di atas. Lalu bagaimana media sosial dapat menjadi media agar menambah ketaqwaan kita?

Pertama, menafkahkan harta lewat media sosial

Harta tidak hanya uang. Dan yang dimaksud orang yang berinfaq pun tidak terbatas pada orang yang mendonasikan harta. Tidak sesempit itu, baik secara pemahaman agama maupun menurut istilah sosial yang berlaku.

Begini. Ketika di FB misalnya, ada informasi anak penderita penyakit tumor ganas yang butuh donasi untuk biaya operasi atau lembaga pendidikan yang kebakaran butuh uluran tangan para dermawan.

Baca Juga:  Jenis dan Syarat Asuransi yang Diperbolehkan dalam Islam

Walaupun tidak bisa membantu dalam bentuk uang, minimal kita ikut men-share informasi tersebut secara massal atau kepada orang-orang yang kita anggap mampu. Maka, paket data atau pulsa yang kita gunakan untuk men-share hakikatnya adalah bagian dari infaq yang tidak sia-sia.

Apalagi jika salah satu dari penerima informasi itu kemudian benar-benar berinfaq, maka tak berkurang pahala kita, sama dengan pahala orang yang berderma tersebut. Bukankah orang yang menunjukkan kepada kebaikan (walaupun ia tidak mampu untuk melakukannya) baginya pahala sama dengan pahala pelaku kebaikan itu?

Kedua, menahan emosi di media sosial

“Orang kuat bukanlah yang menang dalam pergulatan, akan tetapi orang yang kuat ialah yang mampu menahan nafsunya ketika marah”, begitulah sabda Rasulullah sebagimana hadis yang bersumber dari Abu Hurairah yang kemudian diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Kita harus kuat menahan emosi di media sosial. Tidak mudah terpancing. Tidak sedikit-sedikit, mengomentari. Tidak gegabah men-share informasi tentang penistaan. Tidak salah memahami informasi yang sudah “digoreng”. Itu semua harus kita terapkan di media sosial sebagai aplikasi dari ketakwaan sosial. Mengapa?

Karena bisa jadi informasi itu hoax. Tidak menutup kemungkinan informasi itu benar sebagian, tapi unsur dustanya lebih banyak. Kemudian semua itu ‘digoreng’ sedemikan tongseng dengan tujuan memecah belah persaudaraan dan persatuan.

Ketiga, memaafkan kesalahan orang di media sosial

Memaafkan itu menentermakan. Lalu, mengapa kita masih memilih tidak memaafkan, terlebih bagi yang jelas-jelas sudah meminta maaf. Begitu banyak anjuran agama dan dipraktekkan oleh Rasulullah tentang memberikan maaf, bahkan kepada yang tidak mengakui kesalahannya.

Baca Juga:  Mengatasi Krisis Kebahagiaan dengan Berdzikir

Mari posisikan orang yang salah sebagai orang yang sedang salah. Siapa pun kita, pasti pernah berada pada posisi sedang salah. Maka hal terbaik adalah menafkahkan,, bukan mengutuk.

Dulu – semoga sampai sekarang – kita dikenal sebagai bangsa pemaaf. Semangat ajaran Islam pun mengedepankan perbaikan, bukan menghakimi. Apalagi kita hidup di negara hukum, maka biarlah informasi tentang kesalahan orang yang tersebar di medsos menjadi ranah penegak hukum. Keberadaan kita adalah sebagai pengguna di medsos, bukan hakim, apalagi berkomentar serapah.

Sekalipun mau menyampaikan kritik, maka sesuaikan dengan adabnya. Tidak dengan cacian dan kata-kata kotor. Karena kebenaran itu cukup dengan disampaikan, tidak butuh bumbu-bumbu rempah serapah.

Akhirnya, selain penting menjaga nilai taqwa di dunia nyata bersama masyarakat yang plural, marilah jaga ketakwaan di media sosial dengan berbagi informasi yang bermanfaat, menahan diri dari komentar yang tidak pantas dan memaafkan kesalahan warga net lainnya.

Itulah aplikasi dari ketaqwaan sosial di media sosial. Karena dalam kondisi tertentu kadang ketakwaan sosial lebih penting daripada ketakwaan individual. Ini sebagaimana dapat kita pahami dari firman Allah yang mendahulukan ciri ketakwaan sosial pada ayat 134, baru ciri ketakwaan individual pada ayat 135 dalam QS. Ali Imran. Wallahu a’lam

Faisol Abdurrahman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *