PeciHitam.org – Muhammad Syahrur merupakan Profesor Teknik Sipil Emeritus di Universitas Damaskus yang mencurahkan perhatiannya pada pemikiran keislaman. Ia lahir di Damaskus, Suriah, 11 April 1938 dan meninggal pada tanggal 22 Desember 2019 di usia 80 tahun.
Muhammad Syahrur terkadang melakukan pemaknaan terhadap terminologi al-Quran menurut perspektif teori ilmu pengetahuan, seperti ketika ia menjelaskan hukum dialektika alam (jadal al-kawn). Ia memandang pemaknaan ra‘ad (kilat) pada surat al-Ra’d ayat 13 yang di jelaskan hadis Nabi dengan “malaikat yang menggiring mendung dan angin ke arah yang dikehendaki Allah” sebagai pemaknaan yang sangat dangkal bila ditinjau dari sudut pandang sains modern.
Menurut Muhammad Syahrur, untuk mendapatkan kesesuaian al-Quran dengan ilmu pengetahuan harus selalu dilakukan penakwilan. Bahkan takwil harus berkembang terus-menerus tiada henti seiring dengan perkembangan dan kemajuan teori ilmu pengetahuan. Dari sini tampak bahwa takwil dalam perspektif Syahrur sangat bergantung kepada kemajuan sains.
Menurutnya, dengan teori takwil, seorang ilmuwan dapat merumuskan teori ilmiah, termasuk Carles Darwin yang dikenal dengan teori evolusinya, yang dipandang sebagai seorang penakwil sekalipun dia tidak pernah membaca al-Quran. Bila dicermati, dalam hal ini sains atau ilmu pengetahuan dijadikan tolok ukur Syahrur dalam memandang kebenaran.
Pembacaan dan pemaknaan al-Quran dengan melakukan penakwilan sedemikian rupa agar sesuai dengan sains merupakan sesuatu yang harus dilakukan karena menurutnya, pemaknaan tersebut tidak akan mungkin dilakukan tanpa bantuan teori sains modern. Dengan ini Syahrur ingin mengatakan, bahwa takwil sebagai pemaknaan al-Quran hanya bisa dilakukan melalui ilmu pengetahuan.
Melihat kepada pemaknaan yang dilakukan Syahrur, terdapat beberapa terminologi dalam ilmu pengetahuan yang diterapkan ke dalam penafsiran al-Quran. Ia mencoba menyeret makna al-Quran agar sesuai dengan penemuan-penemuan baru yang dicapai ilmu pengetahuan.
Padahal terminologi ilmu pengetahuan yang digunakannya, tergolong sebagai terminologi non-Qurani, karena bukan dari kajian al-Quran yang mempertimbangkan konteks diturunkannya al-Quran dengan berbagai aspeknya.
Artinya, terminologi atau pemaknaan yang diterapkan di dalam al-Quran pada awalnya merupakan kajian independen yang tidak melibatkan perangkat pemahaman al-Quran sama sekali, tapi murni kajian ilmu pengetahuan.
Cara seperti ini, dapat dianggap mengabaikan pemaknaan dengan mempertimbangkan historisitas sosial-masyarakat tempat turunnya al-Quran. Padahal untuk memahami makna al-Quran sangat penting mengetahui kondisi dan situasi dimana al-Quran diturunkan, agar pemaknaannya tidak kehilangan arti dasar dari tema awal historisnya yang akan mengantarkan kepada pemaknaan selanjutnya, karena jika tidak demikian pemaknaannya akan rentan mengalami misinterpretasi.
Pada segi ini dapat dikatakan, bahwa pemaknaan Syahrur tampak berusaha menempatkan gagasan non-Quraninya masuk ke dalam al-Quran. Padahal tindakan semacam ini merupakan pemaksaan yang berarti kesewenang-wenangan terhadap pemaknaan teks dan dipandang ahistoris.
Konsekuensinya, upaya memasukkan gagasan non-Qurani yang dilakukan dapat disebut sebagai bentuk justifikasi dari prakonsepsi dan asumsi Syahrur yang dibangun dari latar belakangnya sebagai orang tehnik sipil dan seorang ahli fisika.
Klasifikasi terminologi Syahrur yang lain pun perlu dikritisi. Munculnya pandangan untuk membedakan al-Kitab al-Risalah dan al-Kitab al-Nubuwwah sebagai akibat dari pembedaan istilah al-Quran dan al-Kitab merupakan implikasi dari pandangannya tentang tidak adanya sinonimitas dalam al-Quran. Prinsip ini muncul karena menurutnya setiap ada perbedaan istilah atau kata pasti juga terdapat aksentuasi makna yang berbeda.
Pembedaan yang telah dilakukan melalui kajian mendalam tentang al-Quran dan al-Kitab ini, dimaksudkan untuk membedakan metode yang harus digunakan dalam menafsirkan al-Quran. al-Kitab yang di dalamnya memuat ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat hukum sebagai al-Kitab al-Risalah) menurut Syahrur harus dipahami dengan metode ijtihad yang sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman.
Sementara ayat-ayat Al-Quran (ayat-ayat mutasyabihat sebagai al-Kitab al-Nubuwwah) dipahami dengan menggunakan ta’wil yang pemahamannya bisa tunduk kepada perkembangan ilmu pengetahuan yang bersifat nisbi (relatif). Asumsi Syahrur ini dapat dipandang sebagai konsistensi logis antara proposisi satu dengan proposisi lainnya dan masuk dalam teori koherensi.
Dilihat dari ini, tampaknya Syahrur ingin melakukan dekontruksi terhadap beberapa metodologi dan penafsiran yang dianut mayoritas umat Islam. Bagi Syahrur pembedaan ini merupakan langkah yang harus dilakukan dan tidak dapat ditawar lagi, karena pemahaman teks tidak ditentukan oleh latar ideologis dan geneologis sebuah metode, tapi oleh kontemporeritas dan relevansi metode, dengan karakter teks secara umum.