Menikahi Dua Perempuan Bersaudara Sekaligus, Bagaimanakah Hukumnya?

menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus

Pecihitam.org – Masalah perkawinan telah diatur oleh hukum syariat agama. Perkawinan menurut pendapat mayoritas ulama hukumnya adalah sunnah. Ada beberapa berkembang pertanyaan di masyarakat mengenai menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus, bagaimanakah pandangannya dalam hukum islam?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ulama Empat Madzhab fiqih, baik Madzhab Hanafi, Maliki Syafii dan Hambali sepakat berpendapat bahwa menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus hukumnya tidak Sah, dan akad tersebut fasid alias rusak bilamana ada seseorang yang menikahi dua perempuan yang masih satu saudara sekandung dan satu wali nikah.

Berikut selengkapnya penjelasan dari para ulama madzhab dalam Kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah, Juz 4, Halaman 68-74, terbitan Daar el Fikr:

Daftar Pembahasan:

Madzhab Hanafi

“Jika yang dimaksud tersebut adalah mengumpulkan dua orang perempuan yang bersaudari kandung, maka hukumnya tidak boleh atau tidak halal. Namun jika yang dimaksud itu, mengumpulkan dua akad dengan perempuan yang berbeda, beda wali nikah dan beda mahar maka Madzhab Hanafi membolehkannya atau nikahnya sah.”

Misalnyakan, ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang punya anak perempuan dari suami sebelum nya, karena akibat perceraian atau si suami sebelum nya itu meninggal. Lalu si laki-laki ini menikahi perempuan itu dan anak dari perempuan itu sekaligus. Maka karena ini beda wali nikah dan beda nasab. Maka yang demikian ini boleh dikumpulkan menjadi satu pernikahannya. Karena hal ini, keduanya (perempuan itu dan anak perempuan nya), bagi si laki-laki itu adalah wanita Ajnabiyah, perempuan lain.

Baca Juga:  Menikahi Janda, Haruskah Ada Wali? Ini Pendapat Ulama
Madzhab Maliki

“Dalam Madzhab Maliki menyebutkan, jika yang dimaksud mengumpulkan dua bersaudari sekaligus, maka mutlak haram hukumnya, atau tidak sah pernikahannya. Akad yang di anggap sah, ialah akad yang pertama, sedangkan akad setelahnya termasuk akad yang fasid atau rusak dan tidak sah.”

Lalu bagaimana jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan karena ditinggal mati atau bercerai dan punya anak perempuan dari pernikahan yang awal. Kemudian keduanya dinikahi si laki-laki itu? Madzhab Maliki mengatakan bahwa hal seperti itu haram atau tidak sah pernikahannya, karena menikahi anak dari perempuan itu sama saja haram kalau ibunya juga di nikahi nya. Intinya, Madzhab Maliki tidak membolehkan.

Baca Juga:  Menyusui Lebih dari Dua Tahun, Bagaimanakah Hukumnya?
Madzhab Syafii

“Dalam Madzhab Syafii, jika yang dimaksud adalah mengumpulkan dua bersaudari sekaligus dan menikahinya maka mutlak keharamannya, atau akad nya tidak sah.”

Bagaimana jika seperti kasus di atas, misalnya menikahi seorang perempuan yang punya anak perempuan. Keduanya dinikahi oleh si laki–laki itu? Madzhab Syafi’i berpandangan bahwa yang sah itu adalah akad nikah yang pertama.

Jika yang dinikahi itu lebih dulu si ibu dari anak perempuannya, maka akadnya yang sah yang pertama, begitu juga sebaliknya misalnya yang dinikahi itu anak perempuannya terlebih dahulu baru ibunya maka yang dianggap sah adalah akad dengan anak perempuan tersebut.

Madzhab Hanbali

“Jika yang dimaksud mengumpulkan dua bersaudari sekaligus dalam satu akad nikah, maka hukumnya Mutlak Haram, tidak Sah akad nya,” begitu pendapat Madzhab Hanbali.”

Bagaimana jika akad tersebut berturut-turut, dalam waktu yang berbeda atau si laki-laki itu tidak tahu atau tidak mengerti kalau kedua wanita yang dinikahi itu satu saudari kandung? Jika terjadi demikian si laki-laki itu mengerti dan paham kalau keduanya bersaudari, maka harus di ceraikan kedua-duanya sekaligus. Kalau si laki-laki itu tidak mau menceraikan, maka hakim yang harus turun tangan. Wallahua’lam Bisshawab.

Baca Juga:  Hukum Curi-Curi Pandang dalam Islam

Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari dan Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy.

Sumber: Berdasarkan tulisan KH. Fawaid Abdullah Tebuireng 1989-1999, yang sekarang sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *