Bahaya Penolakan Takwil yang Diusung Oleh Wahabi

Bahaya Penolakan Takwil yang Diusung Oleh Wahabi

PeciHitam.org Golongan yang menolak takwil salah satunya adalah salafi wahabi, dengan mengatakan bahwa kejelasan Al-Qur’an tidak memerlukan interpretasi tambahan. Bahkan dalam memahami ayat-ayat Mutasyabih yang memiliki interpretasi makna tidak eksplisit dimaknai tekstual oleh salafi wahabi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hasilnya adalah pola pemahaman dangkal yang seringkali disertai sumbu pendek ketika menyikapi suatu permasalahan. Karena mereka mencukupkan diri dengan makna dzahir hanya dari terjemahan saja, tanpa mendasarkan kaidah-kaidah bahasa lebih rinci.

Sedangkan dalam memahami al-Qur’an dari segi I’jaz bahasanya harus menggunakan perangkat Ilmu Balaghah, Badi’, Ma’ani atau Ilmu ‘Arudh.

Penolakan takwil dan pengingkaran terhadap pelakunya oleh salafi wahabi menjebak pola pikir mereka dalam keJumudan berpikir. Berikut ulasannya!

Ayat Mutasyabih dan Kecukupan Salafi wahabi

Kategorisasi ayat Al-Qur’an tidaklah seragam sebagaimana dipahami oleh salafi wahabi. Buktinya mereka menyamakan kategorisasi al-Qur’an adalah gebyah uyah atau generalisir berlebihan oleh kalangan salafi wahabi ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Dan bukti lain yakni mencukupkan diri dengan hanya berlajar hanya pada terjemahan sahaja.

Seluruh pembelajar bahasa, terutama I’jazul Qur’an dari segi bahasanya akan sangat maklum bahwa tidak selamanya teks mewakili makna. Terkadang, makna lebih luas cakupannya daripada diterjemahkan dalam ruang-ruang budaya yang terbatas.

Baca Juga:  Wahabi Mengharamkan Al-Barzanji, Katanya Terlalu Berlebihan Memuji Nabi SAW, Benarkah? (Bag I)

Oleh karenanya, dalam memahami bahasa Al-Qur’an harus menggunakan banyak perangkat ilmu guna memahami Al-Qur’an dan meminimalisir kesalahan.

Dalam kerangka kategori ayat Al-Qur’an setidaknya ada ayat ‘Am sebagaimana ayat tentang perintah shalat. Ia akan berlaku kepada siapapun, kapanpun dan dimanapun.

Berkebalikan dengan ayat khusus, maka harus ditempatkan dalam waktu. Situasi dan kondisi tepat. Sebagaimana ayat Jihad yang  terdapat dalam surat Ali Imran ayat 195.

Ayat tersebut tentunya hanya bisa diaplikasikan ketika masa-masa genting perang, atau berada diarea sekitar perang berkecamuk. Tidak akan tepat jika diterapkan dalam masa-masa damai dan diwilayah yang  damai. Disamping kategori tersebut, Allah SWT menyebut adanya klasifikasi ayat Muhkamah dan Mutasyabih seperti dalam ayat;

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ (٧

Artinya; “Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat” (Qs. Ali Imran: 7)

Bahwa ayat muhkamat sudah sangat jelas isi kandungannya, tidak memerlukan penjelasan lebih dalam untuk memahami makna kandungannya.

Baca Juga:  Gagal Paham Wahabi Tentang Hadis Safar, Kok Bisa Disamakan dengan Ziarah Kubur??

Sedangkan ayat mutasyabih memerlukan keterangan tambahan karena diasalnya memiliki banyak interpretasi. Dan salafi wahabi menolak interpretasi berlebih kepada ayat mutasyabih karena merasa cukup dengan makna tekstual.

Keniscayaan Takwil

Kecukupan salafi wahabi dalam memaknai ayat mutasyabih secara tekstual dieja-wantahkan dalam sikap penolakan mereka terhadap takwil. Prakteknya, cara pemaknaan tekstual kepada ayat-ayat mutasyabih menjadikan manusia tashawwur atas dzat Allah. Sebagaimana salafi wahabi banyak menyebutkan bahwa Allah SWT memiliki Jisim.

Ayat Mutasyabih sangat banyak didalam al-Qur’an, namun dari sekian ayat beberapa ayat yang sangat berisiko dimaknai secara tekstual adalah surat Al-Fajr ayat 22;

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (٢٢

Artinya; “Dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris” (Qs. Al-Fajr; 22)

Pada era sekarang tentunya ayat tersebut jika dimaknai secara literal merujuk kepada kedatangan Pejabat dengan derajat tinggi untuk memeriksa barisan.

Baca Juga:  Sejarah Berdirinya Wahabi, Berawal dari Gerakan Pemurnian Menuju Gerakan Takfiri

Bisa berupa seorang Jendral, Komandan Upacara, Inspektur Upacara dan Pimpinan sebuah Institusi. Namun apakah Allah SWT akan melakukan tindakan demikian pada hari Kiamat?

Tentunya pikiran Ahlussunnah wal Jamaah akan menolak demikian, karena mereka golongan yang mensucikan Allah SWT dari sifat-sifat makhluk. Maka dalam pandangan Sunni, kata ‘وَجَاءَ رَبُّكَ’-dan Datang-lah Tuhanmu dimaknai ‘وَجَاءَ (امر) رَبُّكَ’-dan datanglah (perintah) Tuhanmu.

Maka takwil dalam nalar salafi wahabi adalah untuk mensucikan Allah SWT serta sifatnya, sedangkan penolakan salafi wahabi menunjukan sikap sebalikanya. Yakni menyamakan Dzat Allah SWT dengan makhlukNya.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan