Perbedaaan Pondok Pesantren Dan Pendidikan Politik

Perbedaaan Pondok Pesantren Dan Pendidikan Politik

Pecihitam.org- Keberadaan pondok pesantren tetap mendapat tempat tersendiri di hati umat Islam, walau belakangan ini lembaga pendidikan modern lainnya kian berjubel. Bahkan, tidak sedikit masyarakat muslim puritan menganggap pendidikan pondok pesantren dan pendidikan politik (formal) adalah sama pentingnya.

Di pondok pesantren, para santri tidak hanya mendapatkan ilmu agama Islam, budaya literasi, managemen diri, kecapan hidup (life skill), ilmu etika, bahkan dasar-dasar politik juga acapkali diperoleh. Hanya saja ukuran keberhasilannya tidak terukur, dan terstandarkan.

Satu sama lainnya berbeda-beda, tergantung pada kesungguhan masing-masing, dan daya tangkap santri itu sendiri. Keberhasilan, dan ketuntasan pemahaman santri yang bersifat personal-kualitatif inilah yang menuai kritik tajam dari para kritikus dunia persekolahan modern.

Pendidikan politik adalah salah satu ragam pendidikan yang dibangun, dan ditumbuh kembangkan di pondok pesantren. Akan tetapi, cara, dan metode tidak didesain, apalagi dipersiapkan secara baik. Bahkan, sang empunya kiai, ustad, dan pengurus tidak sadar jika telah mengajarkan nilai-nilai pendidikan politik di pesantren.

Berbagai aktivitas yang mengarah pada pendidikan dasar-dasar politik seperti kebebasan menyampaikan pendapat, menghargai perbedaan, toleransi, dan budaya telah terpraktikkan di pesantren. Setidaknya ada lima aktifitas di pondok pesantren yang mengkondisikan para santri memahami nilai-nilai politik, yakni:

  1. forum diskusi (musyawarah) kitab;
  2. kajian al-Fiqh ‘alāalMadhāhib al-Arba’ah;
  3. forum khiṭābiyah;
  4. praktik budaya demokrasi;
  5. kajian bath al-masāil.

Forum Diskusi (Musyawarah) Kitab Kuning. Arena diskursus akademik tumbuh kembang dengan subur di pondok pesantren salah satunya melalui aktifitas musyawarah kitab kuning.

Baca Juga:  Tradisi Sedekah Bumi sebagai Warisan Islam Nusantara

Budaya shāwir, atau musyawarah adalah tradisi diskusi mendalam mengenai topik pembahasan sebuah mata pelajaran. Diskusi ini bersifat dinamis, dan tak jarang, di sana terdapat dialektika ilmiah serta perdebatan akademik yang terjadi antar peserta musyawarah.

Forum musyawarah kitab kuning biasanya dihelat melalui dua ranah, yakni diranah musyawarah reguler yang diatur, dan didesain oleh pengurus pesantren; dan diranah musyawarah insidental yang diinisiasi oleh masing-masing kelas disetiap tingkatan, masing-masing pengurus kamar pondok, dan organisasi kedaerahan asal santri secara mandiri.

Diskusi (musyawarah) kitab kuning menjadi momentum bagi santri dalam mengaktualisasikan diri mereka. Pendidikan politik pun acapkali mengalir begitu saja secara alami.

Bahkan, terkadang para santri tidak menyadari jika diri mereka tengah mendapatkan, dan mempratikkan politik itu sendiri. Topik diskusi biasanya menyesuaikan konsensus peserta diskusi. Adakala mendiskusikan pokok-pokok pengajaran yang sulit.

Adakala juga mendiskusikan tema-tema aktual. Sebut saja masalah hak, dan kewajiban warga terhadap negara, relasi agama, dan negara, masalah kepemimpinan, dan lain sebagainya.

Kajian al-Fiqh ‘alāal-Madhāhib al-Arba’ah. Kajian al-Fiqh ‘alāal-Madhāhib al-Arba’ah menjadi salah satu menu akademik tingkat tinggi bagi para santri senior.

Dalam al-Fiqh ‘alāalMadhāhib al-Arba’ahini disuguhkan berbagai persoalan, sekaligus pembahasannya dari perspektif Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Safi’i, dan Imam Hambali, dan para pendukungnya masing-masing. Pendidikan politik didapatkan para santri pada saat mengkaji pokok kajian hukum, kenegaraan, dan hak asasi manusia.

Baca Juga:  Misteri Dibalik Syair Kidung Wahyu Kolosebo Karya Sri Narendra Kalaseba

Forum khithābiyah dalam dunia persekolahan dikenal dengan sebutan orasi ilmiah merupakan ajang kontestasi akademik para santri untuk berproses menjadi (learning tobe), serta menggelar ilmu yang mereka peroleh.

Lebih dari itu, tak sedikit materi orasi ilmiah (khithābiyah) mengkritisi persoalan kebijakan pemerintahan, dan perpolitikan tanah air. Di area inilah para santri mendapatkan pendidikan politik secara alamiah, tanpa didesain, maupun diprogram terlebih dahulu.

Tak ayal, tatkala para santri kembali ke kampung halaman mereka masing-masing tidak sedikit diantara mereka yang terlibat ke dalam politik praktis, baik berkecimpung di partai politik Islam, maupun partai politik non Islam.

Parktik Budaya Demokrasi, Kebebasan berpendapat dan menentukan pilihan yang menjadi ciri utama demokrasi sesungguhnya telah dipraktikkan menahun di berbagai pondok pesantren di Indonesia. Hal itu tercermin dari cara santri memilih guru, dan kitab kuning pada saat bandongan, atau wetonan.

Kondisi semacam ini sama halnya layaknya Sistem Kredit Semester (SKS) pada dunia perkuliahan di perguruan tinggi. Lebih dari itu, kebebasan berpendapat, bersikap, dan berbuat juga dipratikkan oleh para santri dalam keseharian.

Walau budaya patronclient di pondok pesantren masih ada, namun kualitasnya mulai menurun sehingga para santri lebih independen dalam bersikap, berpendapat, dan bertindak.

Kajian Bath Masāil, Pendidikan politik yang didapatkan para santri dalam kajian bath al-masāil sangat beragam, dan kenyal makna. Hal ini dikarenakan di setiap pokok bahasan bath al-masāil berbasis pada persoalan sosial kemasyarakatan.

Baca Juga:  Islam dan Pancasila, Mengapa Tak Perlu Dipertentangkan?

Persoalan kebangsaan, bela negara, dan politik nasional merupakan deret persoalan yang acapkali dicarikan solusi dalam kajian bath al-masāil. Poin terpenting yang harus dipahami adalah bahwa melalui kajian bath al-masāil segenap civitas akademika pondok pesantren kiai, keluarga kiai, pengelola, pengurus, ustad, abdi dalem, dan santri dapat belajar, dan memahami persoalan politik secara mendalam.

Selain itu, kajian bath al-masāil pada persoalan politik juga memantik sense of politic, sekaligus penyadaran politik bagi para santri di pondok pesantren. Lebih dari itu, keikutsertaan, dan keaktifan sivitas pondok pesantren dalam mengikuti berbagai pembahasan bath al-masāil khususnya dalam topik-topik politik dapat mengkondisikan diri mereka secara unconsciousness pada ranah politik.

Dikemudian hari, mereka tidak lagi alergi dengan praktik-praktik politik didunia nyata (di masyarakat), bahkan menjadikan politik sebagai bagian dari alat dakwah mereka.

Mochamad Ari Irawan