Proyek “Angels and Demons” Gus Sholah

gus sholah

Pecihitam.org – Lebih dari 40 hari sudah Gus Solah meninggalkan kita. Pertengahan Maret lalu adalah peringatan 40 nya beliau wafat. Sebagai seorang tokoh bangsa, tentu banyak yang memiliki kenanangan mendalam bersama beliau. Meski tak secara langsung, kenangan secara institusional berikut ini entah bisa disebut sebagai kenangan bersama beliau atau tidak.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tahun 2015 saya mendapatkan grant hibah riset kompetitif dari Diktis Kemenag RI atas proposal saya yang berjudul “Pesantren dan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam di Jawa“. Riset yang disupervisori oleh Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan dan terbit di salah satu penerbit Yogyakarta tersebut membahas seputar fenomena relasi yang terjadi antara pendidikan tinggi dan pesantren utamanya pendidikan tinggi yang lahir dari rahim pesantren.

Tebuireng menjadi lokasi riset saya. Meski tak sempat sowan secara langsung kepada Gus Solah untuk mengambil data dari first handnya sebab kesibukan beliau, banyak data-data menarik yang saya temukan dari riset tersebut.

Saya masih ingat betul, dalam sesi presentasi di salah satu hotel di Semarang, argumentasi mendasar yang saya bangun untuk meyakinkan para reviewer bahwa proposal riset tersebut layak untuk didanai adalah; bahwa pesantren dan pendidikan tinggi adalah dua institusi yang merepresentasikan deametralnya perbedaan dua kultur pendidikan di Indonesia, meski begitu toh keduanya dewasa ini sering berada di bawah manajemen tunggal.

Pendidikan tinggi dikenal sebagai tradisi pendidikan barat, sementara pesantren adalah local genius Nusantara, ibarat kutub utara dan kutub selatan. Tahun 2002 ketika saya masih di pesantren, guru saya melarang santrinya, termasuk saya, untuk kuliah, bahkan di kampus berbasis Islam sekalipun, meskipun akhirnya saya tetap kuliah.

Baca Juga:  Kyai Maimoen Zubair dan Warisan Pemikiran Keislamannya

Memang dunia pesantren, dengan meminjam kerangka Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya “Traditional Islam in the Modern World”, adalah dunia tradisional Islam. Segala hal ihwal mengenai Islam tradisional diwariskan oleh peradaban Islam kepada dunia pesantren dengan berbagai macam bentuk dan coraknya.

Sementara Pendidikan tinggi adalah tempat dimana isu-isu mutakhir lahir. Ia lebih mengambil peran sebagai wadah “modernisasi” dan kepeloporan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ia juga menjadi inkubasi lahirnya gagasan serta isu mutakhir dalam berbagai bidang seperti sains, teknologi, kedokteran, informatika dan seterusnya.

Dekade 80-an, garis pemisah dua patron pendidikan tersebut sangatlah tegas. Pesantren lebih mencurahkan perhatiannya pada masyarakat pinggiran utamanya ketika LSM menjadi mainstream utama gerakan pemberdayaan masyarakat.

Pesantren seringkali dilibatkan sebagai mitra dalam pembangunan masyarakat pedesaan mengingat dari perspektif people centered development pesantren dianggap lebih dekat dan mengetahui seluk beluk masyarakat akar rumput. Sementara Pendidikan tinggi lebih merangkul masyarakat perkotaan yang dinilai telah siap dengan deru modernisasi.

Era 80-an telah berlalu. Kini kita banyak menyaksikan dua patron pendidikan yang memiliki garis perjuangannya masing-masing tersebut dikawinkan. Di Jawa Timur, ada lebih dari 180 pendidikan tinggi Keagamaan Islam swasta. Mungkin hampir separuh lebih dari jumlah tersebut lahir dari rahim pesantren.

Jika boleh dikata, Gus Solah adalah salah satu penghulu perkawinan dua patron pendidikan tersebut. Beliau membidani lahirnya UNHASY (Universitas Hasyim Asyari) Jombang, salah satu PTS besar di Jawa Timur. Tak tanggung-tanggung, ia lahir dari salah satu pesantren tertua di Indonesia. Tebuireng Jombang. Pesantren tua nan bersejarah yang lekat dengan atmosfir tradisionalisme Islamnya.

Baca Juga:  Herd Immunity, Mungkinkah Indonesia Terapkan Strategi Ini untuk Tangani Covid-19 ?

Bukan bermaksud melebih-lebihkan, namun dalam pandangan saya, apa yang dilakukan Gus Solah adalah sebuah proyek raksasa. Mengawinkan ilmu pengetahuan murni dengan agama. Dua entitas yang punya sejarah perseteruan panjang. Tidak hanya dalam Islam, setidaknya agama lain, Kristen misalnya juga punya rekam jejak mengenai perseteruan tersebut.

Ambil contoh misalnya, belum final betul, bagaimana mendialogkan bentuk bumi yang dalam fakta ilmiah berbentuk bulat, dengan bentuk bumi yang dalam fakta religius berbentuk hamparan (Periksa misalnya surah al-Hijr 19).

Sementara dalam agama Kristen, salah satu epic terbesar seputar perseteruan agama dan science adalah hukuman yang menimpa filsuf, astronom dan matematikawan kenamaan Galileo Galilei. Fakta ilmiah yang ditemukannya melalui sederetan riset ilmiah bahwa bumi mengelilingi matahari dianggap melawan doktrin dan kredo keimanan Kristiani yang menyatakan sebaliknya.

Novel fiksi karangan Dan Brown berjudul “Angles and Demons” yang diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama menceritakan pula bagaimana dua entitas tersebut berseteru. Begitu alot keduanya bertemu hingga yang satu diperumpamakan malaikat, satunya lagi iblis. Entah mana yang malaikat dan mana yang iblis, yang jelas novel dan film sekuel dari “the Davinci Code” tersebut menggambarkan diametralnya pertentangan science dan agama.

Dalam film tersebut banyak aspek-aspek ritual Kristen yang digugat dan dipertanyakan. Sekuel sebelumnya “The Davinci Code” bahkan di awal-awal masuknya novel tersebut ke pasaran, sempat ditarik peredarannya. Begitupula bagian filmnya yang menceritakan mengenai otentisitas ketuhanan Isa putra Maryam juga dipotong karena dikhawatirkan akan mendowngrade keimanan Kristiani.

Baca Juga:  Mengenang Gus Sholah; Keteladanan dan Kecintaanya Kepada NU

Seperti De Javu. Jika Dan Brown menggambarkan sulitnya kedua entitas tersebut dipertemukan melalui novelnya. Gus Solah mempertemukan keduanya dengan cara mereformasi sistem pendidikan pesantren Tebuireng Jombang.

Latar belakang pendidikan arsitektur ITB yang dimiliki Gus Sholah tentu punya andil besar bagi beliau dalam merestrukturisasi keduanya (ilmu pengetahuan dan agama). Sebenarnya UNHASY bukan satu-satunya racikan modernisasi sistem pendidikan model “Angels and Demons” yang dilakukan oleh beliau.

Wakil ketua Komnas HAM periode 2002-2007 tersebut juga mendirikan lembaga pendidikan baru bernama SMA Trensains (akronim dari pesantren dan sains). Sekolah hasil kerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tersebut menggabungkan sistem pendidikan agama model pesantren dan kurikulum nasional dengan sains.

Melalui reformasi pendidikan pesantren yang dilakukannya, Gus Solah tidak hanya mendobrak pakem pesantren selama ini tetapi juga melakukan langkah anti mainstream menghapus stigma jumud di tubuh pesantren.

Bisa jadi juga Gus Solah melakukan itu karena merindukan lahirnya ilmuwan besar Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Biruni yang tak hanya overdosis dalam beragama tetapi punya andil besar untuk kehidupan.

Muhammad Muchlish Huda