Sejarah dan Akar Radikalisme Atas Nama Agama di Indonesia

Sejarah dan Akar Radikalisme Atas Nama Agama di Indonesia

PeciHitam.org –  Radikalisme atas nama agama sebenarnya telah terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam studinya di Indonesia, India, dan Filipina, Stephen Frederic Dale menyebutkan bahwa pada masa penjajahan radikalisme atas nama agama di tiga negara tersebut diekspresikan dalam bentuk jihad fi sabilillah melawan pemerintahan kolonial.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Karena gerakan tersebut sesuai dengan agenda perjuangan kelompok kelompok nasionalis lainnya, yakni berperang mengusir penjajah, maka gerakan radikalisme tersebut dipandang sebagai perjuangan yang luhur dan heroik.

Setelah merdeka, riak-riak gerakan radikalisme agama mulai tampak, terutama dari kelompok-kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam.

Salah satu di antaranya yang terbesar adalah gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Kelompok ini kemudian ditumpas oleh Pemerintahan Soekarno karena dianggap sebagai pemberontak negara.

Demikian pula Gerakan Darul Islam yang digelorakan oleh Daud Beureuh di Aceh yang kemudian berkembang menjadi kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Meski karakter kelompok dan tipikal gerakannya sangat berbeda dengan kelompok-kelompok Islam radikal modern, namun falsafah dan tujuan gerakannya kurang lebih sama.

Pada masa Orde Baru, dengan model pemerintahan yang militeristik dan pendekatan represifnya, gerakan radikalisme berlabel agama hampir tidak memiliki ruang bernafas.

Dengan kekuatan militer yang kuat dan jaringan intelijen yang luas, Soeharto berhasil menumpas benih-benih kelompok tersebut sebelum dapat tumbuh dan berkembang.

Meski demikian, kelompok-kelompok  Islam radikal ternyata masih tetap eksis. Terbukti, meski intensitasnya sangat minim, tercatat beberapa kali aksi-aksi radikalisme berbau agama terjadi.

Baca Juga:  Heboh, Menag Sebut Radikalisme Masuk ke Masjid Lewat Orang 'Good Looking'

Seperti, kerusuhan Tanjung Priok pada tahun 1984, pembajakan pesawat Garuda Indonesia penerbangan Palembang-Medan pada tahun 1981 yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan diri Komando Jihad, pemberontakan Warsidi tahun 1989, pemboman Candi Barobudur tahun 1985, dan lain-lain.

Frekuensi kekerasan dan radikalisme atas nama agama mengalami peningkatan yang sangat tajam pasca runtuhnya Orde Baru. Bahkan, menurut Asfar, jumlah kasusnya meningkat tiga kali lipat dibanding sebelumnya.

Alam kebebasan seluas-luasnya yang disuguhkan oleh Era Reformasi memberikan ruang lebar bagi gerakan-gerakan radikal. Sejak tahun 2000, ditandai dengan peledakan bom mobil di Kedubes Filipina, Bursa Efek Jakarta (BEJ), dan bom malam Natal yang menewaskan belasan orang, aksi-aksi radikalisme yang menjurus pada terorisme terus terjadi.

Puncaknya adalah bom Bali pada 12 Oktober 2002, tepat 1 tahun 1 bulan dan 1 hari dari pemboman menara kembar WTC di New York Amerika Serikat. Dua bom meledak dalam waktu yang hamper bersamaan di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian Kuta Bali menewaskan lebih dari 200 orang.

Sejak peristiwa tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk membasmi kelompok-kelompok teroris dan sel-selnya. Enam hari setelah peristiwa berdarah tersebut pemerintah mengeluarkan Perpu Anti-Terorisme.

Perpu tersebut tidak hanya mengancam pelaku terror dengan hukuman seberat-beratnya, namun juga memberikan kewenangan aparat sebesarbesarnya untuk melakukan segala hal yang dianggap perlu termasuk menangkap orang-orang atau kelompok yang dicurigai atau berpotensi melakukan tindak terorisme.

Baca Juga:  Sejarah Awal Mula Diwajibkannya Puasa Ramadhan

Namun upaya tersebut belum dapat menghentikan aksi-aksi terorisme. Terbukti setahun berikutnya, bom berhulu ledak tinggi menghancurkan Hotel JW Marriot Jakarta dan menewaskan belasan orang. Disusul bom di kedubes Australia pada tahun 2004, bom Bali II pada tahun 2005, dan bom di JW Marriot dan Ritz-Carlton di tahun 2009.

Gejala kebangkitan Gerakan Islam radikal pada Era Reformasi, menurut Turmudi, sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1980-an.

Hal itu ditandai dengan menguatnya kecenderungan fanatisme Islam di kalangan masyarakat. Simbol-simbol Islam semakin marak digunakan dalam berbagai kegiatan.

Bahkan di ranah politik dan pemerintahan pun terjadi Islamisasi yang sangat kental.  Pemerintah Orde Baru, dengan Politik Akomodasi-nya, merangkul kelompok-kelompok dan ormas-ormas Islam yang sebelumnya mereka tekan.

Gejala ini juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan global di negara-negara Islam. Pada akhir 1970-an, berkembang gelombang ‘Pan-Islamisme’ atau ‘Revivalisme Islam’.

Gerakan yang diyakini  bermula dari Mesir dengan tokoh sentralnya Muhammad Abduh dan Rashid Ridha ini kemudian menginspirasi belahan dunia Islam yang lain untuk bangkit dan melawan sekularisme dan ideologi Barat.

Beberapa negara pada awal 1980-an bahkan telah menerapkan Syariat Islam sebagai dasar pemerintahan, seperti: Sudan, Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat, Pakistan, dan lain-lain.

Kelompok-kelompok Islam radikal di Timur Tengah pun bertumbuhan, seperti: Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizbut Tahrir di Yordania, Ba‘ats di Syiria, Hammas di Palestina, dan lain-lain.

Baca Juga:  Perjalanan Sejarah Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Nusantara

Bahkan kelompok- kelompok yang pada masa awal sering juga disebut ‘Gerakan Islam Baru’ (New Islamic Movement) tersebut kemudian berkembang melewati batas teritori negara, atau sering disebut dengan Gerakan transnasional.

Jika ditarik garis diametral, maka dapat terlacak bahwa hamper semua organisasi-organisasi radikal di Indonesia adalah produk impor dari Timur Tengah. Lasykar Jihad, gerakan Tarbiyah, dan kelompok-kelompok Salafi lainnya, pemikiran dan metode gerakan mereka sangat dekat dengan Ikhwanul Muslimin.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara resmi merupakan cabang dari Hizbut Tahrir Internasional yang berpusat di Yordania. Sedang Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), dalam penelitian Sidney Jones, disinyalir memiliki hubungan dengan Jama‘ah Islamiyah (JI) di Asia Tenggara dan memiliki kontak dengan Tandhim al- Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden

Mohammad Mufid Muwaffaq