Sidang Isbat; Pengertian, Metode dan Kontroversi tentang Ruhyah-Hisab

Sidang Isbat; Pengertian, Metode dan Kontroversi tentang Ruhyah-Hisab

PeciHitam.orgBagi Muslim, setiap mendekati Bulan Ramadhan pasti akan ramai menunggu pemerintah dalam penetapan awal puasa. Para muslim menunggu hasil pengamatan para saksi yang dikomandoi oleh Kementerian Agama. Sidang yang terkenal dengan Sidang Isbat dan banyak disiarkan secara langsung dalam televisi Nasional.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pemerintah melalui Kemenag mengakomodasi berbagai kepentingan ormas-ormas Islam dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Lembaga ini menjadi acuan umat Islam yang legitimate dalam kerangka Kenegaraan untuk menjalani ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh.

Daftar Pembahasan:

Istilah Sidang Isbat

Sidang Isbat (اثبات) secara morfologi berarti penyungguhan, penetapan, dan penentuan. Dalam aplikasinya Isbat dimaknai adalah sidang penetapan dalil syar’i di hadapan hakim dalam suatu majelis untuk menetapkan suatu kebenaran atau peristiwa yang terjadi. Penetapan kebenaran ini berkaitan dengan pernyataan melihat bulan sabit atau tidak sebagai awal masuknya bulan.

Dari segi hukum Isbat dipahami dengan kedatangan sang penuntut yang melihat atau tidak bulan sabit dan meminta untuk ditetapkan sebagai awal bulan.

Dalam melakukan tuntutan, mereka harus bersumpah di bawah Al-Quran sebagai jaminan tidak melakukan kebohongan. Bulan sabit sebagai awal masuknya bulan dinamakan hilal.

Isbat seharusnya dilakukan setiap akhir bulan untuk menentukan awal bulan depannya. Akan tetapi Isbat di pahami di Indonesia sebatas bulan-bulan tertentu yang berada di dalam kalender hijriyah, yaitu Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah.

Isbat Ramadhan untuk menentukan kapan mulainya Puasa Wajib, Isbat Syawwal untuk menentukan jatuhnya Idul Fitri dan Isbat Dzulhijjah untuk menentukan kapan jatuhnya Hari Arafah atau Idul Adha.

Selain 3 jenis Isbat tersebut, jenis Isbat lainnya yaitu berkaitan dengan pengesahan mempelai laki-laki dan perempuan kepada pengadilan untuk ditetapkan sebagai pasangan sah dalam Pernikahan.

Kontroversi Isbat Rukyah-Hisab

Banyak Ormas dan aliran tertentu biasanya memiliki cara penghitungan atau penetapan yang berbeda-beda dalam penentuan bulan-bulan penting. Keyakinan dalam Isbat berbeda menjadikan hari suci yang berbeda dengan yang telah ditetapkan dalam sidang Isbat pemerintah.

Perbedaan ini telah sering terjadi di Indonesia dan menyebabkan perbedaan pelaksanaan hari pertama puasa, Salat Idul Fitri, dan Salat Idul Adha.

Baca Juga:  Soal Penetapan Idul Fitri, Kemenag Sulsel: Kita Tunggu Hasil Sidang Isbat

Muhammadiyah, Ormas terbesar kedua di Indonesia, menjadi salah satu organisasi massa yang sering disorot karena membeda dalam sidang Isbat. Semenjak 2012 Ormas Muhammadiyah tidak pernah lagi hadir dalam sidang Isbat walaupun mereka mendapat undangan resmi.

Selain Muhammadiyah, beberapa Aliran kepercayaan juga berbeda dalam menentukan bulan-bulan penting seperti Aliran Satariyah di Medan, Naqsyabandiyah di Padang, dan An-Nasir di Sulawesi Selatan.

Pemerintah dalam menentukan awal bulan penting (baca: Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah) melakukan pengamatan dengan metode Rukyah al-Hilal (melihat bulan sabit langsung). Penggunaan metode ini merupakan metode turunan dari Sabda Rasul SAW;

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا

Artinya; Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan (bulan Syaban) menjadi tiga puluh hari. (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam Hadits lain juga diriwayatkan tentang cara menentukan awal dan akhir Ramadhan sebagai berikut;

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya; Dari Ibnu Umar RA, ia berkata Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Syaban menjadi 30 hari) (HR. Muttafaqun alaih)

Dua hadits yang menjadi dasar pemerintah dalam menentukan awal-awal bulan penting menggunakan metodologi Ruyatul Hilal.

Penggunaan metode kedua yang sering berselisih hari dengan pemerintah adalah penggunaan metode Hisab. Metode ini yaitu penentuan awal bulan dengan menggunakan ilmu matematis digabungkan dengan astronomi guna penentuan awal bulan.

Metode ini mendasarkan pada kemajuan ilmu pengetahuan bisa menggugurkan dalil yang pada masa lampau belum ditemukan ilmunya. Metode ini sangat praktis, karena tidak memerlukan banyak sumber daya manusia untuk melihat hilal.

Cukup dihitung jauh-jauh hari sudah bisa ditentukan. Beda dengan ruyatul hilal yang harus mendekati tanggal akhir bulan.

Baca Juga:  Kemenag: Sidang Isbat Penetapan 1 Syawal 1441H Digelar 22 Mei

Akan tetapi dua Hadits di atas menunjukkan bahwa penentuan awal Ramadhan dengan dua cara, yaitu Ruyatul Hilal atau dengan Istikmal (penggenapan jumlah hari dalam sebulan menjadi 30).

Sedangkan cara hisab hanyalah sebagai alat bantu saja untuk memperkirakan posisi bulan, baik sudut lintang dan bujur, bukan sebagai rujukan utama.

Imkanu Rukyah dalam Metode Rukyah dan Hisab

Memahami perbedaan dalam penentuan Ramadhan, Idul Adha dan Idul Fitri perlu memahami sudut pandang dalam penghitungan Isbat. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, berpegang pada kaidah astronomi tentang kriteria imkanu rukyah (Visibilitas dapat dilihat) berdasarkan data Imkanu Rukyah di Indonesia.

Kriteria yang digunakan Badan Hisab Rukyat Depag RI dari kesepakatan Musyawarah III MABIMS 1992 adalah kriteria Imkanu Rukyah sebagai berikut;

  1. Tinggi hilal (bulan sabit) minimum 2 derajat
  2. Jarak bulan dari matahari minimum 3 derajat
  3. Umur bulan dihitung sejak saat ijtimak (Konjungsi Geosentris) pada saat matahari terbenam minimum 8 jam. ijtimak (Konjungsi Geosentris)peristiwa bumi dan Bulan dalam garis Bujur sama

Kriteria Imkanu Rukyah tersebut lebih rendah daripada kriteria yang diakui para astronom.

Hal lain yang berbeda dari ketentuan prasyarat dasar yaitu pendapat Muhammadiyah. Kriteria Imkanu Rukyah tidak diakui oleh Muhammadiyah.

Ormas Muhammadiyah saat ini yang mengunakan adalah kriteria wujudul hilal. Mereka membuat kriteria-kriteria sebelum dilaksanakannya dalam kerangka wujudul hilal (munculnya bulan sabit) yaitu;

  1. Telah terjadi Ijtimak (Konjungsi Geosentris), yaitu peristiwa bumi dan Bulan dalam garis Bujur sama,
  2. Ijtimak (Konjungsi Geosentris) itu terjadi sebelum matahari terbenam,
  3. Pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).

Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus, tidak menjadi sah jika salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai. Dari metode ini, bila posisi hilal (bulan sabit) pada saat matahari terbenam sudah di atas ufuk, berapapun tingginya, asal lebih besar dari pada NOL derajat, maka sudah dianggap masuk bulan baru.

Mendudukan Isbat Rukyah-Hisab

Sebagaimana yang telah kita ketahui, sidang isbat di Indonesia didasarkan pada rukyat dan hisab. Masing-masing digunakan oleh dua ormas terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah.

Baca Juga:  Inilah 3 Hikmah Disyariatkannya Nikah, Pasutri Wajib Baca!

Perbedaan Isbat Rukyah dan Hisab merupakan masalah sederhana. Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN dan Anggota Badan Hisab Rukyat, menjelaskan tentang perbedaan wujudul hilal dan Imkanu Rukyah sebagai berikut;

Bahwa perbedaan dalam penentuan Ramadhan, Idul fitri, Idul Adha bukan berakar dari Hisab dan rukyah akan tetapi pada kriteria yang digunakan Kementerian Agama dan Muhammadiyah.

Lebih spesifiknya merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (angka matematis, tidak menjadi angka realitas), sudah kategori bulan baru.

Sedangkan yang tepat dalam bentuk Hadits adalah (رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا) yang dibahasakan menjadi Imkanu Rukyah, (batas kemungkinan untuk diamati). Imkanu Rukyah dalam pendapat yang digunakan di Indonesia adalah sebesar 2 Derajat. Jika kurang dari itu akan sangat sulit untuk bisa melihat hilal sebagaimana diwartakan dalam Hadits Nabi SAW

Jika kedua kriteria ini tidak bisa berdamai atau harus memilih salah satu maka bisa dipastikan akan sering terjadi perbedaan dalam bulan-bulan penting (baca: Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha).

Demikianlah beberapa penjelasan penting mengenai sidang isbat. Semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar hal tersebut. Ash-Shawabu Minallah.

Mohammad Mufid Muwaffaq