Surah An-Nur Ayat 1-2; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah An-Nur Ayat 1-2

Pecihitam.org – Kandungan Surah An-Nur Ayat 1-2 ini, sebelum membahas kandungan ayat, mari kita terlebih dahulu mengetahui intisari dari surah ini. jadi, adalah Surah ke-24 dari Al-Qur’an. Surah ini terdiri atas 64 ayat, dan termasuk golongan surah Madaniyah. Dinamai An-Nur yang berarti Cahaya yang diambil dari kata An-Nur yang terdapat pada ayat ke 35.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam ayat tersebut, Allah s.w.t. menjelaskan tentang Nur Ilahi, yakni Al-Quran yang mengandung petunjuk-petunjuk. Petunjuk-petunjuk Allah itu, merupakan cahaya yang terang benderang menerangi alam semesta. Surat ini sebagian besar isinya memuat petunjuk- petunjuk Allah yang berhubungan dengan soal kemasyarakatan dan rumah tangga.

Surah ini dibuka dengan penegasan bahwa ketentuan hukum Allah wajib dilaksanakan. ‘Inilah suatu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan bagi kamu untuk menjalankan hukum-hukum di dalam-nya, dan Kami turunkan di dalamnya tanda-tanda yang jelas tentang kekuasaan dan keesaan Kami agar kamu selalu ingat dan mengambil pelajaran darinya.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nur Ayat 1-2

Surah An-Nur Ayat 1
سُورَةٌ أَنزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَّعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Terjemahan: (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.

Tafsir Jalalain: Ini adalah سُورَةٌ أَنزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا (suatu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan) dapat dibaca secara Takhfif, yaitu Faradhnaahaa, dapat pula dibaca secara Musyaddad, yaitu Farradhnaahaa. Dikatakan demikian karena banyaknya fardu-fardu atau kewajiban-kewajiban yang terkandung di dalamnya,

وَأَنزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ (dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas) yakni jelas dan gamblang maksud-maksudnya لَّعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (agar kalian selalu mengingatnya) asal kata Tadzakkaruuna ialah Tatadzakkaruuna, kemudian huruf Ta yang kedua diidgamkan kepada huruf Zal, sehingga menjadi Tadzakkaruuna, artinya mengambil pelajaran daripadanya.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah berfirman bahwa ini adalah surah yang Kami turunkan. Firman Allah ini berisi peringatan agar surah ini diperhatikan dengan benar, dan ini bukanlah berarti menafikan surah-surah yang lainnya. Kemudian berkenaan dengan firman Allah:

وَفَرَضْنَاهَا (“Dan Kami wajibkannya.”) Mujahid dan Qatadah mengatakan: “Yakni Kami menerangkan perkara halal dan haram, perintah dan larangan serta hudud [ketetapan-ketetapan hukum].” Al-Bukhari mengatakan: “Bagi yang membaca: ‘faradl-naaHaa, artinya Kami mewajibkannya atas kamu dan atas orang-orang yang datang setelah kamu.”

Firman Allah: وَأَنزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ (“Dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas.”) yaitu terperinci dan jelas. Tujuannya adalah: لَّعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (“agar kamu selalu mengingatnya.”)

Tafsir Kemenag: Allah menjelaskan bahwa surah ini mengandung dua hal. Pertama, hukum-hukum yang wajib dipatuhi seperti yang akan disampaikan dalam ayat-ayat berikutnya mengenai zina, menuduh perempuan berzina, dan sebagainya.

Hukum-hukum itu, bila dipikirkan oleh manusia dengan pikiran yang obyektif, pasti akan diakui bahwa ketentuan-ketentuan itu benar dan berasal dari Allah bukan buatan manusia. Semua itu diturunkan untuk ditaati dan dijalankan dalam kehidupan. Kedua, bukti-bukti nyata yang menunjuk-kan kekuasaan dan keesaan Allah di dunia ini.

Tafsir Quraish Shihab: Inilah surat yang Kami wahyukan dan Kami wajibkan hukum-hukum yang dikandungnya. Di dalamnya Kami menurunkan bukti-bukti yang jelas mengenai kemahakuasaan dan kemahaesaan Allah, dan bahwa kitab suci ini benar-benar berasal dari Allah agar kalian dapat mengambil pelajaran darinya.

Surah An-Nur Ayat 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

Terjemahan: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Tafsir Jalalain: الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي (Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina) kedua-duanya bukan muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd bagi pelaku zina muhshan adalah rajam, menurut keterangan dari Sunah.

Huruf Al yang memasuki kedua lafal ini adalah Al Maushulah sekaligus sebagai Mubtada, mengingat kedudukan Mubtada di sini mirip dengan Syarat, maka Khabarnya kemasukan huruf Fa, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikutnya, yaitu,

فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ (maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni sebanyak seratus kali pukulan. Jika dikatakan Jaladahu artinya ia memukul kulit seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera.

Kemudian ditambahkan hukuman pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunah, yaitu harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. Bagi hamba sahaya hanya dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi

وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ (dan janganlah belas kasihan kalian kepada keduanya mencegah kalian untuk menjalankan agama Allah) yakni hukum-Nya, seumpamanya kalian melalaikan sesuatu dari hudud yang harus diterima keduanya إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ (jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat) yaitu hari berbangkit. Dalam ungkapan ayat ini terkandung anjuran untuk melakukan pengertian yang terkandung sebelum syarat.

Ungkapan sebelum syarat tadi, yaitu kalimat “Dan janganlah belas kasihan kalian kepada keduanya, mencegah kalian untuk menjalankan hukum Allah”, merupakan Jawab dari Syarat, atau menunjukkan kepada pengertian Jawab Syarat.

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا (dan hendaklah hukuman mereka berdua disaksikan) dalam pelaksanaan hukuman deranya طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ (oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman) menurut suatu pendapat para saksi itu cukup tiga orang saja; sedangkan menurut pendapat yang lain, bahwa saksi-saksi itu jumlahnya harus sama dengan para saksi perbuatan zina, yaitu sebanyak empat orang saksi laki-laki.

Tafsir Ibnu Katsir: الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ (“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”) yakni, ayat yang mulia ini di dalamnya terdapat penjelasan hukum zina. Ada perincian dan perselisihan dalam masalah ini.

Seorang pezina adakalanya seorang bujangan, yakni orang merdeka, belum menikah, atau statusnya sudah menikah yaitu orang merdeka, baligh dan berakal yang telah berhubungan dengan pasangannya lewat pernikahan yang sah.

Apabila penzina seorang bujangan, maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali seperti yang disebutkan dalam ayat, ditambah lagi diasingkan dari negerinya selama setahun. Demikian menurut jumhur ulama. Berbeda halnya dengan Abu Hanifah, menurutnya pengasingan itu terpulang kepada kebijaksanaan Imam [waliyatul amri]. Jika mau Imam bisa mengasingkannya, dan jika menurut Imam tidak, maka tidak diasingkan.

Hujjah jumhur ulama dalam masalah ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain, dari riwayat az-Zuhri, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud, dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani tentang kisah dua orang Arab Badui yang datang menemui Rasulullah saw. salah seorang mereka berkata:

Baca Juga:  Surah At-Taubah Ayat 13-15; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

“Wahai Rasulallah, sesungguhnya puteraku ini dahulu adalah buruh upahan pada orang ini, lalu ia berzina dengan istri [majikannya]. Kemudian aku menebus puteraku dengan seratus ekor kambing dan seorang budak wanita. Lalu aku bertanya kepada ahli ilmu, mereka mengatakan bahwa puteraku harus dicambuk sratus kali dan diasingkan selama setahun, kemudian wanita itu harus dirajam.”

Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku akan memutuskan perkara kalian berdasarkan kitabullah. Adapun kambing dan budak itu dikembalikan kepadamu, kemudian puteramu harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Pergilah hai Unas –seorang laki-laki dari Bani Aslam—temuilah wanita itu, rajamlah jika mengaku.” Lalu Unais pergi menemuinya. Wanita itu mengaku dan iapun merajamnya.

Hadits ini menunjukkan adanya pengasingan selama setahun bagi pezina di samping hukuman seratus kali cambuk bila statusnya masih bujangan [belum menikah]. Bila sudah menikah, yaitu telah berhubungan badan dengan pasangannya melalui ikatan pernikahan yang sah dan dia seorang yang merdeka, baligh dan berakal, maka hukumannya adalah rajam. Seperti yang disebutkan oleh Imam Malik, ia berkata:

Ibnu Syihab menceritakan kepadaku, ia berkata: ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud telah mengabariku bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas telah mengabarinya bahwa ‘Umar berdiri sambil mengucapkan puja dan puji bagi Allah swt, kemudian berkata: “Amma ba’du, wahai sekalian manusia sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw. dengan membawa kebenaran. Dan menurunkan kepada beliau al-Qur’an.

Salah satu yang diturunkan kepada beliau adalah ayat rajam. Kami telah membacanya dan memahaminya, Rasulullah saw. juga telah merajam pezina dan kamipun merajamnya juga sepeninggalan beliau. Aku khawatir setelah berlalu beberapa zaman nanti akan ada orang yang berkata: ‘Kami tidak menemukan ayat rajam dalam kitabullah.’

Akibatnya merekapun tersesat akibat meninggalkan kewajiban yang telah Allah turunkan. Rajam dan Kiabullah adalah hukuman atas laki-laki dan perempuan yang berzina dan sudah menikah, jika terdapat bukti-bukti, hamil atau mengaku.”

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya dalam ash-Shahihain, dari hadist Malik secara lengkap. Ini merupakan bagian darinya, di dalamnya juga disebutkan apa yang kita maksudkan di sini. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata: ‘Abdullah bin ‘Auf menceritakan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab berkhutbah di hadapan manusia, aku mendengar beliau berkata: “Ketahuilah, sejumlah orang mengatakan bahwa rajam tidak ada dalam Kitabullah.

Di dalamnya hanya disebutkan cambuk. Rasulullah telah merajam pezina dan kami juga telah merajam pezina sepeninggalan beliau. Kalaulah bukan kekhawatiran ada yang berkomentar atau orang yang berkata bahwa ‘Umar menambah-nambahi Kitabullah apa yang tidak terdapat di dalamnya, sungguh aku akan menetapkannya sebagaimana ayat tersebut turun.”

An-Nasa-i meriwayatkannya dari jalur ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwasannya ia berkata: Umar bin al-Kaththab berkhutbah, dalam khutbahnya ia menyebutkan tentang rajam.

Ia berkata: “Kami tidak menemukan alasan untuk meninggalkan hukum rajam. Hukum rajam termasuk salah satu dari hukum Allah. Ketahuilah bahwa Rasulullah saw. telah merajam dan sepeninggalan beliau kami pun telah merajam, kalaulah bukan karena kekhawatiran ada yang mengatakan ‘Umar menambah-nambahi Kitabullah apa yang tidak terdapat di dalamnya tentu aku akan menuliskannya di salah satu halaman mushaf.

‘Umar bin al-Khaththab, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, si Fulan dan si Fulan telah bersaksi bahwa Rasulullah saw. telah merajam dan kami pun telah merajam sepeninggalan beliau. Ketahuilah bahwa akan muncul sejumlah orang sesudah kamu yang mengingkari hukum rajam, adanya syafaat, adzab kubur dan mengingkari keluarnya orang-orang dari neraka setelah mereka dimasukkan ke dalamnya.”

Imam Ahmad meriwayatkan ucapan ‘Umar bin al-Khaththab: “Hati-hatilah, jangan sampai kalian binasa karena menolak hukum rajam.” Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari hadits Sa’id, dari ‘Umar, at-Tirmidzi mengatakan hadits ini shahih.

Al-Hafidz Abu Ya’la al-Mushili meriwayatkan dari Muhammad- yakni Ibnu Sirin-, ia mengatakan bahwa Ibnu Umar berkata: Katsir bin Shalt bercerita kepada kami: “Dahulu kami membaca ayat: Rajamlah lelaki tua dan wanita tua apabila mereka berzina.” Marwan berkata: “Mengapa anda tidak tuliskan ayat itu dalam mushaf?” kami pun memperbincangkan masalah itu. Di tengah-tengah kami hadir Umar bin Khaththab ra. ia berkata: “Aku akan menjelaskan masalah ini pada kalian.”

“Bagaimana itu?” tanya kami. Umar menuturkan: “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. Beliau pun menyebutkan beberapa perkara, termasuk di antaranya tentang rajam. Laki-laki itu berkata: ‘Wahai Rasulallah, tuliskanlah untukku ayat rajam itu.’ Beliau menjawab: ‘Aku tidak bisa menuliskannya sekarang.’ Demikianlah kira-kira bunyi hadits tersebut.

An-Nasa-i juga meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit seperti itu. Jalur-jalur riwayat ini sangat banyak dan saling menguatkan satu sama lain serta menunjukkan bahwa dulunya ayat rajam termaktub, lalu tilawahnya dihapuskan dan tinggallah hukumnya masih dipakai, wallaaHu a’lam.

Rasulullah saw. telah memerintahkan untuk merajam wanita itu yang tidak lain adalah istri laki-laki yang menyewa buruh, karena ia telah berzina dengan buruh tersebut. Rasulullah saw. juga merajam Ma’iz dan seorang wanita dari suku al-Ghamidiyyah.

Tidak ada satupun riwayat dari Rasulullah saw. yang menyebutkan bahwa beliau mencambuk mereka sebelum merajamnya. Sebaliknya hadits-hadits shahih yang saling menguatkan yang diriwayatkan dari banyak jalur dan lafadz hanya menyebutkan rajam saja, tanpa menyebutkan hukuman cambuk. Oleh karena itu, ini merupakan madzab jumhur ulama dan termasuk pendapat yang dipilih oleh Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i.

Sedang Imam Ahmad berpendapat, bahwasanya wajib menggabungkan hukuman atas pezina yang berstatus sudah menikah antara hukuman cambuk berdasarkan ayat, dan hukuman rajam berdasarkan sunnah Nabi.

Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, ketika Syarahah yang telah berzina di hadapkan kepada beliau sedang ia berstatus sudah menikah, ‘Ali mencambuknya hari kamis dan merajamnya pada hari Jum’at. Beliau berkata: “Aku mencambuknya berdasarkan kitabullah dan merajamnya berdasarkan sunah Rasulullah saw.”

Imam Ahmad dan penulis kitab-kitab Sunan yang empat serta Muslim dari hadits Qatadah, dari al-Hasan, dari Hithan bin ‘Abdillah ar-Raqqasyi, dari ‘Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah hukum dariku, ambillah hukum dariku! Sesungguhnya Allah telah membuka jalan untuk kaum wanita. Bujangan yang berzina dengan gadis, cambuklah seratus kali dan asingkanlah selama setahun, orang yang sudah menikah berzina dengan orang yang sudah menikah cambuklah seratus kali dan rajamlah.”

Firman Allah: وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ (“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegahmu untuk [menjalankan] agama Allah.”) yaitu dalam menegakkan hukum Allah, yakni janganlah belas kasihan kepada kedua pezina itu demi menjalankan syariat Allah.

Baca Juga:  Surah Al-An'am Ayat 121; Seri Tadabbur Al Qur'an

Belas kasihan di sini bukanlah belas kasihan alami yang muncul dalam menjalankan hukum tersebut, namun belas kasihan yang mendorong hakim untuk menjatuhkan vonis hukum, itulah yang tidak dibolehkan. Mujahid berkata berkenaan dengan firman Allah ini: “Yakni dalam melaksanakan hukum apabila perkaranya sudah diangkat kepada Sultan, serta hukum wajib dilaksanakan dan tidak boleh ditangguhkan.”

Ada yang mengatakan bahwa maksud firman Allah di atas ialah janganlah melaksanakan hukuman seperti yang seharusnya yaitu dengan pukulan yang keras disertai celaan atas perbuatan dosa yang dilakukannya, jadi maksudnya bukanlah pukulan yang mencederai.

Berkenaan dengan ayat ini, ‘Amir asy-Sya’bi berkata: “Rasa belas kasih yang mengiringi pukulan keras.” Sedang ‘Atha’ mengatakan: “Pukulan yang tidak mencederai.”

Sa’id bin Abi Arubah meriwayatkan dari Hammad bin Abi Sulaiman bahwa maksudnya ialah orang yang menuduh wanita baik-baik berzina dicambuk dengan mengenai pakaian, sedang yang berzina dicambuk tanpa mengenai pakaian. Kemudian beliau membacakan ayat ini: وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ (“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegahmu untuk [menjalankan] agama Allah.”)

ibnu Katsir mengatakan padanya: “Larangan ini berlaku dalam menjatuhkan hukuman.” Ia berkata: “Berlaku dalam menjatuhkan hukuman dan dalam pelaksanaan hukuman [yakni cambuk] serta dalam kerasnya pukulan.”

Firman Allah: إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ (“Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.”) yakni lakukanlah hukum tersebut dan tegakkanlah hudud atas siapa saja yang berzina dan pukullah dengan keras, akan tetapi pukulan yang tidak mencederai supaya membuat jera pelakunya dan siapa saja yang berbuat seperti itu.

Firman Allah: وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ (“Dan hendaklah [pelaksanaan] hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”) ini merupakan celaan terhadap pasangan pezina itu, karena keduanya dicambuk dengan disaksikan orang banyak. Hal ini merupakan pukulan yang amat keras bagi keduanya dan terguran yang paling ampuh atas keduanya karena hukuman itu disaksikan oleh banyak orang.

Berkenaan dengan firman Allah tersebut al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Yakni hukuman dilakukan terang-terangan [terbuka untuk umum].”

Az-Zuhri mengatakan: “Batasnya adalah tiga orang atau lebih.” Abdurrzzaq berkata: “Telah bercerita kepadaku Ibn Wahb, dari Imam Malik berkenaan dengan firman Allah: وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ (“Dan hendaklah [pelaksanaan] hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”) disebut thaa-ifah bila jumlahnya empat orang atau lebih, karena persaksian atas tuduhan zina tidak diterima kecuali bila telah bersaksi empat orang saksi atau lebih.”

Itulah pendapat yang dipilih oleh Imam asy-Syafi’i. Rabi’ah mengatakan: “Batas minimalnya lima orang atau lebih.”

Tafsir Kemenag: Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang Islam yang berzina baik perempuan maupun laki-laki yang sudah akil balig, merdeka, dan tidak muhsan hukumnya didera seratus kali dera, sebagai hukuman atas perbuatannya itu. Yang dimaksud dengan muhsan ialah perempuan atau laki-laki yang pernah menikah dan bersebadan.

Tidak muhsan berarti belum pernah menikah dan bersebadan, artinya gadis dan perjaka. Mereka bila berzina hukumannya adalah dicambuk seratus kali. Pencambukan itu harus dilakukan tanpa belas kasihan yaitu tanpa henti dengan syarat tidak mengakibatkan luka atau patah tulang.

Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, tidak dibenarkan bahkan dilarang menaruh belas kasihan kepada pelanggar hukum itu yang tidak menjalankan ketentuan yang telah digariskan di dalam agama Allah. Nabi Muhammad harus dijadikan contoh atau teladan dalam menegakkan hukum. Beliau pernah berkata:

Dari ‘Aisyah berkata Rasulullah bersabda, “Andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti saya potong tangannya.” (Riwayat asy-Syaikhan)

Hukuman cambuk itu hendaklah dilaksanakan oleh yang berwajib dan dilakukan di tempat umum dan terhormat, seperti di masjid, sehingga dapat disaksikan oleh orang banyak, dengan maksud supaya orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman dera itu mendapat pelajaran, sehingga mereka benar-benar dapat menahan dirinya dari perbuatan zina.

Adapun pezina-pezina muhsan baik perempuan maupun laki-laki hukumannya ialah dilempar dengan batu sampai mati, yang menurut istilah dalam Islam dinamakan “rajam”. Hukuman rajam ini juga dilaksanakan oleh orang yang berwenang dan dilakukan di tempat umum yang dapat disaksikan oleh orang banyak. Hukum rajam ini didasarkan atas sunnah Nabi saw yang mutawatir.

Diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Jabir bin Abdillah, Abu Said Al-Khudri, Abu Hurairah, Zaid bin Khalid dan Buraidah al-Aslamy, bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Ma’iz telah dijatuhi hukuman rajam berdasarkan pengakuannya sendiri bahwa ia berzina. Begitu pula dua orang perempuan dari Bani Lahm dan Bani Hamid telah dijatuhi hukuman rajam, berdasarkan pengakuan keduanya bahwa mereka telah berzina.

Hukuman itu dilakukan di hadapan umum. Begitulah hukuman perbuatan zina di dunia. Adapun di akhirat nanti, pezina itu akan masuk neraka jika tidak bertaubat, sebagaimana sabda Nabi saw.

“Jauhilah zina karena di dalam zina ada empat perkara. Menghilangkan kewibawaan wajah, memutus rezeki, membikin murka Allah, dan menyebabkan kekal di neraka.” (Riwayat ath-thabrani dalam Mu’jam al-Ausath, dari Ibnu ‘Abbas)

Kenyataannya adalah bahwa budaya pergaulan bebas laki-laki dan perempuan telah menimbulkan penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan, yaitu HIV/AIDS, hilangnya sistem kekebalan tubuh pada manusia pada akhirnya yang bersangkutan akan mati secara perlahan. Juga telah memunculkan banyaknya bayi lahir di luar nikah, sehingga mengacaukan keturunan dan pada gilirannya mengacaukan tatanan hukum dan sosial.

Perbuatan zina telah disepakati sebagai dosa besar yang berada pada posisi ketiga sesudah musyrik dan membunuh, sebagaimana dijelaskan di dalam hadis Nabi saw:

Berkata Abdullah bin Masud, “Wahai Rasulullah! Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Rasulullah menjawab, “Engkau jadikan bagi Allah sekutu padahal Dialah yang menciptakanmu,” Berkata Ibnu Masud, “Kemudian dosa apalagi?”, jawab Rasulullah, “Engkau membunuh anakmu karena takut akan makan bersamamu.” Berkata Ibnu Mas`ud, “Kemudian dosa apalagi?” Rasulullah menjawab, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.”

Senada dengan hadis ini, firman Allah: Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, serta tidak berzina. (al-Furqan/25: 68)

Hukuman di dunia itu baru dilaksanakan bila tindakan perzinaan itu benar-benar terjadi. Kepastian terjadi atau tidaknya perbuatan zina ditentukan oleh salah satu dari tiga hal berikut: bukti (bayyinah), hamil, dan pengakuan yang bersangkutan, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Huzaifah:

Hukum rajam dalam Kitabullah jelas atas siapa yang berzina bila dia muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, bila terdapat bukti, hamil atau pengakuan. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Baca Juga:  Surah An-Nur Ayat 26; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Yang dimaksud dengan “bukti” dalam hadis tersebut adalah kesaksian para saksi yang jumlahnya paling kurang empat orang laki-laki yang menyaksikan dengan jelas terjadinya perzinaan. Bila tidak ada atau tidak cukup saksi, diperlukan pengakuan yang bersangkutan, bila yang bersangkutan tidak mengaku, maka hukuman tidak bisa dijatuhkan.

Hukuman di akhirat, yaitu azab di dalam neraka sebagaimana diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan Huzaifah di atas, terjadi bila yang bersangkutan tidak tobat. Bila yang bersangkutan tobat dan bersedia menjalankan hukuman di dunia, maka ia terlepas dari hukuman akhirat,

sebagaimana hadis yang mengisahkan seorang sahabat yang bernama Hilal yang menuduh istrinya berzina tetapi si istri membantahnya. Nabi mengatakan bahwa hukuman di akhirat lebih dahsyat dari hukuman di dunia, yaitu rajam, jauh lebih ringan. Tetapi perempuan itu malah mengingkari bahwa ia telah berzina.

Dari peristiwa itu dipahami bahwa bila orang yang berzina telah bertobat dan bersedia menjalankan hukuman di dunia, ia terlepas dari hukuman di akhirat.

Tafsir Quraish Shihab: Di antara ketentuan hukum itu adalah hukum wanita dan laki-laki yang berzina. Cambuklah masing- masing mereka seratus kali cambukan. Dalam melaksanakan ketentuan hukum itu, kalian tidak perlu merasa terhalangi oleh rasa iba dan kasihan, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Sebab, konsekuensi iman adalah mendahulukan perkenan Allah daripada perkenan manusia.
Pelaksanaan hukum cambuk itu hendaknya dihadiri oleh sekelompok umat Islam, agar hukuman itu menjadi pelajaran yang membuat orang lain selain mereka berdua jera.

Komentar para ahli mengenai ayat 2 sampai ayat 4 surat ini: Kriminalitas dalam syariat Islam merupakan larangan-larangan yang tidak dibolehkan dengan ancaman sanksi hadd atau ta’zir.

Larangan-larangan itu bisa berupa tindakan mengerjakan sesuatu yang dilarang atau tindakan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan. Alasan pengharaman larangan-larangan itu adalah bahwa tindakan pelanggaran larangan merupakan tindakan yang bertentangan dengan salah satu dari lima maslahat/kepentingan yang diakui dalam syariat Islam, yaitu:

a. Memelihara jiwa, b. Memelihara agama, c. Memelihara akal pikiran, d. Memelihara harta kekayaan, e. Memelihara kehormatan.

Tindakan pembunuhan, misalnya, merupakan perlawanan terhadap jiwa. Keluar dari Islam (riddah:‘menjadi murtad’) merupakan perlawanan terhadap agama. Meminum khamar merupakan perlawanan terhadap pikiran.

Mencuri merupakan perlawanan terhadap harta dan kekayaan. Dan zina merupakan perlawanan terhadap kehormatan. Para ahli hukum Islam (fuqaha’) membagi tindakan kriminalitas menjadi beberapa kategori, tergantung pada sudut pandang masing-masing. Sehubungan dengan hal itu, berikut ini akan disinggung pembagian hukum dari segi besarnya sanksi dan cara menetapkannya.

Berdasarkan hal ini kriminalitas terbagi dalam tiga kelompok, yaitu (a) yang terkena sanksi hudud, (b) yang terkena sanksi qishash (c) yang terkena sanski ta’zir.

Yang dimaksud dengan hudud adalah kejahatan yang dianggap berlawanan dengan hak Allah atau kejahatan yang mengandung pelanggaran hak Allah dan hak manusia, tetapi hak Allah lebih dominan yang oleh karenanya dibatasi oleh Allah dengan jelas, baik melalui Alquran maupun al-Hadits.

Kemudian, yang dimaksud dengan qishash (termasuk di dalamnya diyat) adalah kejahatan yang mengandung pelanggaran hak Allah dan hak manusia, tetapi hak manusia lebih dominan. Dalam hal ini, sebagian ketentuan hukumnya ditetapkan oleh Allah melalui Alquran dan al-Hadits dan sebagian lainnya diserahkan kepada kebijakan pemerintah untuk menentukan hukumnya.

Tindak pembunuhan, memotong salah satu organ tubuh, termasuk dalam kategori kedua ini. Sedangkan yang dimaksud dengan ta’zir adalah sejumlah sanksi, baik berat maupun ringan, yang penentuan dan pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah, sesuai kondisi masyarakat di mana terjadi kejahatan itu.

Ada tujuh macam kejahatan yang terkena sanksi hudud, yaitu zina, menuduh orang yang sudah kawin berbuat zina (qadzaf), menentang penguasa (baghy), mencuri, menyamun, meminum khamar dan keluar dari Islam (murtad).

Ketujuh macam kejahatan itu beserta sanksi-sanksinya telah ditentukan sanksi hududnya di dalam Alquran, kecuali sanski pelaku zina yang sudah kawin yang dikenakan hukum rajam, meminum khamar yang dikenakan sanksi 80 kali cambuk, dan sanksi keluar dari Islam yaitu hukum mati., yang ditentukan oleh al-Hadits.

Sementara itu, hukum positif modern memberlakukan sanksi yang terlalu rendah, seperti penjara, terhadap zina. Akibatnya, prostitusi dan kejahatan merajalela di kalangan masyarakat. Kehormatan menjadi terinjak-injak. Selain itu, akan timbul berbagai penyakit dan ketidakjelasan keturunan. Yang cukup mengherankan, bahwa undang-undang yang berlaku di beberapa negara modern saat ini malah melindungi kejahatan semacam itu.

Dalam undang-undang Perancis, misalnya, terdapat ketentuan bahwa pelaku zina–baik laki-laki maupun perempuan–yang belum kawin tidak dikenakan sanksi apa-apa, selama mereka telah mencapai usia dewasa.
Hal itu berdasar pada prinsip kebebasan individu yang menjamin kebebasan berbuat apa saja. Sedangkan jika pelaku zina itu sudah kawin, baik laki-laki maupun perempuan, maka sanksinya adalah penjara.

Contoh lain dari praktik hukum positif, lembaga hukum seperti niyabah (kejaksaan) tidak mempunyai hak untuk melakukan penyelidikan kecuali atas permintaan salah seorang suami istri. Selain itu, seorang suami yang telah melaporkan tuduhan zina, boleh menarik kembali tuduhannya. Berdasarkan hal itu penyelidikan pun harus dihentikan.

Suami juga memiliki hak untuk memaafkan istrinya yang telah dijatuhi hukuman penjara sebelum habis masa hukuman, walaupun keputusan hakim sudah bersifat final. Beberapa kalangan menganggap sanksi zina yang ditetapkan Islam itu terlalu berat.

Tetapi semestinya mereka melihat pula bahwa di samping sanksi itu berat, proses pembuktiannya pun tidak mudah. Pada tindak pembunuhan, misalnya, Islam hanya menetapkan keharusan adanya dua saksi yang adil. Tetapi pada pembuktian zina justru menetapkan adanya empat orang saksi adil yang menyaksikan kejadian itu secara langsung, atau pengakuan si pelaku zina.

Dapat dicatat di sini bahwa Alquran mewajibkan pelaksanaan hukum cambuk secara terang-terangan di hadapan khalayak ramai masyarakat Muslim dengan maksud sebagai pemberitahuan kepada mereka siapa pelaku zina itu di samping agar mereka merasa takut dan ngeri hingga menghindari tindakan yang hina itu.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah An-Nur Ayat 1-2 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S