Surah Ar-Rum Ayat 38-40; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Ar-Rum Ayat 38-40

Pecihitam.org – Kandungan Surah Ar-Rum Ayat 38-40 ini, menerangkan riba yang dimaksudkan sebagai hadiah atau memberi untuk memperoleh lebih. Riba adalah pengembalian lebih dari utang. Ayat ini kembali membicarakan kemahakuasaan Allah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bila dalam Ayat-Ayat yang lalu mengenai penentuan rezeki, dalam Ayat-Ayat berikut mengenai perjalanan hidup manusia. Tujuannya adalah supaya manusia mau berbuat baik, di antaranya bersedekah seperti yang diperintahkan Allah dalam Ayat sebelumnya.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Ar-Rum Ayat 38-40

Surah Ar-Rum Ayat 38
فَـَٔاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Terjemahan: Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.

Tafsir Jalalain: فَـَٔاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ (Maka berikanlah kepada kerabat) kepada famili yang terdekat حَقَّهُۥ (akan haknya) yaitu dengan menyantuninya dan menghubungkan silaturahmi dengannya وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ (demikian pula kepada fakir miskin dan ibnu sabil) orang yang sedang musafir, yaitu dengan memberikan sedekah kepada mereka, perintah ini ditujukan kepada Nabi saw. dan sebagai umatnya diharuskan mengikuti jejaknya.

ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ (Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah) yakni pahala-Nya sebagai imbalan dari apa yang telah mereka kerjakan وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ (dan mereka itulah orang-orang yang beruntung) yaitu orang-orang yang memperoleh keberuntungan.

Tafsir Ibnu Katsir: Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.

4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya.

Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin.

di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Allah Ta’ala berfirman untuk memberikan: ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ (“Pada kerabat yang terdekat akan haknya.”) berupa kebaikan dan silaturahim, وَٱلْمِسْكِينَ (“demikian [pula] pada fakir miskin”) yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu yang dinafkahkan atau memiliki sesuatu akan tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.

وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ (“dan orang-orang yang dalam perjalanan.”) yaitu seorang musafir yang membutuhkan nafkah dan bekal di dalam perjalanannya. ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ (“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridlaan Allah.”) yaitu memandang-Nya pada hari kiamat dan itulah tujuan yang besar. وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ (“dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”) di dunia dan di akhirat.

Tafsir Kemenag: Ayat ini merupakan penjelasan Ayat 37, yaitu bahwa mereka yang diberi Allah kelebihan rezeki harus membantu mereka yang kekurangan. Bantuan itu dalam bentuk bantuan materi di luar zakat. Mereka yang diprioritaskan untuk dibantu adalah keluarga dekat sendiri.

Bantuan itu dalam Ayat ini bahkan dinyatakan sebagai haknya. Dalam Ayat lain dinyatakan bahwa bila kita tidak dapat membantu, maka hal itu perlu disampaikan dengan sejujurnya dengan kata-kata yang enak diterima sehingga menyejukkan:

Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut. (al-Isra’/17:28)

Orang yang perlu dibantu adalah orang miskin, yaitu orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Dengan demikian, Allah tidak menghendaki ada makhluk-Nya yang kelaparan apalagi mati karena kelaparan. Bila hal itu terjadi, maka mereka yang berkelebihan rezeki berdosa. Memang dapat dirasakan bagaimana perihnya rasa lapar dan dapat dipahami bagaimana berbahayanya kelaparan.

Selanjutnya yang perlu dibantu adalah musafir yang terlantar, paling kurang untuk satu hari. Dengan bantuan demi bantuan, ia akan dapat mencapai tempat asalnya. Mengembalikan musafir dengan segera ke tempat asalnya akan besar manfaatnya, karena ia akan dapat bekerja kembali sebagaimana semula. Membiarkannya terlantar di tempat asing akan mengakibatkan berbagai masalah di tempat itu.

Demikianlah kewajiban orang yang beriman. Ia sadar bahwa harta yang ada padanya hanyalah titipan yang dipercayakan untuk dikelola dengan baik. Pemilik harta itu adalah Allah, sehingga ketika pemiliknya meminta untuk dikeluarkan sebagian guna membantu orang lain, maka ia tidak akan menolaknya. Allah berfirman:

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar. (al-hadid/57: 7)

Orang beriman tidak akan memandang bahwa harta yang ada padanya itu semata-mata diperolehnya karena usahanya sendiri. Semua keberuntungan yang diperoleh manusia adalah karunia Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an tentang Nabi Sulaiman:

Baca Juga:  Surah Al-Maidah Ayat 14-17; Seri Tadabbur Al Qur’an

Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata,

“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia.” (an-Naml/27: 40)

Sikap yang menafikan karunia Allah dalam setiap keberuntungan adalah sikap Karun, seorang yang kaya raya tetapi durhaka pada zaman Nabi Musa a.s. Sebagai akibatnya, ia dan kekayaannya ditelan oleh bumi. Allah berfirman:

Dia (Karun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. (al-Qashash/28: 78)

Membantu keluarga dekat, orang miskin, dan musafir yang terlantar akan membawa dampak yang baik bagi yang memberi dan yang diberi. Orang yang memberi berarti telah memenuhi perintah Allah, sehingga ia akan disayangi-Nya. Sedangkan orang yang diberi akan merasa terbantu, dan karena itu akan terjalinlah silaturrahim antara keluarga yang berkecukupan dan ber-kekurangan. Dampaknya adalah keamanan dan persaudaraan yang erat.

Dampak seperti itu akan diperoleh bila yang memberi hanya karena mengharapkan rida Allah. Dengan demikian, maksud potongan Ayat ini adalah bahwa si pemberi itu memberi bukan untuk mengharapkan balasan dari yang diberi, tetapi balasan dari Allah ketika ia menghadap-Nya nanti di akhirat. Artinya, ia memberi dengan ikhlas.

Orang beriman dilarang memberi karena ria, yaitu untuk dilihat orang atau pamer. Salah satu bentuk ria adalah memberi tetapi pemberian itu disebut-sebut kepada orang lain sehingga menjatuhkan nama yang diberi, atau menyakiti hati yang diberi dengan menyampaikan kata-kata atau perbuatan yang melukai perasaannya. Allah berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.

Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (al-Baqarah/2: 264).

Tafsir Quraish Shihab: Dan apabila hanya Allah Swt. yang meluaskan rezeki dan menetapkan ukurannya, maka berikanlah hak kaum kerabat kepadanya, yaitu berupa kebajikan dan hubungan silaturahmi. Dan juga berilah kepada orang yang membutuhkan dan kehabisan perbekalan di jalan berupa zakat dan sedekah.

Hal itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang menghendaki rida Allah dan menginginkan pahala-Nya. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keberuntungan dengan kenikmatan yang abadi.

Surah Ar-Rum Ayat 39
وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ

Terjemahan: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Tafsir Jalalain: وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا (Dan sesuatu riba atau tambahan yang kalian berikan) umpamanya sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain memberi kepadanya balasan yang lebih banyak dari apa yang telah ia berikan; pengertian sesuatu dalam Ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksud dalam masalah muamalah لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ (agar dia menambah pada harta manusia) yakni orang-orang yang memberi itu, lafal yarbuu artinya bertambah banyak,

فَلَا يَرْبُوا۟ (maka riba itu tidak menambah) tidak menambah banyak عِندَ ٱللَّهِ (di sisi Allah) yakni tidak ada pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya.

وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍ (Dan apa yang kalian berikan berupa zakat) yakni sedekah تُرِيدُونَ (untuk mencapai) melalui sedekah itu وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ (keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan) pahalanya sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin.

Tafsir Ibnu Katsir: وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ (“Dan suatu riba [tambahan] yang kamu berikan agar menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”) yaitu barangsiapa yang memberikan sesuatu guna mengharapkan balasan manusia yang lebih banyak kepadanya dari apa yang dia berikan, maka perilaku itu tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.

Demikian yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, ‘Ikrimah, Muhammad bin Ka’ab dan asy-Sya’bi. “Sikap demikian ini dibolehkan sekalipun tidak memiliki pahala. Akan tetapi Rasulullah saw. melarangnya secara khusus.”

Itulah yang dikatakan oleh adh-Dhahhak dan dia berdalih dengan firman Allah: وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ (“Dan janganlah kamu memberi [dengan maksud] memperoleh [balasan] yang lebih banyak.”)(al-Muddatstsir: 6). Yaitu, janganlah engkau memberikan sesuatu karena menghendaki sesuatu yang lebih besar dari pemberianmu itu.

Baca Juga:  Surah Al-Jumuah Ayat 11; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Dan Ibnu ‘Abbas berkata: “Riba itu ada dua; riba yang tidak sah yaitu riba buyu’/ jual-beli, dan riba yang tidak mengapa, yaitu hadiah yang diberikan seseorang karena berharap kelebihan dan pelipatannya. Kemudian beliau membaca Ayat ini,

وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ (“Dan suatu riba [tambahan] yang kamu berikan agar menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”) sedangkan pahala pada sisi Allah adalah zakat.

Firman Allah: وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ (“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridlaan Allah, maka [yang berbuat demikian] itulah orang-orang yang melipatgandakan [pahalanya].”) yaitu orang-orang yang dilipatgandakan pahala dan ganjarannya.

Di dalam hadits shahih dinyatakan: “Tidaklah seseorang bershadqah dengan sepotong kurma pun yang dikeluarkan dari usahanya yang halal, kecuali Allah Yang Mahapemurah akan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu dipelihara-Nya untuk si pemberi shadaqah, sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak kuda atau kuda yang baru besar, hingga kurma itu menjadi lebih besar daripada bukit Uhud.” (HR Bukhari)

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan riba yang dimaksudkan sebagai hadiah atau memberi untuk memperoleh lebih. Riba adalah pengembalian lebih dari utang. Kelebihan itu adakalanya dimaksudkan sebagai hadiah, dengan harapan bahwa hadiah itu akan berkembang di tangan orang yang menghutangi, lalu orang itu akan balik memberi orang yang membayar utangnya itu dengan lebih banyak daripada yang dihadiahkan kepadanya. Riba seperti itu sering dipraktekkan pada zaman jahiliah.

Dalam Ayat ini ditegaskan bahwa perilaku bisnis seperti itu tidak memperoleh berkah dari Allah. Ia tidak memperoleh pahala dari-Nya karena pemberian itu tidak ikhlas. Oleh karena itu, para ulama memandang Ayat ini sebagai Ayat pertama dalam tahap pengharaman riba sampai pengharamannya secara tegas.

(Tahap keduanya adalah pada Surah an-Nisa’/4: 161, yang berisi isyarat tentang keharaman riba; tahap ketiga adalah ali ‘Imran/3: 130, bahwa yang diharamkan itu hanyalah riba yang berlipat ganda; tahap keempat adalah al-Baqarah/2: 278, yang mengharamkan riba sama sekali dalam bentuk apa pun).

Ada pula yang memahami Ayat ini berkenaan dengan pemberian kepada seseorang untuk maksud memperoleh balasan lebih. Balasan lebih itu di antaranya terhadap pengembalian utang. Itulah yang disebut riba dalam Ayat di atas, dan banyak ulama membolehkannya berdasarkan hadis:

Rasulullah menerima hadiah dan memberi balasan atas hadiah itu. Beliau memberikan balasan atas hadiah seekor unta perahan yang diberikan kepadanya, dan beliau tidak menyangkal pemiliknya ketika dia meminta balasan. Beliau hanya mengingkari kemarahan pemberian hadiah itu karena pembalasan itu nilainya lebih dari nilai hadiah. (RiwAyat al-Bukhari dari ‘Aisyah)

Akan tetapi, berdasarkan hadis itu, yang dibenarkan sesungguhnya adalah membalas dengan lebih suatu pemberian, bukan membayar utang lebih dari seharusnya.

Memberi dengan maksud memperoleh balasan lebih dari yang diberikan menunjukkan ketidakikhlasan yang memberi. Hal ini juga tidak dibenarkan. Firman Allah: Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (al-Muddassir/74: 6)

Salah satu bentuk pemberian yang dimaksudkan untuk memperoleh balasan lebih adalah memberi dengan maksud agar orang itu patuh pada yang memberi, mau membantunya, dan sebagainya. Itu juga tidak dibenarkan, karena tidak ikhlas.

Secara lahiriah, larangan dalam Ayat itu ditujukan kepada Nabi saw. Akan tetapi, juga dimaksudkan untuk seluruh umatnya.

Adapun yang akan dilipatgandakan oleh Allah baik pahalanya maupun harta itu sendiri adalah pemberian secara tulus, yang dalam Ayat ini diungkapkan dengan istilah zakat (secara harfiah berarti suci). Zakat di sini maksudnya sedekah yang hukumnya sunah, bukan zakat yang hukumnya wajib.

Orang yang bersedekah karena mengharapkan pahala dari Allah, pasti akan dilipatgandakan pahala atau balasannya oleh Allah minimal tujuh ratus kali lipat, sebagaimana difirmankan-Nya dalam al-Baqarah/2: 261:

Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (al-Baqarah/2: 261)

Di samping itu, sedekah juga akan melipatgandakan kekayaan pemilik modal, karena memperkuat daya beli masyarakat secara luas. Kuatnya daya beli masyarakat akan meminta pertambahan produksi. Pertambahan produksi akan meminta pertambahan lembaga-lembaga produksi (pabrik, perusahaan, dan sebagainya).

Pertambahan lembaga-lembaga produksi akan membuka lapangan kerja sehingga dengan sendirinya akan meminta pertambahan tenaga kerja. Pertambahan tenaga kerja akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga meningkatkan daya beli mereka, dan seterusnya.

Demikianlah terjadi siklus peningkatan daya beli, produksi, tenaga kerja, dan sebagainya, sehingga ekonomi yang didasarkan atas pemberdayaan masyarakat luas itu akan selalu meningkatkan kemajuan perekonomian. Sedangkan perekonomian yang didasarkan atas riba, yaitu pengembalian lebih dari utang, selalu mengandung eksploitasi, yang lambat laun akan memundurkan perekonomian.

Tafsir Quraish Shihab: Harta yang kalian berikan kepada orang-orang yang memakan riba dengan tujuan untuk menambah harta mereka, tidak suci di sisi Allah dan tidak akan diberkahi. Sedekah yang kalian berikan dengan tujuan untuk mengharapkan rida Allah, tanpa riya dan mengharapkan upah, maka itulah orang-orang yang memiliki kebaikan yang berlipat ganda.

Baca Juga:  Surah Ar-Rum Ayat 41-42; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Surah Ar-Rum Ayat 40
ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِن شُرَكَآئِكُم مَّن يَفْعَلُ مِن ذَٰلِكُم مِّن شَىْءٍ سُبْحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Terjemahan: Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.

Tafsir Jalalain: ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِن شُرَكَآئِكُم (Allah-lah yang menciptakan kalian, kemudian memberi kalian rezeki, kemudian mematikan kalian, kemudian menghidupkan kalian kembali. Adakah di antara sekutu-sekutu kalian itu) yakni apa yang kalian sekutukan dengan Allah itu مَّن يَفْعَلُ مِن ذَٰلِكُم مِّن شَىْءٍ (yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu?) Tentu saja tidak ada. سُبْحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ (Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan) dengan-Nya.

Tafsir Ibnu Katsir: Dan firman Allah: ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ (“Allah lah yang menciptakanmu, kemudian memberimu rizky.”) yaitu Dia lah yang Mahapencipta dan Mahapemberi rizky Yang mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan telanjang, tidak mempunyai pengetahuan, pendengaran, penglihatan dan tidak mempunyai kekuatan.

Kemudian, Dia memberikan rizky semua hal tersebut setelah itu, dan juga pakaian dalam, pakaian luar, harta, kekuasaan dan usaha. Sebagaimana Imam Ahmad meriwAyatkan dari Habbah dan Sawa bin Khalid, keduanya berkata: “Kami tidak menemui Rasulullah saw. saat beliau memperbaiki sesuatu. Lalu keduanya membantu beliau, maka beliau pun bersabda:

“Janganlah kalian berdua putus asa terhadap rizky, selama kedua kepala kalian masih bergerak. Sesungguhnya manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah, tidak ada pembalut atasnya, kemudian Allah swt. memberi rizky.”

Firman Allah: ثُمَّ يُمِيتُكُمْ (“Kemudian mematikanmu.”) setelah kehidupan ini, ثُمَّ يُحْيِيكُمْ (“Kemudian menghidupkanmu [kembali]”) pada hari kiamat. هَلْ مِن شُرَكَآئِكُم (“Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu.”) yaitu berhala-berhala yang kalian sembah selain Allah, مَّن يَفْعَلُ مِن ذَٰلِكُم مِّن شَىْءٍ (“yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu?”) yaitu tidak ada satu pun di antara mereka yang dapat melakukan semua itu.

Akan tetapi Allah adalah Rabb Yang Mahaesa dalam penciptaan, pemberi rizky, menghidupkan dan mematikan. Kemudian Dia membangkitkan seluruh makhluk di hari kiamat. Untuk itu Dia berfirman:

سُبْحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ (“Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.”) yaitu Mahatinggi, Mahasuci, Mahabersih dan Mahaagung Jalla wa ‘Azza dari adanya sekutu, tandingan, kesamaan, anak atau ayah. Akan tetapi Dia Mahaesa, tunggal, yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan serta tidak ada yang setara dengan-Nya sedikitpun.

Tafsir Kemenag: Ayat ini kembali membicarakan kemahakuasaan Allah. Bila dalam Ayat-Ayat yang lalu mengenai penentuan rezeki, dalam Ayat-Ayat berikut mengenai perjalanan hidup manusia. Tujuannya adalah supaya manusia mau berbuat baik, di antaranya bersedekah seperti yang diperintahkan Allah dalam Ayat sebelumnya.

Dalam Ayat ini dinyatakan bahwa Allah yang menciptakan manusia dari tiada menjadi ada, lalu tampil di dunia ini. Untuk bisa hidup di dunia, Dia pula yang memberi mereka rezeki. Setelah itu, manusia akan mati dan akan dihidupkan kembali. Kehidupan kembali itu sudah dimulai di alam kubur (alam barzakh) sampai nanti hari Kiamat. Setelah Kiamat, manusia akan dihidupkan kembali selama-lamanya.

Bagaimana kondisi kehidupan setelah mati sangat tergantung pada perbuatan manusia di dunia. Bila perbuatannya baik, ia akan bahagia, dan bila perbuatannya jelek, ia akan disiksa. Oleh karena itu, manusia hendaknya mematuhi ketentuan Allah mengenai rezeki yang diberikan-Nya. Hendaknya ia mem-perolehnya secara benar sesuai ketentuan Allah, tidak dari riba. Bila rezeki itu lebih, hendaknya digunakan untuk membantu orang yang berkekurangan.

Kemudian Allah bertanya apakah ada tuhan-tuhan lain yang mampu melakukan hal-hal seperti di atas. Jangankan menciptakan manusia yang kompleks, menciptakan makhluk sederhana saja dari sesuatu bahan yang tiada sama sekali, manusia tidak akan bisa. Mampukah manusia menciptakan sebiji pasir saja, atau selembar daun saja dari tiada?

Oleh karena itu, Allah menegaskan, “Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari segala serikat, sekutu, atau tandingan apa dan siapa pun.” Dengan demikian, manusia seharusnya berhenti dari mempertuhankan selain Allah atau menyekutukan-Nya.

Tafsir Quraish Shihab: Allahlah yang menjadikan kalian, memberikan rezeki yang kalian pakai untuk hidup, mematikan, lalu membangkitkan kalian dari kubur. Apakah ada sekutu-sekutu Allah–sebagaimana yang kalian sangka itu–yang dapat menciptakan, memberi rezeki, mematikan dan menghidupkan, walaupun hanya sedikit saja? Allah Mahasuci dari segala yang mereka sekutukan.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Ar-Rum Ayat 38-40 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S