Tazkiyatun Nafs; Salah Satu Tugas Diutusnya Para Rasul

Tazkiyatun Nafs; Salah Satu Tugas Diutusnya Para Rasul

PeciHitam.org – Sebagaimana seperti yang kita kerjakan pada bulan Ramadhan, puasa merupakan salah satu bentuk upaya penyucian diri atau yang biasa disebut tazkiyatun nafs.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebenarnya, pada momentum bulan puasa seperti sekarang ini, seseorang dilatih untuk lebih bersungguh-sungguh dalam proses menyucikan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah dan mengerjakan segala hal yang diperintahkan-Nya.

Daftar Pembahasan:

Pengertian Tazkiyatun Nafs

Tazkiyatun nafs sendiri terdiri atas dua kata, yaitu kata at-tazkiyah yang bermakna at-thahir (penyucian atau pembersihan) dan kata an-nafs yang bermakna jiwa atau nafsu. Sehingga jika diartikan secara bahasa, berarti penyucian jiwa atau pun nafsu.

Namun perlu diketahui bahwa pemaknaan kata at-tazkiyah tidak hanya berhenti pada makna penyucian. At-tazkiyah juga biasa dimaknai an-numuww, yang artinya tumbuh. Sehingga tazkiyatun nafs juga dapat diartikan menumbuhkan jiwa agar dapat tumbuh sehat dan memiliki sifat-sifat yang terpuji.

Oleh sebab itu, jika dapat kita tarik benang merahnya, bahwa yang dimaksud dengan tazkiyatun nafs yaitu menyucikan jiwa dari sifat atau akhlaq tercela (takhalli) dan menumbuhkan dan menghiasinya dengan akhlaq atau sifat yang terpuji (tahalli).

Adapun sifat-sifat atau akhlaq tercela yang dimaksud, seperti misalnya ujub, sombong, iri, dengki, riya’, kufur, nifaq, khianat, rakus, pemarah, dan sebagainya. Sedangkan sifat-sifat terpuji yang dimaksud, seperti misalnya, kasih, sayang, cinta, jujur, ikhlas, syukur, sabar, pemurah, bertanggung jawab, dapat dipercaya, zuhud, tawakkal, ridha, dan sebagainya.

Tazkiyatun Nafs dalam al-Quran

Hal tersebut juga menjadi salah satu tugas diutusnya Nabi dan Rasul, sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 151, berikut:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”

Baca Juga:  Belajar Aqidah Kepada Syeikh Abdul Shomad Al Falimbani

Lebih lanjut, menggunakan redaksi yang hampir sama dengan ayat tersebut di atas yang diindikasikan sebagai penguat, Firman Allah selanjutnya dalam surat al-Jumuah ayat 2, berikut ini:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Artinya: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat kita ambil beberapa poin penting, yaitu seputar tiga tugas diutusnya Rasul. Hal pertama yang disebutkan, yaitu tilawah al-ayat (membacakan ayat-ayat al-Quran). Kedua, yaitu tazkiyatun nafs atau menyucikan jiwa. Ketiga, yaitu ta’lim al-kitab wa al-hikmah yang berarti mengajarkan kitab dan hikmah.

Tiga Aspek Tazkiyatun Nafs

Adapun 3 aspek tazkiyatun nafs, antara lain:

Tazkiyatu ad-Din (menyucikan agama)

Maksudnya yakni mensucikan jiwa dengan menegakkan aqidah yang benar, beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar, serta memiliki akhlak yang mulia.

Tazkiyatu al-Mal (menyucikan harta)

Mensucikan jiwa dengan membersihkan harta yang telah diperoleh, dengan memberikan sebagian harta tersebut kepada orang yang lebih membutuhkan. Sebab, pada hakikatnya, harta yang telah kita peroleh merupakan amanah dari Allah, bukan milik kita secara hakiki.

Tazkiyatu al-‘Amal wa al-Akhlaq (menyucikan amal dan akhlak)

Penyucian amal perbuatan dan akhlak (perilaku dan budi pekerti) yakni dengan menjaga segala fikiran, perkataan dan perbuatan dari hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Pentingnya Tazkiyatun Nafs

Tazkiyatun nafs salah satu dari tiga tugas yang diterima oleh Rasulullah saw. Hal tersebut sesuai dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:

Baca Juga:  Apakah Ilmu Laduni Benar Ada? Adakah Cara untuk Meraihnya?

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra No. 20782), Imam Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad hlm. 42)

Dalam hadis lain juga disebutkan hal serupa, namun menggunakan redaksi yang berbeda, yakni shalih al-akhlaq. Hadis tersebut diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya No. 8952, Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad No. 273, al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman No. 7609)

Kata al-Akhlaq, jamak dari kata الخُلُق (al-khuluq) di atas menurut Ibn Manzhur  dalam kitab Lisan al-‘Arab mengartikannya sebagai berikut:

الخُلُقُ: وهو الدِّين والطبْع والسجية

Al-Khuluq: yakni din (agama), tabi’at dan watak alami”

Kemudian alasan penting tazkiyatun nafs selanjutnya, yaitu menjadi sebab keberuntungan (al-falah). Sebagaimana Firman Allah berikut:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Rabb-nya, lalu ia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)

Bahkan demi mempertegas pentingnya tazkiyatun nafs ini, Allah bersumpah 11 kali secara berturut-turut dalam surat Asy-Syams ayat 1-10, berikut:

(1). وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا

Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,

(2). وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا

dan bulan apabila mengiringinya,

(3). وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا

dan siang apabila menampakkannya,

(4). وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا

dan malam apabila menutupinya,

(5). وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا

dan langit serta pembinaannya,

(6). وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا

dan bumi serta penghamparannya,

(7). وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

(8). فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,

(9). قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

Baca Juga:  4 Etika Berteman dalam Islam Menurut Imam Al Ghazali

(10). وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang penyempurnaan ciptaannya, dengan diilhami kepada setiap jiwa mana yang baik dan mana yang buruk.

Seperti halnya semua orang tahu, bahwa mencuri adalah buruk. Contoh lain, bahwa semua orang tahu, bahwa zina itu buruk. Tiada ada seorangpun yang mau bahwa hal itu terjadi pada orang-orang terdekatnya.

Pada ayat selanjutnya, yaitu pada ayat 9 dan 10, menurut Quraish Syihab, ayat tersebut menyebutkan betapa beruntungnya orang yang menyucikan dan mengembangkan segala potensi kebaikan yang dimilikinya dan celakalah bagi orang yang menutup potensi kebaikannya serta mengotori jiwanya.

Tazkiyatun nafs ini menjadi penting sebab jika boleh kita umpamakan, tazkiyatun nafs ini seperti layaknya sebuah gelas. Jika gelas tersebut bersih atau suci, segala hal yang mengisinya pun akan tetap lezat.

Seperti halnya gelas bersih yang diisi dengan air bening, ia akan tetap bening. Namun jika gelas tersebut kotor, apapun yang dimasukkan ke dalamnya, baik itu minuman yang dianggap paling nikmatpun akan sia-sia karena akan berubah menjadi kotor.

Demikian juga dengan jiwa. Ketika jiwa kita bersih, maka akan siap menampung segala kebaikan-kebaikan. Namun sebaliknya, jika jiwa kita kotor, maka tidak akan siap menampung kebaikan-kebaikan sebagaimana gelas kotor tadi.

Mohammad Mufid Muwaffaq