Upaya Pembaharuan Fikih Kiai Sahal Mahfudh – Bagian 2

Upaya Pembaharuan Fikih Kiai Sahal Mahfudh - Bagian 2

PeciHitam.org – Setelah pada bagian pertama kita mengetahui bagaimana pola berpikir Kiai Sahal Mahfudz mengenai pembaharuan hukum fikih, disini kita akan membahas lebih detail lagi tentang bagaimana upaya pembaharuan fikih Kiai Sahal Mahfudz dalam beberapa metode dibawah ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Melalui metode “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” ini Kiai Sahal ingin memperbaharui (tajdîd) fikih dan mengemasnya menjadi paket “fikih baru” yang sesuai denagn tuntutan ruang dan waktu sehingga layak dikonsumsi. Kecenderungan “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” ini bisa dilihat semisal melalui peryataan belau; “Di sinilah perlunya “fikih baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fikih serta qawa’id (kaidah-kaidah fikih).”

terkait upaya pembaharuan fikih Kiai Sahal, Corak pemikiran fikih Kiai Sahal, selain bisa dilihat dari sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum yang digunakan, juga bisa dilihat dari sisi responsifnya (baik responnya terhadap sosial kemasyarakatan maupun sosial-politik) dan dari sisi implementasinya. Dari kedua sisi responsif dan implementasinya ini, menurut penulis, kecenderungan pemikiran fikih Kiai Sahal sebenarnya tak jauh beda dengan kecenderungan umum pemikiran fikih dalam tubuh Nahdhatul Ulama (NU) hanya progres dalam berfikirnya yang sedikit membedakan dari yang lain.

Kecenderungan tersebut adalah, dari sisi responsifnya, fikih lebih dimaksudkan sebagai medium kritik atas fenomena sosial-kemasyarakatan dan politik. Dari sisi implementasinya, fikih lebih sebagai medium kontrol sosial, bukan untuk diformalkan menjadi hukum positif negara.Yang demikian ini tak lepas dari watak dasar NU yang merupakan organisasi sosial-kemasyarakatan-keagamaan, bukan organisasi politik.

Selanjutnya, berikut penulis kutipkan pandangan-pandangan beliau terkait nalar fikih yang menurut penulis cukup progresif, moderat, bijaksanana dan menunjukkan kedalaman ilmu beliau. Pandangan-pandangan beliau di bawah nanti akan semakin mendukung tesis-tesis penulis di atas, yang secara umum bisa dikatakan bahwa Kiai Sahal sedang berupaya memperbaharui (tajdîd) pemikiran fikih (Indonesia). Berikut penulis kutipkan:

Baca Juga:  Macam-macam Takdir Sejak 50.000 Tahun Sebelum Penciptaan Langit dan Bumi

Bagaimana pun rumusan fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks (klasik), bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fikih?Apakah harus mauquf (tak terjawab)?Padahal memauqufkan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Di sinilah perlunya “fikih baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat.Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fikih serta qawa’id (kaidah-kaidah fikih).Pemikiran tentang perlunya “fikih baru” ini…karena adanya keterbatasan kitab-kitab fikih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer disamping muncul ide kontekstualisasi kitab kuning.” (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 :xiv-xv)

Pada halaman yang lain beliau mengatakan, “Rumusan ‘fikih baru’ ini kemudian dibahas secara intensif pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung,1992. Di dalam hasil Munas tersebut di antaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhajiy (metodologis) serta merekomendasikan para Kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar.Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif).Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhâq (qiyas). Pengertian istinbath al-Ahkâm di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari aslinya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah akan tetapi (sesuai dengan sikap dasar bermazhab), mentadbiqkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.” (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xv-xvi).

Baca Juga:  Diam Itu Emas; Perhiasan bagi Orang Alim dan Tirai Penutup Kebodohan

Melalui pernyataannya diatas, beliau ingin menyadarkan “kita” bahwa banyak persoalan baru yang hukumnya belum dibahas oleh ulama klasik. Ini sangat logis, sebab kehidupan terus berjalan, sehingga persoalanbaru pun terus bermunculan. Semisal saja hukum handpone (HP) yang di dalamnya terdapat mushhaf al-Qur’an. adapun ada sebuah momen ketika dalam suatu Bahstul Masail yang menjadikan permasalahan ini sebagai deskripsi masalahnya. Tak ada peserta yang mempu menyodorkan dalil verbal ulama klasik (ibârah, dalam bahas pesantren) yang sharîh (jelas) dari kitab-kitab klasik. Akhirnya, pembahasan pun di-mauquf-kan (diberhentikan). Ini wajar, sebab, pada masa klasik, fenomena al-Qur’an dalam HP belum ada. Dan, persoalan semacam ini sebenarnya hanya bisa diselesaikan secara motodologis.

Oleh sebab itu, menurut beliau, disamping kita bermazhab secara qauliy (tekstual) juga harus bermazab secara manhajiy (metodologis).Namun agaknya, seruan Kiai Sahal  agar (NU khususnya) bermazhab metodologis ini belum mendapatkan respon serius. Ini dibuktikan dengan masih minimnya perhatian terhadap kajian-kajian metodologis, khususnya ushul fikih di kalangan NU.Minin sekali kita jumpai forum Bahtsul Masail yang orientasinya adalah manhajiy.

Dalam halaman yang lain beliau menyatakan, “fikih itu merupakan produk ijtihad. Karena produk ijtihad maka keputusan fikih bukan barang sakral yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru. Dimana-mana yang namanya fikih adalah “al-Ilmu bi al-ahkâm al-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatihâ al-tafshiliyyah“. Definisi fikih sebagai al-muktasab (yang digali) menunjukan pada sebuah pemahaman bahwa fikih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis … Semua itu menunjukan bahwa fikih “produk ijtihadiy”. Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya fikih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatar belakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan.Para peletak dasar fikih, yakni imam mazhab (mujtahidîn) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Qur’an dan Hadits) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan “konteks likungan keduanya baik asbab al-nuzûl maupun asbab al-wurûd.Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 :  xx).

Baca Juga:  Cara Nalar Berpikir Mufassir dalam Menyusun Kitab Tafsir Berbahasa Lokal

Dari pernyataan beliau bahwa “keputusan fikih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru” nampaknya beliau ingin mendesakralisasi fikih.Sebab, disamping ‘sakralisme’terhadap fikih berpotensi melahirkan taklid buta dan fanatisme bermazhab yangakan berdapmpak terkikisnya kepekaan kita terhadap perkembangan zaman, juga menjadi salah satu penyebab keengganankita untuk lebih memperhatikan ushul fikih yang notabene lebih penting daripada fikih itu sendiri.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *