Tergantung Tujuannya! Inilah 5 Varian Hukum Pernikahan dalam Islam Berdasarkan Qarinahnya

Tergantung Tujuannya! Inilah 5 Varian Hukum Pernikahan dalam Islam Berdasarkan Qarinahnya

PeciHitam.org Kata paling sensitif bagi para Jomblo adalah Menikah. Apalagi yang melangsungkan pernikahan adalah mantannya sendiri, sakit tapi tidak berdarah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Jomblo atau sering disebut Mufrad Mabni oleh santri pesantren salafiyah, menjadi bahan guyonan karena tidak segera memiliki pasangan yang sah. Apalagi para kang-kang Tua yang sudah belasan tahun menimba Ilmu dipesantren

Bukannya tidak tahu Hukum Menikah dalam Islam jika sudah siap adalah Sunnah. Akan tetapi alasan belum menemukan pendamping yang tepat menyebabkan belum terlaksananya pernikahan.

Daftar Pembahasan:

Dalil Menikah

Pengaturan Islam dalam kehidupan manusia mengatur pula pola berhubungan lelaki-perempuan yakni pernikahan. Hukum pernikahan dalam Islam adalah Sunnah sesuai dengan perintah Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١

Artinya; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Qs. Ar-Ruum: 21)

Jelas difirmankan oleh Allah SWT bahwa Dia menunjukan kekuasaanya dengan menciptakan bagi laki-laki wanita untuk diperistri. Naluri alamiah manusia adalah berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan. Tidak dengan sejenisnya, wanita vs wanita dan lelaki vs lelaki.

Perbuatan ini hanya akan menjadikan kebinasaan bagi umat manusia, karena tidak akan melestarikan keturunan sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisaa’ ayat 1;

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (Qs. An-Nisaa’: 1)

Dalil disyariatkannya pernikahan salah satunya adalah meneruskan keturunan untuk melestarikan umat manusia. Tidak ada cara lain yang dibenarkan oleh Allah SWT untuk menambah keturunan kecuali dengan melakukan pernikahan.

Hukum pernikahan dalam Islam mempunyai banyak sudut pandang berdasar masing-masing individu. Selama Qarinah hukumnya merujuk pada kesunnahan, maka berhukum sunnah. Jika Qarinah hukum pernikahan dalam Islam merujuk pada Haram, maka bisa berakibat Haram.

Hukum Pernikahan dalam Islam

Hukum pernikahan dalam Islam dipandang sebagai salah satu kasus berpotensi Hukum terlengkap. Karena hukum pernikahan dalam Islam bisa bernilai sunnah, wajib, Mubah (Boleh), Makruh, dan Haram.

Kelengkapan hukum pernikahan dalam Islam merujuk pada motif dan tujuan pernikahan itu sendiri. Dorongan atau Motif disebut dalam Islam sebagai Qarinah atau ‘illat. Klasifikasi Hukum pernikahan dalam Islam sebagai berikut;

  1. Wajib, jika Qarinah hukumnya menunjukan seorang pemuda yang sudah mencukupi Umur dan mampu untuk menunaikan pernikahan. Qarinah kedua adalah ketakutan untuk terjebak dalam kemaksiatan zina terus menerus, maka wajib untuk menikah.
  2. Sunnah, jika serang pemuda sudah mampu untuk melangsungkan pernikahan dan memiliki modal untuk menikah. Akan tetapi tidak ada kekhawatiran jika tidak menikah akan terjebak dalam zina.
  3. Mubah, sebagaimana Hukum dasar mu’amalah, Nikah juga memiliki hukum dasar Mubah.
  4. Makruh, Jika seorang belum mampu untuk menunaikan pernikahan akan tetapi dipaksakan untuk melaksanakan pernikahan.
  5. Haram, jika seorang yang melangsungkan pernikahan hanya akan menjadikan madlarat/ kerusakan lebih besar. Sebagaimana pernikahan seorang dengan watak jelek yang hanya menimbulkan kesakitan bagi pasangannya.
Baca Juga:  Qurban dengan Kambing Betina? Begini Tuntunannya Sesuai Syariat

Pernikahan dan Kemanusiaan

Penciptaan manusia dibekali dengan fitrah yang menunjukan kebaikan baik tiap-tiap manusia. Fitrah bisa berupa dorongan hati yang berasal dari Allah SWT untuk memenuhi hajatnya tanpa perlu dipelajari. Sebagaimana menikah, tidak memerlukan ajaran dari siapapun untuk tertarik kepada lawan jenis.

Cinta, kasih dan ketertarikan kepada lawan jenis adalah given pemberian Allah SWT sebagai fitrah manusia. Fitrah manusia, keterarikan terjadi kepada lawan jenis, bukan kepada sesama jenis sebagaimana argumen orang LGBT. Dalih HAM tidak bisa menghindari pembohongan atas fitrah manusia yang diciptakan berpasangan.

Hubungan sesama jenis, cepat atau lambat akan menimbulkan kebinasaan bagi manusia. Baik kebinasaan karena adzab Allah SWT sebagaimana kaum Sodom (kaum Nabi Luth) atau kebinasaan dari segi keturunan. Karena tidak ada keturunan dari manusia berjenis kelamin sama yang menjalin hubungan.

Benar kiranya Allah SWT membuat sunnatullah bahwa pasangan dalam dunia ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Makhluk didunia ini, hampir mustahil bisa berkembang biak dan mempertahankan dirinya tanpa melakukan pernikahan dengan lawan jenisnya.

Bahkan Manusia suci sekelas Rasulullah SAW, contoh bagi manusia seluruhnya tetap melangsungkan pernikahan sebagai bukti bahwa ia adalah manusia. Hal ini sebagai sindirian kepada orang Nasrani yang mendewakan/ menuhankan Isa AS dengan nama Yesus, Sang Juru Selamat.

Baca Juga:  Menjual Rumah untuk biaya Haji? Begini Hukumnya!

Isa AS memang tidak menikah seumur hidupnya yang menjadi alasan ia dianggap menjadi Tuhan dalam bentuk manusia. Berbeda dengan Rasulullah Muhammad SAW yang menampilkan sisi Basyariyah (Kemanusiaan) sebagai contoh ideal bagi manusia.

Rasulullah SAW bersabda dalam Hadit beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi Al-Bantani;

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: النِّكَاحُ سُنَّتِيْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

Artinya; “Nabi SAW bersabda, “Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia tidak mengikuti jalanku (Golonganku)”

Kemanusiaan terasa lebih jelas dalam diri Muhammad SAW dengan beliau melakukan pernikahan sebagaimana kebanyakan manusia. Hubungan seks dalam kerangka pernikahan adalah sebuah hubungan yang diberi pahala oleh Allah SWT.

Hukum pernikahan dalam Islam dalam kerangka mengikuti sunnah Rasulullah SAW adalah sunnah dan berpahala di sisi Allah. Pernikahan juga menjadi sindiri kepada mereka yang berpandangan bahwa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan harus menjauhkan diri dari Nafsu.

Segolongan ini adalah para pendekata yang memandang hubungan suami istri menjadi halangan untuk menghamba kepada Tuhan YME. Akan tetapi Hukum pernikahan dalam Islam adalah sunnah yang menjadikan pernikahan sebagai sarana beribadah kepada Allah, bukan sebagai halangan.

Tujuan Pernikahan dalam Islam

Hukum pernikahan dalam Islam secara luas dipandang sebagai sunnah sesuai dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam pernikahan disunnahkan untuk mendoakan pasangan agar tercapai tujuan dari pernikahan.

Mendoakan pengantin baru dengan Sakinah Mawadah warahmah merupakan pengharapan baik bagi pasangan pengantin untuk hidup dalam keharmonisan dan bertahan lama. Hidup harmoni adalah bentuk kehidupan saling melengkapi, mengisi serta menjadi penentram satu sama lain.

Manusia penuh dengan kekurangan, oleh karenanya tidaklah benar jika seseorang hanya mencari kesempurnaan tanpa saling menutupi kekurangan. Kekurangan inilah tantangan untuk dilengkapi agar menggapai keharmonisan bersama. Al-Qur’an menyebutkan,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١

Artinya; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Qs. Ar-Ruum: 21)

Sakinah

Allah SWT, Tuhan pencipta alam semesta menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan saling berpasangan. Fitrah manusia yakni merasa tentram, tenang dengan orang yang dicintainya. Pasangan manusia akan saling menentramkan sebagaimana kata Allah (لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا)-supaa kamu tentram bersama pasangan.

Kata sakinah berasal dari bahasa Arab ()-sukun yang bermakna “Tenang”, “tentram”, “berhenti”, atau “mati”. Gambaran Allah atas ayat itu adalah menjadikan manusia merasa tenang dan tentram dengan pasangannya tidak lagi melirik kanan kiri.

Baca Juga:  Macam-macam Shalat Sunnah Muakkad dan Rawatib

Kecenderungan ketenangan juga bersumber dari pengendalian nafsu manusia. Pasangan akan menentramkan nafsu yang meledak-ledak sebelum punya pasangan atau masih jomblo.

Makna berhenti bermaksud bahwa pasangan akan memberhentikan “petualangan” dosa yang sering manusia lakukan. Pasangan sah sebagai suami-istri mendorong manusia akan berhenti dari pencarian pacar atau wanita lain.

Sedangkan makna “Mati” merujuk pada keadaan nafsu manusia harus dimatikan kepada selain pasangan. Istri menjadi tempat bertambat terakhir bagi seorang laki-laki.

Mawadah dan Rahmah

Surat ar-Ruum ayat 21 menyebutkan pula term kata (مَوَدَّةً) dan (وَرَحْمَةً) yang bermakna Kasih dan Rasa Sayang kepada pasangan.

Termiologi jawa menyebutkan pasangan Istri adalah garwa, kependekan dari sigaring nyawa atau separuh nyawa. Kandungan Garwa yakni memposisikan Istri sebagai separuh jiwa seorang laki-laki. Kelengkapan jiwa terletak pada istri dan keluarga.

Tidak salah jika Allah menetapkan tujuan pernikahan untuk sakinah, mawadah dan rahmah bagi setiap pasangan.  Karena nilai dalam tujuan ini sangat mendukung kelanggengan hubungan dalam bingkai rumah tangga yang baik.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan