Berhubungan Suami Istri Setelah Haid, Tapi Belum Mandi Junub, Bolehkah?

Berhubungan Suami Istri Setelah Haid, Tapi Belum Mandi Junub, Bolehkah?

Pecihitam.org – Salah satu perkara yang dilarang bagi perempuan yang sedang haid adalah berhubungan suami-istri. Namun, berhubungan suami istri setelah selesai haid tapi belum sempat mandi junub, maka terdapat sedikit perbedaan di kalangan Fuqoha tentang boleh atau tidaknya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

1. Pendapat Madzhab Hanafi

Ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah membolehkan berhubungan suami istri setelah haid bagi perempuan, walaupun ia belum mandi junub, dengan ketentuan sudah melewati hari ke-10 sejak hari pertama haidnya. Durasi 10 hari adalah durasi maksimal haid dalam madzhab Hanafi. (Hasyiyah Ibn Abdin, jilid 1 hal. 195)

Ibnu Abdin dalam kitabnya Hasyiyah menjelaskan bahwa Ada beberapa ketentuan bagi perempuan terkait boleh dan tidaknya berhubungan intim usai berhentinya darah haid, yaitu:

a. Darah haid berhenti di akhir durasi maksimal haid atau lebih.

Bagi madzhab Hanafi, durasi maksimal haid adalah 10 hari. Saat darahnya betul-betul sudah berhenti pada hari ke-10 atau lebih, maka ia boleh berhubungan suami istri walaupun belum sempat mandi junub. Yang penting darahnya betul-betul telah berhenti keluar.

Akan tetapi perempuan tersebut tetap dianjurkan untuk menunda hubungan seksual sampai ia melakukan mandi junub terlebih dulu.

b. Darah sudah berhenti sebelum sebelum hari ke-10

Ketentuan kedua dijelaskan bahwa jika darahnya sudah berhenti sebelum mencapai hari ke-10 dari hari pertama haid, maka ia tidak boleh berhubungan suami-istri sebelum mandi junub.

Baca Juga:  Ziarah Kubur; Bagaimanakah Hukumnya? Sunnah atau Musyrik?

c. Darah Haid berhenti sesudah mencapai siklus kebiasaan

Khusus bagian ini, ia berlaku bagi perempuan Mu’taadah, yaitu perempuan yang memiliki siklus haid teratur dimana ia bisa memperkirakan durasi haidnya dengan cara melihat dari kebiasaannya.

Misalnya, anda seorang perempuan yang setiap bulannya selalu mempunyai durasi haid yang tetap (6 hari, atau 7 hari, atau 8 hari, dst).

Bagi Anda (perempuan) yang terbiasa dengan durasi haid selama 6 hari (misalnya), maka jika darah haidnya telah berhenti pada hari ke-6 atau lebih, maka ia tidak boleh berhubungan suami istri sebelum mandi junub.

d. Darah Haid berhenti sebelum mencapai Siklus kebiasaan

Sama halnya dengan bagian sebelumnya, pada bagian penjelasan ini juga hanya berlaku bagi perempuan Mu’taadah.

Perempuan mu’taadah yang siklus haidnya terbiasa selama 7 hari (misalnya), maka jika darahnya sudah tidak keluar di hari ke-4 atau ke-5 atau ke-6, maka ia belum dibolehkan berhubungan suami-istri, bahkan walaupun ia sudah mandi junub.

Kesimpulannya, bahwa madzhab Hanafi tidak membolehkan berhubungan suami istri bagi perempuan yang baru selesai haidnya, sebelum mandi junub. Kecuali jika perempuan tersebut sudah mencapai hari ke-10 atau lebih sejak hari pertama keluarnya haid.

Baca Juga:  Bolehkah Menunda Mandi Wajib Setelah Selesai Junub?

2. Pendapat Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali

Sedangkan Jumhur (Mayoritas) Ulama dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa perempuan yang bersih dari haid masih belum boleh berhubungan suami istri selama ia belum melakukan mandi junub. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Jilid 18, hal. 325)

Karena perempuan haid yang ingin melakukan hubungan suami istri harus melalui 2 fase, yaitu: At-Thuhr (berhentinya darah haid) dan Al-ghusl (melakukan mandi junub). Hal tersebut disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 222 yang artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di masa haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Jika kita membaca Text asli dari ayat di atas, maka kita akan menemukan dua redaksi kata yang harus difahami, yaitu: يَطْهُرْنَ dan تَطَهَّرْنَ

Pada redaksi kata yang pertama (يَطْهُرْنَ) ia bermakna “suci” secara hakiki yaitu berhentinya darah haid. Dan pada redaksi yang kedua (تَطَهَّرْنَ) ia bermakna “bersuci” yaitu melakukan mandi junub (mandi wajib) untuk mengangkat hadats besarnya setelah selesai haid.

Baca Juga:  Bukan Hoaks! Awet Muda, Salah Satu Manfaat Wudhu Sebelum Tidur

Ulama dari kalangan madzhab Maliki bahkan memberi penegasan bahwa bersuci dengan tayammum saja tidak membuat perempuan tersebut boleh berhubungan seksual dengan suaminya hingga ia betul-betul mandi junub menggunakan air. (Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘Ala Asy-Syarh Al-Kabir, jilid 1 hal. 173)

Jadi, kesimpulannya adalah selain madzhab Hanafi, Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa Berhubungan Suami Istri Setelah Haid, Tapi Belum Mandi Junub tidak dibolehkan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Adapun ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah memang membolehkan perempuan haid yang sudah berhenti darahnya untuk berhubungan suami istri, dengan syarat dan ketentuan bahwa ia sudah melewati masa maksimal haid, yang menurut madzhab ini adalah 10 hari.

Bahkan dalam keadaan ini pun, madzhab ini tetap menganjurkan perempuan untuk mandi wajib (junub) terlebih dahulu.

Wallahu a’lam

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *