Hadits Shahih Al-Bukhari No. 214 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 214 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberikan judul bab hadis ini dengan “Menyiramkan air ke atas (sisa) air kencing di dalam masjid” menceritakan seorang Arab badui yang buang air kecil di sudut masjid kemudian Nabi membersihkannya. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 283-286.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَابُ يُهَرِيقُ الْمَاءَ عَلَى الْبَوْلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ قَالَ وَحَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdan] berkata, telah mengabarkan kepada kami [‘Abdullah] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Sa’id] berkata, aku mendengar [Anas bin Malik] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang bab menyiramkan air pada bekas kencing. Telah menceritakan kepada kami [Khalid bin Makhlad] berkata, dan telah menceritakan kepada kami [Sulaiman] dari [Yahya bin Sa’id] berkata, “Aku mendengar [Anas bin Malik] berkata, “Seorang ‘Arab badui datang lalu kencing di sudut Masjid, maka orang-orang pun ingin mengusirnya, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka. Setelah orang itu selesai dari kencingnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minta setimba air lalu menyiram pada bekasnya.”

Keterangan Hadis: أَخْبَرَنَا عَبْد اللَّه (Abdullah Te/ah mengabarkan kepada kami) maksudnya adalah Abdullah bin Mubarak. Sedangkan yang dimaksud dengan Yahya di sini adalah Yahya bin Sa’id Al Anshari.

حَدَّثَنَا خَالِدُ (Khalid telah menceritakan kepada kami) lafazh ini dikaitkan dengan Jafazh, “Abdan telah menceritakan kepada kami.” Sementara Sulaiman yang disebutkan dalam silsilah periwayatan ini adalah Sulaiman bin Bilal. Tampak bahwa teks hadits ini adalah menurut versi Sulaiman bin Bilal, sebab lafazh versi Abdan sedikit berbeda dengan versi beliau sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya, yakni lafazh menurut riwayat Abdan dinukil olch Imam An-Nasa’i.

فَنَهَاهُمْ (Maka Nabi SAW melarang mereka) dalam riwayat Abdan disebutkan, “Nabi SAW bersabda, ‘Biarkanlah dia,’ maka orang-orang pun membiarkannya.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 277 – Kitab Mandi

Pelajaran yang dapat diambil

Pertama, menjaga diri dari najis telah mendapatkan tempat tersendiri dalam jiwa para sahabat, sehingga mereka dengan segera mengingkari perbuatan orang Arab badui tersebut di hadapan Nabi SAW sebelum diizinkan oleh beliau SAW. Di samping itu, perkara amar ma ‘rufnahi munkar telah demikian mendarah daging dalam jiwa mereka.

Kedua, hadits ini dijadikan pula sebagai landasan bolehnya berpegang (berpedoman) dengan dalil-dalil yang bersifat umum sebelum ditemukan dalil-dalil bersifat khusus. lbnu Daqiq Al Id berkata, “Pandangan yang lebih kuat menyatakan bahwa berpegang (berpedoman) dengan dalil-dalil yang bersifat umum menjadi kemestian bagi seorang mujtahid meskipun ada kemungkinan adanya dalil-dalil yang bersifat khusus dalam perkara yang dimaksud, dan tidak wajib bagi seseorang untuk menahan diri untuk mengamalkan hadits-hadits yang bersifat umum karena alasan kemungkinan tersebut. Hal ini karena para ulama di berbagai pelosok senantiasa berfatwa berlandaskan dalil-dalil yang bersifat umum tanpa menahan diri untuk mengamalkannya demi meneliti dan mencari terlebih dahulu dalil-dalil yang bersifat khusus.

Pandangan demikian diperkuat oleh kisah dalam hadits ini, dimana Nabi SAW tidak mengingkari perbuatan para sahabat dengan mengatakan, ‘Mengapa kalian mengingkari perbuatan orang Arab badui ini?’ Bahkan beliau SAW memerintahkan para sahabat untuk menahan diri demi tercapainya suatu maslahat yang jauh lebih besar, yaitu menghindari salah satu dari dua mafsadat (kerusakan) dengan jalan melakukan yang paling ringan resikonya di antara kedua kerusakan tersebut, atau mendapatkan kemas­lahatan (kebaikan) terbanyak dengan jalan meninggalkan kcmaslahatan yang sedikit.”

Ketiga, keharusan bersegera menghilangkan mafrndat (kerusakan) apabila halangan untuk itu sudah tidak ada. Hal ini didasarkan pada perintah bcliau SAW untuk menyiram bekas kencing orang Arab badui sctclah selesai.

Keempat, menentukan air sebagai alat untuk menghilangkan najis. Sebab jika tiupan angin atau pancaran sinar matahari yang dapat mengeringkan tempat tersebut bisa mensucikannya, tentu beliau SAW tidak perlu membebani para sahabatnya agar membawakan air untuk menyiramnya.

Kelima, air yang digunakan untuk membcrsihkan najis yang ada di tanah hukumnya suci, lalu diikutkan juga hukum najis yang tidak terletak di tanah. Scbab tanah yang basah bekas disiram air tersebut termasuk air yang digunakan membersihkan najis, apabila tidak ada keterangan bahwa mereka mengangkat tanah yang dikencingi itu. Sementara telah diketahui bahwa maksud disiramnya tempat tersebut adalah untuk mensucikannya, maka menjadi jelas bahwa tanah basah tersebut hukumnya adalah suci. Jika hukumnya suci, maka air yang terpisah dari air yang digunakan membersihkan najis tersebut hukumnya suci pula karena tidak adanya perbedaan di antara keduanya.

Baca Juga:  HaditsShahih Al-Bukhari No. 271-272 – Kitab Mandi

Al Muwaffiq (lbnu Qudamah -penerj) berkata dalam kitab Al Mughni setelah menukil perselisihan dalam hal itu, “Yang paling tepat adalah pendapat yang mengatakan air yang digunakan membersihkan najis adalah suci secara mutlak (tanpa batasan tertentu), sebab Nabi SAW tidak mensyaratkan sesuatupun saat menyiram kencing orang Arab badui tersebut.”

Keenam, berlaku lembut terhadap orang yang tidak tahu dan mengajarinya mengenai perkara yang mesti dilakukannya tanpa diiringi kekerasan j ika perbuatan terse but tidak dilakukannya dalam rangka pembangkangan. Perlakuan lembut seperti ini lebih dianjurkan untuk dilakukan terhadap mereka yang perlu dilunakkan hatinya.

Ketujuh, penjelasan tentang kasih sayang dan kelembutan Nabi SAW serta kebaikan akhlaknya. Disebutkan oleh Ibnu Maj ah dan Ibnu Hibban dalam hadits Abu Hurairah RA, “Setelah orang Arab badui tersebut memahami ajaran Islam, dia berdiri menghampiri Nabi SAW seraya berkata, ‘Demi bapak dan ibuku, sungguh engkau tidak berlaku kasar dan tidak mencela.”‘

Kedelapan, mengagungkan masjid serta membersihkannya dari kotoran. Sementara itu menurut konteks hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Imam Muslim memberi indikasi tidak boleh melaku­kan sesuatu di masjid selain apa-apa yang telah disebutkan, yaitu shalat, membaca Al Qur’an dan dzikir. Tidak diragukan lagi bahwa melakukan hal-hal selain yang disebutkan atau yang tidak semakna dengannya, termasuk perbuatan mengesampingkan perkara yang lebih utama, wallahu a ‘lam.

Kesembilan, tanah menjadi suci apabila telah disiram air tanpa harus digali. Berbeda dengan pandangan ulama Hanafi yang mengatakan, “Tanah tersebut tetap tidak dianggap suci kecuali bila digali.” Demikian Imam Nawawi dan selainnya menyebutkan pendapat madzhab Hanafi tanpa perincian lebih lanjut.

Sementara pendapat yang disebutkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi terdapat perincian; apabila tanah tersebut gembur, dimana air dapat meresap ke dalamnya maka tidak perlu digali. Sedangkan jika tanahnya keras dan air sulit meresap, maka harus digali dan membuang tanah galian tersebut. Sebab dalam kondisi demikian, air tidak mampu membasahi bagian atas dan bawah-nya. Mereka mendasari pendapat ini dengan hadits yang dinukil melalui tiga jalur periwayatan; salah satunya diriwayatkan melalui lbnu Mas ‘ud dengan silsilah yang bersambung sampai kepada Nabi SAW, sebagai-mana dinukil oleh At­Thahawi. Akan tetapi jalur periwayatannya lemah, seperti dikatakan oleh Imam Ahmad dan lainnya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 615 – Kitab Adzan

Adapun dua jalur yang lain, masuk dalam kategori riwayat mursal (yakni suatu riwayat yang tidak disebutkan nama sahabat yang meriwayatkan dari Nabi SAW ataupun periwayat sebelum sahabat -penerj). Salah satunya dikutip oleh Abu Dawud melalui jalur Abdullah bin Ma’qil bin Muqrin, sementara satunya lagi diriwayatkan melalui jalur Sa’id bin Manshur melalui Thawus, dimana para perawi kedua jalur ini termasuk orang-orang tsiqah (terpercaya).

Ketiga riwayat ini mengharuskan mereka yang berpandangan bahwa riwayat-riwayat mursal dapat dijadikan hujjah (landasan argumen­tasi) untuk mengatakan seperti pendapat ulama Hanafi, demikian pula bagi mercka yang berpendapat bahwa riwayat mursal dapat menjadi hujjah apabila didukung oleh jalur periwayatan lain yang bersambung kepada Nabi SAW.

Adapun Imam Syafi’i berpandangan bahwa riwayat­riwayat mursal tidak dapat dijadikan hujjah meski didukung oleh jalur lain yang bcrsambung sampai kepada Nabi, kccuali bila perawi yang langsung menisbatkan hadits tersebut kepada nabi SAW tergolong pem­besar tabi’in. Di samping itu, apabila ia menjelaskan perawi yang sengaja tidak disebutkan dalam jalur periwayatannya, maka yang ia sebut hanyalah para perawi yang tsiqah. Semua persyaratan ini tidak ditemukan dalam kedua hadits mursal tersebut, scbagaimana yang dapat dipahami dari kedua jalur periwayatan tersebut, wallahu a ‘lam. Pembahasan selanjutnya mengenai faidah hadits ini akan dijelaskan pada bab “Adab”, insya Allah.

M Resky S