Hadits Shahih Al-Bukhari No. 322 – Kitab Tayammum

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 321 – Kitab Tayammum ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Bab Satu” hadis berikut ini menjelaskan tentang Aisyah ra yang melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw dan kehilangan kalungnya ketika sampai di satu tempat bernama Baida’. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Tayammum. Halaman 577-591.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي فَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْتِمَاسِهِ وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَقَالُوا أَلَا تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ أَقَامَتْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ فَقَالَ حَبَسْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي فَلَا يَمْنَعُنِي مِنْ التَّحَرُّكِ إِلَّا مَكَانُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَصْبَحَ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ فَتَيَمَّمُوا فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ فَبَعَثْنَا الْبَعِيرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ فَأَصَبْنَا الْعِقْدَ تَحْتَهُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [‘Abdurrahman bin Al Qasim] dari [bapaknya] dari [‘Aisyah] isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu perjalanan yang dilakukannya. Hingga ketika kami sampai di Baida’, atau tempat peristirahatan pasukan, aku kehilangan kalungku. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya mencarinya sementara mereka tidak berada dekat air. Orang-orang lalu datang kepada Abu Bakar Ash Shidiq seraya berkata, ‘Tidakkah kamu perhatikan apa yang telah diperbuat oleh ‘Aisyah? Dia telah membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang tertahan (dari melanjutkan perjalanan) padahal mereka tidak sedang berada dekat air dan mereka juga tidak memiliki air! ‘ Lalu Abu Bakar datang sedangkan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan kepalanya di pahaku. Abu Bakar lalu memarahiku dan mengatakan sebagaimana yang dikehendaki Allah untuk (Abu Bakar) mengatakannya. Ia menusuk lambungku, dan tidak ada yang menghalangiku untuk bergerak (karena rasa sakit) kecuali karena keberadaan Rasulullah yang di pahaku.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di waktu subuh dalam keadaan tidak memiliki air. Allah Ta’ala kemudian menurunkan ayat tayamum, maka orang-orang pun bertayamum.” Usaid bin Al Hudlair lalu berkata, “Tidaklah Aisyah kecuali awal dari keberkahan keluarga kamu wahai wahai Abu Bakar!” ‘Aisyah berkata, “Kemudian unta yang aku tunggangi berdiri yang ternyata kami temukan kalungku berada dibawahnya.”

Keterangan Hadis: Tayamum menurut bahasa (etimologi) berarti Al Qashdu (Maksud atau sengaja). Adapun menurut syariat (terminologi) berarti menyengaja -memukulkan kedua telapak tangan ke tanah- untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat agar sah melakukan shalat dan ibadah yang serupa.

Ibnu Sikkit berkata, “firman Allah Ta’ala, فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا yakni tujulah oleh kamu tanah. Kemudian karena sering digunakan, akhimya tayamum identik dengan mengusap wajah dan kedua tangan dengan tanah. Jika demikian, maka tayamum sesuai dengan makna ini ditinjau dari segi bahasa adalah majaz (kiasan). Sedang makna yang pertama adalah makan hakikat syariah, bukan majaz.

Selanjutnya para ulama berbeda pendapat dalam hal tayamum, apakah merupakan azimah (kewajiban) atau rukhshah (keringanan)? Sebagian ulama memberi perincian sebagai berikut; apabila dalam keadaan tidak ada air, maka tayamum merupakan azimah. Sedang dalam keadaan udzur (halangan), tayamum merupakan rukhshah.

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً (Lalu kamu tidak memperoleh air). Demikian lafazh yang terdapat dalam kebanyakan riwayat, sementara dalam riwayat An­N asafi, Abdus, Al Mustamli dan Al Hamawi disebutkan dengan lafazh, فان لم تَجِدُوا مَاءً (Maka jika kamu tidak memperoleh air). Abu Dzar berkata, “Demikian pula yang terdapat pada riwayat kami.” Adapun bacaan  فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً adalah yang benar, menurut penulis kitab Al Masyariq.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, “Tampak bagiku sesungguhnya Imam Bukhari ingin menjelaskan, bahwa ayat yang masih samar dalam hadits Aisyah فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ (Maka Allah menurunkan ayat tayamum) dalam bab di atas adalah ayat dalam surah Al Maa’idah. Kesimpulan seperti ini telah disebutkan secara tegas dalam riwayat Hammad bin Salamah dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah dalam kisah yang disebutkan di atas, dimana beliau (Aisyah) berkata, ‘Maka Allah menurunkan ayat tayamum,

(Lalu jika kamu tidak memperoleh air, maka hendaklah bertayamum). Seakan-akan Imam Bukhari ingin mengisyarat­kan kepada riwayat yang khusus ini. Tidak tertutup kemungkinan bahwa bacaan tersebut adalah syadz (caat) karena Hammad bin Salamah atau yang lainnya, atau karena keraguan darinya. Sesunguhnya yang dimaksud oleh Aisyah adalah ayat dalam surah Al Maa’ idah. Adapun ayat surah An-Nisaa’ telah dijadikan oleh Imam Bukhari sebagai salah satu bab khusus dalam kitab tafsir, lalu beliau menyebutkan pula hadits Aisyah.

Imam Bukhari tidak bermaksud menyatakan bahwa turunnya ayat tersebut khusus berkenaan dengan kisah Aisyah, bahkan lafazh riwayat yang memenuhi syarat shahih menurut beliau adalah mencakup dua kemungkinan di atas. Akan tetapi yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah riwayat Hammad bin Salamah, dimana di dalamnya terdapat tambahan berbeda dengan yang lain, wallahu a ‘lam.”

وَأَيْدِيَكُمْ (Dan kedua tangan kamu) Dalam riwayat Abu Dzar hanya disebutkan sampai di sini, dan dalam riwayat Asy-Syabawi dan Karimah ditambah lafazh مِنْهُ ۚ (darinya). Tambahan ini memastikan bahwa yang dimaksud adalah ayat pada surah Al Maa’idah bukan ayat surah An­Nisaa’. Inilah yang menjadi dasar pemahaman Imam Bukhari, lalu beliau menyebutkan hadits bab ini dalam Tafsir surah Al Maa’idah.

Beliau memperkuat pandangannya dengan riwayat Amru bin Harits dari Abdurrahman bin Qasim dalam hadits ini dan lafazhnya, “Maka turun ayat, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ (Wahai orang-orang yang beriman jika kalian hendak menunaikan shalat) sampai firman-Nya, تَشْكُرُونَ (kamu bersyukur). Adapun secara lengkap ayat tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerja­kan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al Maa’idah (5): 6)

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 61 – Kitab Ilmu

فِي بَعْض أَسْفَاره (Dalam sebagian perjalanannya). lbnu Abdil Barr berkata dalam kitab At Tamhid, “Dikatakan sesungguhnya peristiwa itu terjadi saat perang bani Al Mushthaliq. Keterangan seperti ini ditegaskan dalam kitab Al Istidzkar. Jauh sebelumnya, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban telah mengemukakan pendapat yang serupa.

Perang bani Al Mushthaliq adalah perang Al Marisi ‘, dimana saat itu terjadi peristiwa Al Ifki (tuduhan dusta) terhadap Sayyidah Aisyah. Peristiwa Al Ifki ini disebabkan juga oleh jatuhnya kalung Aisyah. Dengan demikian jika apa yang mereka katakan itu benar, maka kemungkinan kalung Aisyah jatuh dua kali dalam perjalanan tersebut, karena adanya perbedaan dua peristiwa tersebut sebagaimana nampak dari penuturannya.”

Lalu sebagian syaikh kami menganggap pendapat di atas sangat jauh dari kebenaran, beliau berkata, “Sesungguhnya Al Marisi’ berada di arah Makkah antara Qadid dan As-Sahil, sedangkan peristiwa ini terjadi di arah Khaibar berdasarkan lafazh hadits, ‘Ketika kami berada di Al Baida’ atau di Dzatul Jaisy“. Keduanya terletak di antara Madinah dan Khaibar, sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nawawi.”

Aku (Ibnu Hajar) berkata, “Apa yang dikatakan oleh Imam An­Nawawi berbeda dengan yang dikatakan oleh Ibnu At-Tin, dimana beliau berkata, ‘Al Baida’ adalah Dzul Hulaifah yang terletak dekat Madinah dari arah Makkah. “‘ Dia juga berkata, “Dzatul Jaisy berada sebelum Dzul Hulaifah.”

Abu Abid Al Bakri dalam kitabnya Al Mu ‘jam mengatakan, “Al Baida’ lebih dekat ke Makkah daripada Dzul Hulaifah.” Kemudian dia menyebutkan hadits Aisyah dan hadits Ibnu Umar, dimana disebutkan di dalamnya, “Dacrah Al Baida’ kalian ini adalah tempat kalian berbuat dusta padanya, Rasulullah SAW tidak pemah ihram kecuali dari samping masjid.” (Al Hadits)

Dia menambahkan, “Al Baida’ adalah As-Syaraf yang berada sebelum Dzul Hulaifah dari jalur Makkah.” Dia berkata pula, “Dzatul Jaisy dari Madinah sekitar satu barid (jarak satu barid diperselisihkan oleh para ulama -penerj.) Jarak antara Dzatul Jaisy dengan Al Aqiq sejauh 7 mil. Sementara Al Aqiq berada di jalur Makkah bukan jalur Khaibar, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu At-Tin.”

Pendapat Ibnu At-Tin diperkuat oleh apa yang diriwayatkan Al Hamidi dalam Musnad-nya dari Sufyan, beliau berkata, “Telah men­ceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari ayahnya berkenaan dengan hadits ini, dimana disebutkan ‘Sesungguhnya kalung itu jatuh pada suatu malam di Al Abwa’ .”

Al Abwa’ terletak di antara Makkah dan Madinah. Kemudian pada riwayat Ali bin Mashar dari Hisyam berkenaan dengan hadits ini, dia berkata, “Tempat itu dinamakan Ash-Shalshal.” Riwayat ini dinukil oleh Ja’far Al Faryabi dalam pembahasan thaharah dan Ibnu Abdil Barr, juga dari jalur beliau. Al Bakri berkata, “Ash-Shalshal adalah gunung di Dzul Hulaifah.”

Dari sekian riwayat yang saling menunjang dapat diketahui kebcnaran perkataan Ibnu At-Tin, dan sebagian ulama cenderung bahwa kedua peristiwa di atas (peristiwa tayamum dan peristiwa cerita dusta atau ifki) terjadi dalam perjalanan yang berbeda berdasarkan riwayat Imam Thabrani yang sangat tegas mengenai hal itu, wallahu a ‘lam.

عِقْد Artinya semua yang diikat dan digantung di leher, dan dinamakan juga قِلَادَة sebagaimana yang akan dijelaskan. Dalam tafsir dari riwayat Amru bin Harits disebutkan, “Kalung (qiladah) kujatuh di Baida’ pada saat kami akan memasuki Madinah, maka Nabi berhenti dan turun (dari kendaraannya).” Keterangan ini menunjukkan sesungguhnya mereka berada dekat dari Madinah.

عَلَى اِلْتِمَاسه (Untuk mencarinya). Akan dijelaskan bahwa yang diutus untuk mencarinya adalah Usaid bin Hudhair dan lainnya.

وَلَيْسُوا عَلَى مَاء ، وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاء (Mereka berada di tempat yang tidak ada air dan mereka juga tidak punya persediaan air). Demikianlah lafazh yang banyak dikutip oleh para perawi, sementara dalam riwayat Abu Dzar kalimat kedua tidak disebutkan.

Lafazh ini dijadikan dalil atas bolehnya bermukim di tempat yang tidak ada air, dan bolehnya menempuh jalan yang tidak melewati sumber mata air. Namun pemyataan ini perlu dipertanyakan lagi, sebab jarak mereka dengan kota Madinah telah dekat dan mereka telah bermaksud memasukinya. Di samping itu, ada kemungkinan Nabi tidak mengetahui tentang tidak adanya persediaan air pada rombongan walaupun beliau SAW mengetahui bahwa di tempat tersebut tidak ada sumber mata air. Ada pula kemungkinan perkataan “Mereka juga tidak punya persediaan air“, yakni air untuk berwudhu. Adapun air yang dibutuhkan untuk minum, maka kemungkinan mereka punya. Pernyataan ini ada kemung­kinan dibenarkan, sebab bisa saja Allah SWT mengirimkan hujan atau memunculkan air dari celah jari-jari Nabi sebagaimana yang terjadi pada situasi yang lain.

Hadits ini memberi keterangan mengenai perhatian seorang imam (pemimpin) terhadap hak-hak kaum muslimin meski nilainya kecil. Ibnu Baththal telah menukil bahwa harga kalung tersebut adalah 12 Dirham. Kemudian hal itu disamakan dengan hukum mencari barang yang hilang, berhenti untuk menunggu anggota rombongan yang tertinggal, mengubur mayit dan semacamnya di antara kemaslahatan masyarakat. Dalam hadits ini terkandung isyarat untuk tidak menyia-nyiakan harta.

فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْر (Maka orang-orang mendatangi Abu Bakar). Ini merupakan keterangan bolehnya bagi wanita untuk mengadukan masalahnya kepada ayahnya, walaupun ia telah bersuami. Namun seakan-akan mereka mengadu kepada Abu Bakar karena saat itu Nabi sedang tidur dan mereka tidak mau membangunkannya.

Hadits ini juga menerangkan bolehnya menisbatkan suatu perbuatan kepada penyebab­nya, berdasarkan perkataan mereka, “Yang dilakukannya dan ia (Aisyah) menahan (Rasulullah beserta rombongan).” Dari sini diperoleh penjelasan bolehnya seorang bapak menemui anak perempuannya meskipun ada suaminya, bila sang bapak mengetahui bahwa sang suami meridhai perbuatannya, di samping itu mereka bukan dalam kondisi sedang bermesraan.

فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْر ، وَقَالَ مَا شَاءَ اللَّه أَنْ يَقُول (Maka Abu Bakar mencelaku, dan beliau mengatakan apa yang dikehendaki oleh Allah untuk dikatakannya). Dalam riwayat Amru bin Harits disebutkan, “Manusia engkau tahan hanya karena sebab kalung.” Dalam riwayat Ath-Thabrani bahwa di antara kalimat celaan yang diucapkan oleh Abu Bakar kepadanya adalah, “Di setiap waktu engkau selalu menyusahkan.”

Namun yang perlu digarisbawahi adalah perkataan Aisyah, “Maka Abu Bakar mencelaku.” Beliau tidak mengatakan ayahku, karena konteks kebapakan berhubungan dengan kasih sayang. Sedangkan apa yang terjadi berupa celaan dan pengajaran yang diberikan secara lahiriah bertentangan dengan hal tersebut, maka Aisyah menempatkan ayahnya sebagai orang lain dan tidak mengatakan “ayahku”.

يَطْعُنُنِي (Beliau menusukku). Hal ini memberi penjelasan bolehnya seorang bapak mendidik anak perempuannya, walaupun telah lama bersuami dan tinggal di luar rumahnya. Masuk pula dalam kategori ini orang yang mendidik orang yang berada dalam kekuasaannya, meskipun tanpa izin sang imam (pemimpin).

فَلَا يَمْنَعُنِي مِنْ التَّحَرُّك (Tidak ada yang menghalangiku untuk bergerak) Di sini terdapat anjuran untuk bersabar bagi orang yang mendapatkan sesuatu yang mengharuskannya bergerak, atau menyebabkan terganggunya seseorang yang sedang tidur. Begitu pula dengan orang yang shalat atau yang membaca Al Qur’an, maupun orang yang sibuk dengan ilmu dan dzikir.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 293 – Kitab Haid

فَقَامَ حِين أَصْبَحَ (Rasulullah SAW pun bangun di waktu subuh ), demikian yang disebutkan oleh Imam Bukhari di tempat ini. Adapun yang beliau sebutkan pada pembahasan tentang keutamaan Abu Bakar dari Qutaibah dari Malik dengan lafazh, فَنَامَ حَتَّى أَصْبَحَ (Beliau tidur hingga datang waktu subuh ). Ini adalah lafazh dalam riwayat Muslim dan para perawi dalam kitab Al Muwaththa ‘. Adapun makna keduanya tidak jauh berbeda, karena masing-masing dari keduanya menunjukan bahwa Nabi bangun tidur pada waktu subuh.

Sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari perkataan beliau, “Hingga datang waktu shubuh“, adalah bukan menerangkan batas waktu tidur sampai subuh, tetapi menjelaskan bahwa tidak adanya air itu sampai waktu subuh. Karena lafazh tersebut dikaitkan dengan perkataannya, “Dan mereka tidak mempunyai persediaan air“, yakni kondisi beliau hingga subuh tanpa air.

Adapun riwayat Amru bin Harits dengan lafazh, ثُمَّ إِنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَيْقَظَ وَحَضَرَتْ الصُّبْح (Kemudian Nabi SAW bangun dan waktu subuh telah tiba). Apabila kata sambung (huruf waw) pada lafazh ini diberi makna “untuk menjelaskan keadaan”, maka hal itu bisa menjadi dalil bahwa beliau SAW bangun pada waktu subuh, sebagaimana yang dipahami dari konteks lafazh tersebut.

Fakta ini dijadikan sebagai dalil rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat tahajjud dalam perjalanan, jika terbukti bahwa shalat tahajjud merupakan hal yang wajib bagi beliau SAW. Di samping itu, dijadikan pula sebagai dalil bahwa mencari air tidak wajib kecuali setelah masuk waktu shalat berdasarkan lafazh hadits dalam riwayat Amru bin Harits, dimana setelah kalimat وَحَضَرَتْ الصُّبْح (Dan waktu subuh telah masuk), disebutkan فَالْتَمَسَ الْمَاء فَلَمْ يُوجَد (Maka beliau mencari air tetapi tidak didapatkannya).

Keterangan lain yang dapat diperoleh dari hadits tersebut adalah, bahwa wudhu merupakan kewajiban bagi mereka sebelum turun ayat yang menerangkan tentang wudhu. Oleh karena itu mereka memandang sulit untuk bermukim pada suatu tempat yang tidak ada air, dan Abu Bakar memperlakukan Aisyah sebagaimana yang telah terjadi.

Ibnu Abdil Barr berkata, “Telah diketahui oleh semua pengamat peperangan yang dilakukan Nabi SAW, bahwa Nabi tidak pemah shalat sejak diwajibkannya kecuali dalam keadaan berwudhu (suci), dan pemyataan ini hanya akan ditolak oleh orang bodoh atau orang yang mengingkari kebenaran.” Beliau berkata pula, “Perkataannya “ayat tayamum ” dalam hadits ini mengandung isyarat bahwa yang mereka pahami adalah ayat tersebut turun untuk menjelaskan hukum tayamum bukan hukum wudhu.” Lalu beliau menambahkan, “Hikmah turunnya ayat wudhu -meski telah diamalkan sebelumnya- adalah agar kewajiban wudhu termaktub dalam ayat suci.”

Ulama lain berkata, “Ada kemungkinan bahwa permulaan ayat tersebut (yakni yang berhubungan dengan wudhu) telah turun sebelumnya, maka mereka pun mengetahui wudhu berdasarkan ayat tersebut. Kemudian sisa ayat tersebut, yaitu yang menyebutkan tayamum, turun sesudahnya sebagaimana yang disebutkan dalam kisah ini. Penama­an ayat tersebut sebagai ayat tayamum adalah gaya bahasa yang me­nyebutkan sebagian, tapi yang dimaksudkan adalah keseluruhannya.

Akan tetapi dalam riwayat Amru bin Harits yang telah kami sebutkan dan dinukil oleh Imam Bukhari dalam kitab Tafsir menunjukan, bahwa ayat tersebut turun secara keseluruhan dalam peristiwa ini, maka yang lebih kuat adalah apa yang dikatakan Ibnu Abdil Barr.

فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّم (Maka Allah menurunkan ayat tayamum). Ibnu Al Arabi berkata, “Ini permasalahan yang belum saya dapatkan solusinya, karena kami tidak mengetahui mana di antara kedua ayat tentang tayamum yang dimaksudkan oleh Aisyah.” Ibnu Baththal berkata, “Yang dimaksud adalah ayat dalam surah An-Nisaa tau ayat dalam surah Al Maa’ idah.”

Sementara Imam Al Qurtubi berkata, “Yang dimaksud adalah ayat dalam surah An-Nisaa’.” Alasannya adalah bahwa ayat yang ada dalam surah Al Maa’idah juga dinamakan ayat wudhu, sedangkan ayat dalam surah An-Nisaa’ tidak disebutkan masalah wudhu, maka ayat ini lebih spesifik untuk disebut sebagai ayat tayamum.”

Lalu Al Wahidi menyebutkan hadits ini dalam sebab-sebab turunnya ayat Al Qur’an ketika menyebutkan ayat surah An-Nisaa’. Semuanya tidak dapat menyingkap apa yang tampak bagi Imam Bukhari, dimana beliau tanpa ragu-ragu menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Aisyah dengan ayat tayamum pada hadits ini adalah ayat yang terdapat dalam surah Al Maa’ idah berdasarkan riwayat Amru bin Harits, dimana riwayatnya menegaskan bahwa yang dimaksud adalah ayat dalam surah Al Maa’ idah seperti yang terdapat dalam perkataannya, “Maka turunlah firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman jika kalian hendak melakukan shalat.” (Qs. Al Maa’idah (5): 6)

فَتَيَمَّمُوا (Maka bertayamumlah). Kemungkinan lafazh ini merupakan berita tentang apa yang dilakukan para sahabat, yakni mereka melakukan tayamum setelah turunnya ayat. Mungkin juga merupakan nukilan dari lafazh ayat yang berbunyi فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا (Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik), dimana kedudukannya di sini adalah menjelaskan perkataan sebelumnya, yaitu آيَة التَّيَمُّم (ayat tayamum).

Lalu ayat ini dijadikan sebagai dalil wajibnya niat dalam tayamum, karena makna firman-Nya فَتَيَمَّمُوا (maka bertayamumlah) adalah lakukanlah dengan sengaja, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Ini adalah pendapat ulama kecuali Al Auza’i. Demikian pula wajib untuk menyentuh debu dan tidak cukup apabila debu itu diterbangkan oleh angin lalu mengenai anggota tayamum. Berbeda dengan wudhu, dimana jika seseorang diguyur hujan lalu ia bemiat wudhu hal itu mencukupi baginya (boleh).

Namun pandangan paling tepat adalah mereka yang mengatakan bahwa tayamum dianggap mencukupi bagi seseorang yang sengaja memanfaatkan debu yang sedang diterbangkan oleh angin, berbeda halnya dengan orang tidak bermaksud bertayamum dengan debu yang diterbangkan angin. Pandangan ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abu Hamid.

Di samping itu, ayat ini memberi penjelasan keharusan mengguna­kan “sha ‘id thayyib” untuk tayamum, hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang maksud “sha ‘id thayyib” sebagaimana akan dibahas dalam bab tersendiri nanti. Demikian pula ayat tersebut menjadi dalil wajibnya bertayamum setiap kali shalat fardhu. Adapun konteks ayat dengan kesimpulan ini serta bantahannya akan kami sebutkan setelah empat bah kemudian.

Catatan

Dalam hadits Aisyah ini tidak disebutkan sedikitpun mengenai tata cara tayamum. Lalu Ammar bin Yasir telah meriwayatkan kisah Aisyah ini sekaligus menerangkan cara tayamum, tetapi para perawi berbeda dalam menukil tata cara yang diterangkan oleh Ammar sebagaimana yang akan kami sebutkan. Kami juga menerangkan mana yang paling benar dalam masalah tersebut dalam bah ‘Tayamum untuk muka dan kedua telapak tangan. “

فَقَالَ أُسَيْد اِبْن الْحُضَيْرِ (Usaid bin Hudhair berkata). Dia termasuk pemuka kaum Anshar, dan penjelasan mengenai beliau akan disebutkan dalam bah tentang “Al Manaqib”. Hanya saja dia mengatakan apa yang telah dikatakannya, karena dia adalah pimpinan utusan yang diperintahkan untuk mencari kalung yang hilang.

مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتكُمْ (Ini bukanlah berkah kamu yang pertama), yakni bahkan telah ada sebelumnya berkah-berkah yang lain. Adapun yang dimaksudkan dengan keluarga Abu Bakar adalah Abu Bakar sendiri, keluarganya dan para pengikutnya. Dalam hal ini terdapat dalil tentang keutamaan Aisyah dan ayahnya, serta adanya berkah yang senantiasa turun kepada keduanya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 51 – Kitab Iman

Dalam riwayat Amru bin Harits disebutkan, “Sungguh Allah telah menurunkan berkah kepada manusia karena kalian.” Sementara dalam Tafsir lshaq Al Bisti dari jalur Ibnu Abu Mulaikah dari Aisyah, bahwa Nabi bersabda kepadanya, “Alangkah agungnya berkah kalungmu.” Sedangkan dalam riwayat Hisyam bin Urwah pada bab selanjutnya disebutkan, فَوَاَللَّهِ مَا نَزَلَ بِك مِنْ أَمْر تَكْرَهِينَهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّه لِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا (Allah, tidak turun kepadamu suatu masalah yang tidak engkau senangi melainkan Allah SWT menjadikan padanya kebaikan bagi kaum muslimin).

Dalam pembahasan nikah dari jalur yang sama disebutkan, إِلَّا جَعَلَ اللَّه لَك مِنْهُ مَخْرَجًا ، وَجَعَلَ لِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ بَرَكَة (Kecuali Allah menjadikan bagimu jalan keluar darinya dan menjadikan padanya kebaikan bagi kaum muslimin ). Lafazh ini memberi indikasi bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah kejadian ifki (tuduhan dusta terhadap Aisyah), sehingga mem­perkuat pendapat mereka yang mengatakan bahwa kalung Aisyah hilang tidak hanya sekali.

Di antara ulama yang menegaskan hal tersebut adalah Muhammad bin Habib Al Akhbari, dimana beliau berkata, “Kalung Aisyah pemah hilang pada peristiwa perang Dzaturriqa’ dan pada peristiwa perang bani Al Mushthaliq.”

Selanjutnya para pengamat peperangan (Al Maghazi) berbeda pendapat tentang mana diantara kedua peperangan tersebut yang lebih dahulu terjadi. Ad-Dawudi berkata, “Peristiwa tayamum terjadi dalam perang Al Fathu (penaklukan kota Makkah).” Tetapi, kemudian beliau ragu dengan hal itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dari Abu Hurairah, dia berkata, “Ketika turun ayat tayamum, saya tidak tahu bagaimana saya harus berbuat … ” (Al Hadits) Maka hal ini menunjukkan bahwa ayat tayamum turun setelah perang bani Al Mushthaliq, karena Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ketujuh hijriyah, yakni setelah perang bani Mushthaliq.

Dalam kitab Al Maghazi (peperangan) disebutkan, bahwa Imam Bukhari berpendapat bahwa perang Dzaturriqa’ terjadi setelah kedatangan Abu Musa, bertepatan dengan masa Islamnya Abu Hurairah.

Keterangan lain yang juga menunjukkan bahwa ayat tayamum turun setelah peristiwa Al Ifki (tuduhan dusta terhadap Aisyah) adalah riwayat Ath-Thabrani melalui Abbad bin Abdullah bin Zubair dari Aisyah. Beliau berkata,

لَمَّا كَانَ مِنْ أَمْر عِقْدِي مَا كَانَ ، وَقَالَ أَهْل الْإِفْك مَا قَالُوا ، خَرَجْت مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَة أُخْرَى فَسَقَطَ أَيْضًا عِقْدِي حَتَّى حَبَسَ النَّاس عَلَى اِلْتِمَاسه . فَقَالَ لِي أَبُو بَكْر : يَا بُنَيَّة فِي كُلّ سَفْرَة تَكُونِينَ عَنَاء وَبَلَاء عَلَى النَّاس ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الرُّخْصَة فِي التَّيَمُّم . قَالَ أَبُو بَكْر : إِنَّك لَمُبَارَكَةٌ ، ثَلَاثًا (Ketika terjadi perihal kalungku dan para penyebar berita dusta mengatakan apa yang telah mereka katakan, aku pun keluar bersama Rasulullah dalam rangka melakukan peperangan yang lain. Kalungku kembali jatuh sehingga rombongan tertahan untuk mencarinya, maka Abu Bakar berkata kepadaku, “Wahai anakku, dalam setiap perjalanan kamu menyusahkan dan menjadi bencana bagi manusia? “Maka Allah menurunkan keringanan untuk bertayamum. Lalu Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya engkau diberkahi … ‘) sebanyak tiga kali.

Dalam jalur periwayatan hadits ini terdapat Muhammad bin Hamid Ar-Razi, dimana dia termasuk perawi yang masih diperbincangkan.

Kemudian dari konteks hadits ini terdapat beberapa faidah; di antaranya keterangan mengenai celaan Abu Bakar yang tidak disebutkan oleh Aisyah secara transparan dalam hadits di atas, serta adanya penegas­an bahwa kalung Aisyah pemah hilang dua kali pada dua peperangan yang berbeda, wallahu a ‘lam.

فَأَصَبْنَا الْعِقْد تَحْته (Maka kami menemukan kalung di bawahnya). Lafazh ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang lebih dulu mencari kalung tersebut tidak mendapatkannya. Sementara dalam riwayat Urwah dalam bab yang berikutnya disebutkan, فَبَعَثَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا فَوَجَدَهَا (Maka Rasulullah mengutus seseorang lalu ia menemukannya), yakni mcncmukan kalung Aisyah.

Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim melalui jalur seperti di atas yang menyangkut keutamaan Aisyah, disebutkan, فَبَعَثَ نَاسًا مِنْ أَصْحَابه فِي طَلَبهَا (Beliau SAW mengutus sahabatnya untuk mencari kalung). Lalu dalam riwayat Abu Daud disebutkan, فَبَعَثَ أُسَيْد بْن حُضَيْرٍ وَنَاسًا مَعَهُ (Beliau SAW mengutus Usaid bin Hudhair dan beberapa orang bersamanya).

Adapun metode untuk memadukan antara riwayat-riwayat yang nampak kontroversi mi adalah, bahwa Usaid merupakan ketua rombongan yang diutus untuk tugas tersebut. Oleh karena itu, namanya discbut pada beberapa riwayat dan tidak disebutkan orang-orang yang turut bersamanya.

Adapun riwayat yang menyandarkan perbuatan itu kepada pelaku yang tidak disebutkan namanya, maka yang dimaksudkan adalah Usaid bin Hudhair sendiri. Seakan-akan pada kali pertama mereka tidak menemukan kalung, namun ketika mereka pulang dan ayat tayamum turun, dan mereka ingin segera berangkat lalu unta dibangkitkan, maka Usaid bin Hudhair menemukan kalung yang dicari. Atas dasar ini maka perkataan beliau dalam riwayat Urwah, “Maka beliau menemukannya“, yakni setelah melakukan segala usaha pencarian. Imam An-Nawawi berkata, “Tidak tertutup kemungkinan bahwa yang menemukannya adalah Nabi SAW.”

Sementara itu, Ad-Dawudi berlebihan dalam menyalahkan riwayat Urwah. Telah dikutip Ismail Al Qadhi, bahwa dia menyandarkan kesalahan tersebut kepada Abdullah bin Numair. Akan tetapi, dari pen­jelasan yang telah kami paparkan diketahui bahwa di antara kedua riwayat itu tidak terdapat kontradiksi dan tidak pula ada kesalahan.

Selanjutnya, dalam dua hadits tersebut terdapat perbedaan lain, yaitu perkataan Aisyah اِنْقَطَعَ عِقْدٌ لِي (Kalung milikku terputus atau hilang). Beliau berkata dalam riwayat Amru bin Harits, سَقَطَتْ قِلَادَة لِي (kalungku jatuh). Sementara dalam riwayat Urwah yang akan disebutkan, bahwa Aisyah meminjam kalung tersebut dari Asma (yakni saudarinya), lalu kalung tersebut hilang. Untuk menyatukan kedua versi ini dikatakan; dinisbatkannya kalung tersebut kepada Aisyah adalah karena kalung tersebut berada dalam kekuasaannya, dan apabila dinisbatkan kepada Asma’ adalah karena dia pemiliknya yang asli berdasarkan pengakuan Aisyah sendiri dalam riwayat Urwah, karena Aisyah me-minjamnya dari Asma. Keterangan ini berdasarkan kesamaan cerita yang ada. Akan tetapi Imam Bukhari dalam kitab tafsimya cenderung menyatakan bahwa jatuhnya kalung terjadi pada peristiwa yang berbeda, di mana beliau men ye but hadits di bab ini saat menafsirkan ayat surah Al Maa’ idah dan menyebutkan hadits Urwah saat menafsirkan ayat dalam surah An­Nisaa’. Dari sini dapat dikatakan, bahwa ayat dalam surah Al Maa’ idah turun berkenaan dengan kalung Aisyah, sedangkan ayat dalam surah An­Nisaa’ turun berkenaan dengan kalung Asma’. Namun cara memadukan yang dilakukan sebelumnya adalah lebih tepat, wallahu a ‘lam.

Di antara faidah hadits ini selain yang telah disebutkan adalah, bolehnya melakukan safar (bepergian) bersama wanita (istri), bagi wanita boleh menggunakan wangi-wangian serta berhias untuk suaminya, dan boleh melakukan safar dengan membawa barang pinjaman bila diridhai oleh pemiliknya.

M Resky S