Hadits Shahih Al-Bukhari No. 367 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 367 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Shalat Beralaskan Bashir (Tikar)”  hadis ini menceritakan tentang undangan seorang nenek (Mulaikah, nenek Anas bin Malik) kepada Rasulullah saw untuk menghadiri jamuan yang dia sajikan untuk beliau saw. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 73-78.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ لَهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَلِأُصَلِّ لَكُمْ قَالَ أَنَسٌ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ وَالْيَتِيمَ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Ishaq bin ‘Abdullah bin Abu Thalhah] dari [Anas bin Malik] bahwa neneknya, Mulaikah, mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menghadiri hidangan yang ia masak untuk beliau. Beliau kemudian menyantap makanan tersebut kemudian bersabda: “Berdirilah, aku akan pimpin kalian shalat.” Anas berkata, “Maka aku berdiri di tikar milik kami yang sudah lusuh dan hitam akibat sering digunakan. Aku lalu memercikinya dengan air, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri diatasnya. Aku dan seorang anak yatim lalu membuat barisan di belakang beliau, sementara orang tua (nenek) berdiri di belakang kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu shalat memimpim kami sebanyak dua rakaat lalu pergi.”

Keterangan Hadis: لِطَعَامٍ (untuk jamuan makan) Hal ini memberi indikasi bahwa kedatangan beliau SAW untuk maksud tersebut dan bukan bertujuan untuk shalat mengimami mereka agar tempat tersebut dijadikan sebagai tempat shalat bagi mereka, sebagaimana kejadian pada kisah ltban bin Malik yang akan disebutkan. Sehingga beliau SAW memulai pada kisah Itban dengan shalat sebelum makan, sementara di sini beliau SAW memulai makan sebelum shalat. Beliau memulai pada semuanya dengan tujuan awal beliau diundang.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 179 – Kitab Wudhu

ثُمَّ قَالَ قُومُوا (kemudian beliau berkata. “‘Berdirilah.”) Riwayat ini dijadikan dalil tidak perlunya wudhu karena makan sesuatu yang disentuh oleh api, karena beliau SAW shalat setelah makan tanpa wudhu lagi. Namun pernyataan ini memiliki kejanggalan berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam kitab “Ghara’ib Malik”, dari Al Baghawi, dari Abdullah bin Aun, dari Malik dengan lafazh, “Mulaikah membuat makanan untuk Rasulullah SAW, lalu beliau SAW makan dan aku pun makan bersamanya. Kemudian beliau SAW minta dibawakan air wudhu. lalu beliau berwudhu.” (Al Hadits)

فَلِأُصَلِّيَ لَكُمْ (hendaklah aku shalat untuk kalian) maksudnya sebab kalian. As-Suhaili berkata, “Perintah di sini bermakna khabar (pemberitahuan). Sama seperti firman Allah SWT, ‘Maka hendaklah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya.’ (Qs. Maryam (l9): 75) Akan tetapi ada pula kemungkinan ungkapan itu merupakan perintah bagi mereka untuk mengikutinya, namun beliau menisbatkan perintah itu pada dirinya karena perbuatan mereka berkaitan dengan perbuatannya.”

مِنْ طُول مَا لُبِسَ (karena lamanya tidak dipakai) Di sini terdapat keterangan bahwa membentangkan disebut juga memakai. Maka berdasarkan keterangan ini, sebagian ulama menjadikannya sebagai dalil tidak bolehnya menggunakan alas yang terbuat dari sutera. Sebab larangan menggunakan sutera diungkapkan dengan lafazh “memakai” (mengenakan), yang mana ia mencakup pula penggunaan sebagai alas. Namun hal ini tidak dapat dibantah dengan mengatakan bahwa barangsiapa yang bersumpah untuk tidak memakai sutera maka ia tidak dianggap melanggar apabila menggunakannya sebagai alas, sebab sumpah itu berdasarkan kebiasaan.

وَصَفَفْت أَنَا وَالْيَتِيم (aku dan seorang anak yatim membuat barisan) Penulis kitab Al Umdah berkata, “Anak yatim yang dimaksud adalah Dhamirah, kakek Husain bin Abdullah bin Dhamirah.” lbnu Al Hadza berkata, “Demikian Abdul Malik bin Habib meyebutkan namanya, tetapi ulama lainnya tidak menyebutkan namanya. Aku mengira dia mendengarnya dari Husain bin Abdullah atau penduduk Madinah yang lain.”

Lalu Ibnu Al Hadza menambahkan, “Adapun Dhamirah adalah Ibnu Abi Dhamirah, mantan budak Rasulullah SAW. Lalu terjadi perbedaan pendapat tentang nama Abu Dhamirah, sebagian mengatakan Rauh dan sebagian mengatakan yang lain.”

Baca Juga:  Hadits-hadits yang Menerangkan Keutamaan Hari Jum’at Bagi Umat Islam

Lalu sebagian pensyarah (Shahih Bukhari) mengalami kekeliruan, dimana mereka berkata, “Nama yatim yang dimaksud adalah Dhamirah, dan ada pula yang mengatakan namanya adalah Rauh.” Seakan-akan pikirannya berpindah dari perselisihan tentang nama bapak anak yatim tersebut kepada anak nama yatim itu sendiri.

Pada bab “Wanita seorang diri merupakan shaf tersendiri”, akan disebutkan pernyataan orang yang mengatakan bahwa nama yatim tersebut adalah Sulaim. Lalu akan dijelaskan pula letak kekeliruan orang yang berpandangan demikian. imya Allah. Sementara Imam Bukhari menegaskan bahwa nama Abu Dhamirah adalah Sa’ad bin Al Humairi, dan biasa dipanggil Sa’id. Lalu lbnu Hibban menisbatkannya kepada suku Laits.

وَالْعَجُوز (wanita tua) adalah Mulaikah, seperti yang disebutkan.

ثُمَّ اِنْصَرَفَ (kemudian berbalik) Bisa saja bermakna pulang ke rumahnya, dan bisa saja bermakna selesai shalat.

Pelajaran yang dapat diambil

Pertama, kewajiban memenuhi undangan meskipun bukan jamuan pernikahan atau yang mengundang adalah wanita selama tidak dikhawatirkan akan timbulnya fitnah.

Kedua, makan makanan yang dihidangkan dalam jamuan.

Ketiga, shalat sunah secara berjamaah di rumah. Seakan-akan beliau SAW hendak mengajari mereka tentang gerakan-gerakan shalat secara langsung demi keberadaan wanita, karena terkadang wanita tidak sempat menyaksikan gerakan-gerakan shalat secara detail disebabkan tempatnya yang jauh dari imam.

Keempat, membersihkan tempat untuk shalat.

Kelima, barisan anak laki-laki berada dalam barisan laki-laki dewasa.

Keenam, menempatkan wanita di belakang shaf laki-laki.

Ketujuh, wanita harus berdiri dalam shaf tersendiri, meski tidak ada wanita lain yang bersamanya. Sebagian ulama menjadikan kejadian ini sebagai dalil bolehnya seseorang shalat di belakang shaf sendirian, namun tidak ada hujjah dalam riwayat ini tentang hal itu.

Kedelapan, mencukupkan shalat sunah di siang hari dengan dua rakaat, berbeda dengan mereka yang mensyaratkan harus empat rakaat. Perselisihan mengenai hal itu akan disebutkan di tempatnya, insya Allah.

Kesembilan, hukum sahnya shalat seorang anak yang dapat membedakan baik dan buruk, demikian pula dengan wudhunya.

Kesepuluh, letak keutamaan shalat sunah sendirian hanya berlaku apabila bukan untuk tujuan pengajaran, bahkan mungkin dikatakan bila untuk tujuan ini. Maka lebih utama berjamaah, khususnya bagi beliau SAW.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 43 – Kitab Iman

Catatan Penting

1. Imam Malik telah menyebutkan hadits ini pada bab “Shalat Dhuha”. Namun sikap beliau itu dianggap kurang tepat berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Sirin dari Anas bin Malik, bahwa beliau tidak melihat Nabi SAW shalat Dhuha kecuali satu kali di rumah seorang Anshar yang telah mengundang beliau SAW untuk shalat di rumahnya. Riwayat ini akan disebutkan Imam Bukhari pada pembahasan mendatang.

Penulis kitab Al Qahsi menjawab tanggapan itu dengan mengatakan, bahwa Imam Malik berpandangan demikian mengingat waktu pelaksanaan shalat terse but bertepatan dengan waktu shalat Dhuha. Sementara Anas tidak mengetahui jika Nabi SAW’ melakukan shalat tersebut dengan niat shalat Dhuha.

2. Materi pembahasan pada bab ini sebagai isyarat pada riwayat yang dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah dan selainnya melalui jalur Syuraih bin Hani bahwa ia bertanya kepada Aisyah, ”Apakah Nabi SAW pernah shalat beralaskan hashir (tikar), sementara Allah SWT telah berfirman, Dan kami jadikan Jahanam bagi orang-orang kafir sebagai hashir (tikar) . . , Aisyah berkata, “Beliau SAW tidak pernah shalat beralaskan hashir (tikar).” Seakan-akan Imam Bukhari menganggap riwayat Aisyah ini tidak autentik, atau menganggapnya sebagai riwayat yang Syadz (ganjil) dan tertolak, karena bertentangan dengan sesuatu yang lebih kuat darinya seperti hadits pada bab di atas. Bahkan Imam Bukhari akan menyebutkan hadits melalui jalur Abu Salamah dari Aisyah. “Bahwasanya Nabi SAW memiliki hashir yang biasa dibentangkannya kemudian beliau SAW shalat di atasnya.” Dalam riwayat Imam Muslim dari hadits Abu Sa’id disebutkan, bahwa beliau melihat Nabi SAW shalat di atas hashir.

M Resky S