Hadits Shahih Al-Bukhari No. 463 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 463 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Pembatas Imam Adalah Pembatas Bagi Orang (Makmum) di Belakangnya” Hadis ini menceritakan  tentang Abdullah bin Abbas yang melewati sebagian shaf orang-orang yang salat bersama Rasulullah saw. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 261-265.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Ibnu Syihab] dari [‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah] dari [‘Abdullah bin ‘Abbas] bahwa dia berkata, “Pada suatu hari aku datang sambil menunggang keledai betina dan pada saat itu usiaku hampir baligh. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat bersama orang banyak di Mina tanpa ada dinding (tabir) di hadapannya. Maka aku lewat didepan sebagian shaf, aku lantas turun dan aku biarkan keledaiku mencari makan. Kemudian aku masuk ke barisan shaf dan tidak ada seorang pun yang menegurku.”

Keterangan Hadis: Imam Bukhari menyebutkan tiga hadits di bawah bab ini, hadits kedua dan ketiga sesuai dengan judul bab, dimana Nabi SAW tidak memerintahkan para sahabatnya untuk membuat pembatas selain pembatas beliau SAW sendiri. Adapun hadits pertama -yaitu hadits Ibnu Abbas- apabila dijadikan sebagai dalil pada bab ini perlu dipertanyakan, karena di dalamnya tidak ada pernyataan bahwa Nabi SAW shalat menghadap sutrah. Untuk itu, Al Baihaqi membuat judul bab hadits ini dengan “Bab orang yang shalat tanpa menghadap sutrah (pembatas)”. Dalam kitab tentang “ilmu” telah dibahas pada bab “Kapan Pendengaran Anak Kecil Diterima dalam Periwayatan Hadits”, yaitu perkataan Imam Syafi’i, ”Sesungguhnya maksud perkataan Ibnu Abbas ‘Tanpa menghadap tembok’ adalah tidak menghadap sutrah.” Kami telah menyebutkan riwayat Al Bazzar untuk mendukung pendapat itu. Sebagian ulama muta’akhirin (generasi yang datang kemudian) mengatakan, “Perkataan Ibnu Abbas “tanpa menghadap tembok” tidaklah menafikan (meniadakan) kemungkinan Nabi SAW menghadap pembatas selain tembok.” Akan tetapi cerita Ibnu Abbas yang melewati shaf-shaf shalat tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya telah memberi indikasi terjadinya peristiwa yang tidak menjadi kebiasaan mereka. Apabila dikatakan bahwa di sana ada pembatas selain tembok, maka berita dari Ibnu Abbas tersebut tidak mempunyai manfaat. Karena dalam kondisi demikian, perbuatannya melewati shaf (barisan) sudah sewajarnya untuk tidak diingkari.

Baca Juga:  Apa Sih Takhrij Hadits Itu? Ini Pengertian dan Penjelasannya

Seakan-akan Imam Bukhari memahami hadits ini dalam konteks kebiasaan yang dikenal dan dilakukan Nabi SAW, yaitu beliau tidak shalat di lapangan terbuka kecuali menancapkan tongkat di hadapannya. Kemudian pandangan ini beliau perkuat dengan dua hadits, masing-­masing diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Abu Juhaifah. Dalam hadits lbnu Umar terdapat lafazh yang mengindikasikan perbuatan yang berkesinambungan, yaitu perkataannya ketika menyebutkan tongkat, “Biasanya beliau melakukannya saat safar (bepergian)”. Pendapat ini diikuti oleh Imam An-Nawawi. Dia berkata dalam kitab Syarah Muslim sehubungan dengan pembahasannya mengenai hadits ini, “Di sini terdapat keterangan bahwa sutrah (pembatas) imam merupakan pembatas bagi orang-orang yang berada di belakangnya”. Wallahu a’lam.

نَاهَزْت الِاحْتِلَام (mendekati masa baligh). Saya telah menyebutkan perselisihan tentang umur beliau dalam bab “Ta’liimul Qur’an” di kitab “Fadha’il Qur’an“, dan bab “Al Ikhtitan ba’dal Kubr” di kitab “Al Isti’dzan“. Lalu saya akan menyebutkan pula cara memadukan di antara versi yang nampak berbeda serta penjelasan yang terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada.

يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى (shalat mengimami manusia di Mina) Demikian yang dikatakan oleh Imam Malik dan kebanyakan perawi dari Imam Zuhri. Namun dalam Shahih Muslim dari lbnu Uyainah disebutkan, “Di Arafah”. Imam Nawawi berkata, “Hal ini dipahami sebagai dua kejadian yang berbeda.” Akan tetapi perkataan beliau ditanggapi bahwa pada dasarnya suatu kejadian tidaklah berulang, apalagi bila sumbernya hanya satu. Maka yang benar bahwa perkataan Ibnu Uyainah “Di Arafah” masuk kategori syadz (ganjil). Dalam riwayat Imam Muslim melalui Ma’mar dari Zuhri disebutkan dengan lafazh, “Yang demikian itu terjadi pada saat haji Wada’ atau ketika penaklukan kota Makkah”. Keraguan dalam riwayat ini bersumber dari Ma’mar, maka tidak perlu diperhitungkan. Karena, yang benar hal itu terjadi pada saat haji Wada’.

بَعْض الصَّفِّ (sebagian shaf) Imam Bukhari menambahkan dalam kitab tentang “Haji” dari riwayat putra saudara laki-laki lbnu Syihab, dari pamannya, “Hingga aku berjalan di hadapan sebagian shaf pertama.” Riwayat ini mendukung salah satu dari dua kemungkinan yang telah kami sebutkan pada kitab tentang “Ilmu”.

فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَد (tidak seorang pun yang mengingkariku atas perbuatan tersebut) Ibnu Daqiq Al Id berkata, “Tidak adanya pengingkaran dijadikan lbnu Abbas sebagai dalil diperbolehkannya perbuatan tersebut. Dalam hal ini lbnu Abbas tidak berdalil dengan sikap mereka yang tidak mengulangi shalat, karena tidak adanya pengingkaran lebih banyak memberi faidah hukum.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 565 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Saya (Ibnu Hajar) katakan, makna perkataannya adalah bahwa sikap mereka yang tidak mengulangi shalat hanya menunjukkan bahwa shalat tersebut sah, namun tidak berindikasi akan bolehnya lewat di hadapan shaf shalat. Sementara tidak adanya pengingkaran menunjukkan bolehnya lewat di hadapan shaf, dan sekaligus menunjukkan sahnya shalat.

Dari hadits ini diperoleh keterangan bahwa tidak adanya pengingkaran merupakan hujjah yang menunjukkan bolehnya suatu perbuatan dengan syaratnya, yaitu tidak acanya faktor yang menghalangi diingkarinya perbuatan tersebut, disertai pembuktian bahwa perbuatan itu telah diketahui.

Dalam masalah ini, seseorang tidak dapat mengatakan tidak ada jaminan bahwa perbuatan Ibnu Abbas tersebut telah diketahui Nabi SAW, karena ada kemungkinan penglihatan Nabi SAW telah terhalang oleh shaf. Hal ini kita kemukakan karena kita telah mengatakan bahwa beliau SAW dapat melihat dalam shalat apa-apa yang ada di belakangnya, seperti beliau melihat apa yang ada di hadapannya.

Telah disebutkan riwayat Imam Bukhari dalam kitab tentang “Haji” bahwa lbnu Abbas lewat pada sebagian shaf pertama, sehingga tidak ada sesuatu yang menghalangi penglihatan Nabi SAW. Kalaupun faktor-faktor tadi tidak ada, maka besarnya kebutuhan mereka untuk menanyakan apa yang mereka alami telah cukup untuk membuktikan bahwa beliau SAW mengetahui apa yang terjadi. Wallahu a’lam.

Hadits ini telah dijadikan dalil bahwa lewatnya himar (keledai) di hadapan orang yang shalat tidaklah memutuskan (membatalkan) shalatnya, dengan demikian hadits ini menghapus hukum yang ada dalam hadits Abu Dzar seperti yang dikutip oleh Imam Muslim tentang terputusnya shalat seseorang apabila ada himar lewat di hadapannya. Demikian pula dengan lewatnya wanita Jan anjing hitam. Akan tetapi pendapat ini dapat dijawab, bahwa lewatnya himar di hadapan mereka benar-benar terjadi saat lbnu Abbas lewat sambil menungganginya, sementara hal itu tidak berpengaruh karena sutrah (pembatas) bagi imam adalah pembatas juga bagi orang-orang yang ada di belakangnya. Adapun lewatnya himar di hadapan mereka setetah lbnu Abbas turun darinya perlu dibuktikan.

Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits Ibnu Abbas di atas membatasi cakupan hadits Abu Sa’id yang berbunyi, (Apabila salah seorang di antara kamu shalat maka janganlah membiarkan seorang pun lewat di hadapannya). Karena, yang demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun makmum tidak terpengaruh oleh orang yang lewat di hadapannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas.” Dia menambahkan, “Semua ini tidak ada perselisihan di kalangan ulama.” Al Qadhi Iyadh juga menukil tentang kesepakatan ulama yang menyatakan bahwa para makmum shalat menghadap sutrah, hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang apakah sutrah imam adalah sutrah bagi mereka, ataukah sutrah mereka adalah imam itu sendiri. Tapi pernyataan ini masih perlu dipertanyakan, karena Abdurrazzaq telah meriwayatkan dari Al Hakam bin Amr Al Ghifari (salah seorang sahabat), “Bahwasanya beliau SAW shalat mengimami para sahabatnya dalam suatu perjalanan sementara di hadapannya terdapat sutrah. Lalu ada himar lewat di hadapan para sahabatnya, maka beliau SAW mengulangi shalat bersama mereka.” Dalam riwayat lain yang juga dinukil oleh Abdurrazzaq disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada mereka, “Sesungguhnya himar itu tidak memutuskan shalatku. akan tetapi ia telah memutuskan shalat kalian.” Keterangan ini cukup membuktikan kelemahan pernyataan adanya kesepakatan seperti yang mereka katakan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 210-211 – Kitab Wudhu

Lafazh judul bab di atas telah disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ (sampai kepada Nabi SAW) yang dikutip oleh Ath-Thabrani dalam kitab Al Ausath melalui jalur Suwaid bin Abdul Aziz dari Ashim dari Anas dari Nabi SAW, “Pembatas imam adalah pembatas bagi orang-orang yang berada di belakangnya.” Lalu Ath-Thabrani berkomentar, “Riwayat ini hanya dinukil oleh Suwaid dari Ashim seorang diri.” Demikian perkataan Ath-Thabrani. Sementara Suwaid adalah seorang perawi yang lemah menurut para ahli hadits. Lalu lafazh tersebut dinukil pula dalam hadits dengan jalur periwayatan yang hanya sampai pada lbnu Umar, sebagaimana dikutip oleh Abdurrazzaq.

Pengaruh perbedaan pendapat yang dinukil oleh Al Qadhi lyadh nampak pada permasalahan; apabila seseorang lewat di hadapan imam. Bagi mereka yang mengatakan sutrah imam adalah sutrah bagi makmum, maka kejadian itu membahayakan shalat imam dan juga shalat makmum. Adapun mereka yang mengatakan bahwa sutrah makmum adalah imam itu sendiri, maka kejadian tadi hanya membahayakan bagi shalatnya imam namun tidak membahayakan bagi shalatnya makmum. Hadits Ibnu Abbas ini telah disebutkan pada kitab tentang “Ilmu”

M Resky S