Hadits Shahih Al-Bukhari No. 523-525 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 523-525 – Kitab Waktu-waktu Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Orang yang Mendapatkan Satu Rakaat Shalat Ashar Sebelum Matahari Terbenam” Hadis-hadis ini menjelaskan tentang kewajiban menyempurnakan rakaat yang tertinggal dalam salat. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Waktu-waktu Shalat. Halaman 385-391.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَدْرَكَ أَحَدُكُمْ سَجْدَةً مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلَاتَهُ وَإِذَا أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلَاتَهُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu An Nu’aim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syaiban] dari [Yahya bin Abu Katsir] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah] ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seeorang dari kalian mendapatkan sujud shalat ‘Ashar sebelum terbenam matahari maka sempurnakanlah, dan jika mendapatkan sujud shalat Subuh sebelum terbit matahari maka sempurnakanlah.”

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأُوَيْسِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا بَقَاؤُكُمْ فِيمَا سَلَفَ قَبْلَكُمْ مِنْ الْأُمَمِ كَمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ أُوتِيَ أَهْلُ التَّوْرَاةِ التَّوْرَاةَ فَعَمِلُوا حَتَّى إِذَا انْتَصَفَ النَّهَارُ عَجَزُوا فَأُعْطُوا قِيرَاطًا قِيرَاطًا ثُمَّ أُوتِيَ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ الْإِنْجِيلَ فَعَمِلُوا إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ عَجَزُوا فَأُعْطُوا قِيرَاطًا قِيرَاطًا ثُمَّ أُوتِينَا الْقُرْآنَ فَعَمِلْنَا إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ فَأُعْطِينَا قِيرَاطَيْنِ قِيرَاطَيْنِ فَقَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ أَيْ رَبَّنَا أَعْطَيْتَ هَؤُلَاءِ قِيرَاطَيْنِ قِيرَاطَيْنِ وَأَعْطَيْتَنَا قِيرَاطًا قِيرَاطًا وَنَحْنُ كُنَّا أَكْثَرَ عَمَلًا قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ ظَلَمْتُكُمْ مِنْ أَجْرِكُمْ مِنْ شَيْءٍ قَالُوا لَا قَالَ فَهُوَ فَضْلِي أُوتِيهِ مَنْ أَشَاءُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Al Uwaisi] berkata, telah menceritakan kepadaku [Ibrahim bin Sa’ad] dari [Ibnu Syihab] dari [Salim bin ‘Abdullah] dari [Bapaknya] ia mengabarkan kepadanya, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya keberadaan kalian dibandingakan ummat-ummat sebelum kalian seperti masa antara shalat ‘Ashar dan terbenamnya matahari. Ahlu Taurat diberikan Kitab Taurat, kemudian mereka mengamalkannya hingga apabila sampai pertengahan siang hari mereka menjadi lemah (tidak kuat sehingga melalaikannya). Maka mereka diberi pahala satu qirath satu qirath. Kemudian Ahlu Injil diberikan Kitab Injil, lalu mereka mengamalkannya hingga waktu shalat ‘Ashar, dan mereka pun melemah. Maka merekapun diberi pahala satu qirath satu qirath. Sedangkan kita diberikan Al Qur’an, lalu kita mengamalkannya hingga matahari terbenam, maka kita diberi pahala dua qirath dua qirath. kedua Ahlul Kitab tersebut berkata, ‘Wahai Rabb kami, bagaimana Engkau memberikan mereka dua qirath dua qirath dan Engkau beri kami satu qirath satu qirath. Padahal kami lebih banyak beramal! ‘ Beliau melanjutkan kisahnya: “Maka Allah ‘azza wajalla bertanya: ‘Apakah Aku menzhalimi sesuatu dari bagian pahala kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Tidak’. Maka Allah ‘azza wajalla berfirman: ‘Itulah karunia-Ku yang Aku berikan kepada siapa yang Aku kehendaki’.”

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُسْلِمِينَ وَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَأْجَرَ قَوْمًا يَعْمَلُونَ لَهُ عَمَلًا إِلَى اللَّيْلِ فَعَمِلُوا إِلَى نِصْفِ النَّهَارِ فَقَالُوا لَا حَاجَةَ لَنَا إِلَى أَجْرِكَ فَاسْتَأْجَرَ آخَرِينَ فَقَالَ أَكْمِلُوا بَقِيَّةَ يَوْمِكُمْ وَلَكُمْ الَّذِي شَرَطْتُ فَعَمِلُوا حَتَّى إِذَا كَانَ حِينَ صَلَاةِ الْعَصْرِ قَالُوا لَكَ مَا عَمِلْنَا فَاسْتَأْجَرَ قَوْمًا فَعَمِلُوا بَقِيَّةَ يَوْمِهِمْ حَتَّى غَابَتْ الشَّمْسُ وَاسْتَكْمَلُوا أَجْرَ الْفَرِيقَيْنِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Buraid] dari [Abu Burdah] dari [Abu Musa] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Perumpaman Kaum Muslimin, Yahudi dan Nashara seperti seseorang yang memperkerjakan suatu Kaum, mereka harus bekerja untuknya hingga malam hari, sementara mereka hanya beramal hingga sianghari. Mereka berkata, ‘Kami tidak patut menerima upah darimu. Akhirnya orang itu memperkerjakan Kaum yang lain dan berkata, ‘Sempurnakanlah sisa hari yang ada, nanti kalian mendapatkan bagian upah sesuai persyaratanku.’ Maka mereka mengerjakan pekerjaan hingga hanya sampai waktu ‘Ashar, mereka lalu berkata, ‘Kami kembalikan pekerjaan kepadamu.’ Lalu orang itu memperkerjakan Kaum yang lain lagi. Maka Kaum tersebut bekerja menuntaskan sisa hari sampai matahari terbenam. Jadilah Kaum ini menyempurnakan pahala dua Kaum sebelumnya.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 194 – Kitab Wudhu

Keterangan Hadis: Yang dimaksud dengan سَجْدَةً dalam hadits di atas adalah ركعة (rakaat). Al lsmaili meriwayatkan dari jalur Husain bin Muhammad, dari Syaiban dengan lafazh, (barangsiapa di antara kalian mendapatkan satu rakaat). Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan lafazh tersebut berasal dari para perawi hadits. Riwayat Malik dalam bab “Waktu Subuh” disebutkan dengan lafazh, (barangsiapa mendapatkan satu rakaat). Al Khaththabi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “sajdah” adalah rakaat dengan rukuk dan sujudnya. Rakaat secara sempurna dengan sujudnya berdasarkan makna ini disebut “sajdah”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari jalur Muhammad bin Husain bin Abu Al Husain, dari Al Fadhl bin Dakin, yaitu Abu Nu’aim (Syaikhnya Imam Bukhari) dengan lafazh, (jika salah satu dari kalian mendapatkan awal rakaat dari shalat Ashar). Dalam hal ini Imam Bukhari tidak menyebutkan kalimat jawab syarth, karena lafazh matan (materi) hadits (hendaknya menyempurnakan shalatnya) masih mengandung kemungkinan. Sebab perintah untuk menyempurnakan itu lebih umum dari menyempumakannya secara qadha’ atau adaa’ (melaksanakan pada waktunya), maka jawab syarth-nya tidak disebutkan. Mungkin juga lafazh (barangsiapa) adalah “maushulah“, sehingga ada kalimat yang dihapus. Dalam hal ini perkiraan lafazh tersebut, (hukum orang yang mendapatkan), namun dalam hadits Malik disebutkan dengan lafazh (maka ia telah mendapat shalat). Untuk itu, jelaslah bahwa yang dimaksud adalah adaa’ bukan qadha ‘.

(Perumpamaan masa kamu dengan masa umat-umat terdulu seperti antara shalat Ashar sampai terbenamnya matahari). Makna yang dimaksud dalam hadits adalah penisbatan waktu umat ini dengan umat-­umat sebelumnya seperti antara shalat Ashar dan terbenamnya matahari sampai waktu siang yang tersisa. Seakan-akan dikatakan, maka huruf في  dalam hadits tersebut bermakna إلي  sehingga lafazh النسبة dihapus. Imam Bukhari juga menyebutkan hadits ini dan hadits Abu Musa berikutnya dalam bab “ljarah” yang akan dijelaskan secara mendetail, insya Allah. Adapun maksud di sini adalah untuk menjelaskan korelasi dan kesesuaiannya dengan judul bab di atas dan memadukan apa yang nampak berbeda.

قِيرَاطًا قِيرَاطًا (Satu qirath-satu qirath) Lafadz Qirath diulangi untuk menunjukkan pembagian qirat-qirath kepada pekerja-pekerja. Sebab orang Arab kalau ingin membagi sesuatu kepada orang banyak, maka mereka mengulanginya. Seperti, bagikanlah harta ini kepada seseorang satu dirham-satu dirham, artinya tiap orang mendapat satu dirham.

Kalimat عَجَزُوا dalam hadits lbnu Umar menjadi permasalahan menurut Ad-Dawudi. Karena jika maksudnya adalah orang yang mati dari mereka dalam keadaan muslim, maka tidak disifati dengan lemah, sebab ia telah mengamalkan apa yang diperintahkan. Namun jika orang itu mati setelah terjadi perubahan kitab Taurat dan Injil, bagaimana dengan orang yang gugur amalnya dengan kekufuran masih diberi (pahala) satu qirath?

Jawabnya, bahwa yang dimaksud adalah orang yang mati dari mereka dalam keadaan muslim sebelum terjadi perubahan kitab Taurat dan Injil.

Adapun dikatakannya lafazh ‘ajz (lemah) adalah karena mereka tidak menyempumakan pekerjaan siang hari seluruhnya, meskipun mereka sudah mengerjakan apa yang diwajibkan kepada mereka. Maka perkatan ‘ajazu artinya lemah dari memasukkan upah kedua, bukan upah yang pertama. Namun mereka yang pernah bertemu Nabi dan beriman kepada beliau, maka diberi ganjaran dua kali. lbnu Muhallab berkata, “Adapun maksud Imam Bukhari menyebutkan hadits Ibnu Umar dan hadits Abu Musa adalah untuk menjelaskan bahwa terkadang melaksanakan sebagian pekerjaan mendapatkan pahala mengerjakan secara sempurna. Seperti orang yang mengerjakannya mulai Ashar sampai malam, ia mendapatkan pahala mengerjakan pada siang hari secara keseluruhan. Hal ini sama seperti mendapatkan pahala shalat secara sempurna bagi orang yang hanya mendapatkan satu rakaat pada waktunya. Untuk itu, nampaklah kesesuaian antara dua hadits di atas.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 647 – Kitab Adzan

Saya (lbnu Hajar) katakan bahwa untuk menyempurnakannya kita dapat mengatakan, bahwa keutamaan atau karunia Allah dalam seperempat siang yang dapat menduduki posisi keutamaan-Nya dalam seluruh siang, dapat dijadikan landasan bahwa mendapatkan satu rakaat shalat Ashar (empat rakaat) adalah seperti mendapatkan empat rakaat pada waktunya. Maka, kedua hal memiliki kesamaan dalam mendapatkan seperempat pekerjaan. Dengan demikian, kita mendapatkan jawaban bagi mereka yang mengganggap bahwa semuanya dilakukan dalam waktunya dan bukan qadha‘, meskipun mayoritas mengatakan bahwa tiga perempat perbuatan tersebut dilakukan di luar waktunya. Untuk itu dalam hal ini dikatakan sebagaimana yang saya katakan kepada ahli kitab yang disebutkan dalam surah Aali Imraan ayat 73, ذَلِكَ فَضْل اللَّه يُؤْتِيه مَنْ يَشَاء (katakanlah bahwa karunia itu di tangan Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya).

Sebagian pensyarah mengatakan bahwa perkataan Al Muhallab di atas adalah sangat jauh, dia mengatakan bahwa hal itu bukanlah tempat untuk memaparkannya sebagai dalil, karena hal itu mengharuskan bahwa umat yang mengerjakan pekerjaan pada akhir siang adalah lebih baik dari mereka yang mengerjakannya -pada awal waktunya- sebelum mereka. Padahal dalam hal ini tidak ada perbedaan bahwa mengerjakan shalat pada awal waktunya adalah lebih baik daripada mengakhirkannya. Di samping itu, bahwa hal itu merupakan kekhususan yang tidak dapat dianalogikan, karena puasa pada akhir siang tidak dapat menggantikan­nya secara keseluruhan. Demikian halnya dengan ibadah yang lainnya.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, dalam perkataan Al Muhallab tidak ada sesuatu yang menunjukkan bahwa mengerjakan ibadah pada akhir waktunya adalah lebih baik daripada mengerjakannya pada awal waktunya. Adapun mengerjakan sebagian pekerjaan yang dapat menyamai dalam mengerjakannya secara keseluruhan adalah termasuk suatu karunia, atau sama juga dengan kekhususan.

Ibnu Al Munayyar mengatakan, “Kesimpulan yang dapat diambil dari hadits ini adalah bahwa waktu untuk melaksanakan perbuatan itu sampai matahari terbenam, dan perbuatan yang masyhur dilakukan dalam waktu ini adalah shalat Ashar.” Dia juga mengatakan bahwa hal ini termasuk isyarat dari hadits, bukan ungkapan hadits secara terang-­terangan, karena hadits di atas termasuk dalam kategori hadits yang berfungsi sebagai “perumpamaan”. Di samping hadits di atas tidak mengkhususkan suatu perbuatan dalam waktu tersebut, tapi mencakup juga semua ketaatan sampai hari Kiamat.

Imam Haramain mengatakan, bahwa hukum itu tidak diambil dari hadits yang berfungsi sebagai “perumpamaan”. Saya (lbnu Hajar) katakan, bahwa apa yang diungkapkan itu sesuai untuk memasukkan hadits ini dalam bab “waktu Ashar” bukan khusus bah tentang “orang yang mendapatkan satu rakaat sebelum maghrib”, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Al Muhallab. Adapun perbedaan konteks antara hadits Ibnu Umar dan hadits Abu Musa, maka nampak bahwa keduanya adalah dua permasalahan yang berbeda. Sebagian mereka berusaha untuk mengompromikannya, namun hal itu susah untuk dilakukan.

Ibnu Rasyid berpendapat, bahwa hadits lbnu Umar telah menyebutkan contoh untuk orang-orang yang berhalangan berdasarkan lafazh فَعَجَزُوا (maka mereka lemah) yang mengisyaratkan bahwa orang yang tidak dapat menyempumakan suatu perbuatan tanpa melakukan perbuatan tersebut, tapi ia mendapat pahala secara sempurna, maka hal itu merupakan karunia Allah SWT. Ia juga mengatakan, bahwa disebutkannya hadits Abu Musa adalah sebagai contoh bagi orang yang mengakhirkan tanpa adanya suatu udzur. Hal itu diisyaratkan dengan ungkapan, لَا حَاجَة لَنَا إِلَى أَجْرِك (kami tidak butuh upahmu), dimana kalimat ini mengisyaratkan kepada orang yang meninggalkan dengan sengaja, sehingga dia tidak mendapatkan apa yang didapatkan oleh mereka yang meninggalkan karena udzur.

Baca Juga:  Hadits Mutawatir: Pengertian dan Syaratnya

وَنَحْنُ كُنَّا أَكْثَرَ عَمَلًا (padahal kami lebih banyak amalnya) Sebagian pengikut madzhab Hanafi seperti Abu Zaid dalam kitab Al Asrar berpendapat, bahwa waktu Ashar itu mulai dari bayangan suatu benda sama dengan dua kali panjangnya. Karena jika awal waktu Ashar itu mulai bayangan suatu benda sama dengan panjangnya, maka waktu tersebut sama dengan waktu Zhuhur. Mereka telah mengatakan, “Kami lebih banyak amalannya”, menunjukkan bahwa waktu Ashar itu lebih pendek dari waktu Zhuhur. Para ulama yang ahli dalam ilmu ini telah mengetahui bahwa waktu antara Zhuhur dan Ashar lebih panjang daripada waktu antara Ashar dan Maghrib. Adapun ijma‘ yang dinukil oleh sebagian pengikut madzhab Hambali, bahwa waktu Ashar adalah seperempat siang berdasarkan pendapat jumhur bahwa awal waktu Ashar adalah apabila bayang-bayang suatu benda sama dengan panjangnya. Adapun berdasarkan pendapat pengikut madzhab Hanafi bahwa waktu antara Zhuhur sampai Ashar jelas lebih panjang. Karena apabila suatu berita diriwayatkan sesuai dengan makna yang dimaksud, maka tidak boleh ditentang jika makna tersebut telah dimaksudkan dalam masalah yang lain.

Di samping itu, dalam riwayat tersebut tidak dicantumkan nash yang menyatakan bahwa masing-masing dari kedua kelompok tersebut lebih banyak amalannya. Hal itu dibenarkan dengan pernyataan yang mengatakan bahwa mereka semua (keduanya) lebih banyak amalannya daripada kaum muslimin. Atau mungkin juga bahwa ungkapan tersebut adalah perkataan kaum Yahudi secara khusus. Adapun penisbatan hal tersebut kepada mereka semua secara lahiriah tidak dimaksudkan dalam hadits tersebut, namun hal itu merupakan bentuk pengungkapan secara umum dengan maksud sesuatu yang khusus. Di samping itu tidak harus bahwa sesuatu atau mereka yang banyak amalannya itu lebih panjang masanya. Hal itu dimungkinkan bahwa kondisi dan waktu mereka itu lebih sulit. Pernyataan ini dikuatkan dengan firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 286, “Ya Allah janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana yang Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.”

Di antara yang menguatkan bahwa yang dimaksud adalah banyak sedikitnya amal bukan panjang dan pendeknya masa, yaitu kesepakatan para ahli hadits bahwa masa antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad adalah 600 tahun, hal itu telah dijelaskan dalam Shahih Bukhari dari Salman. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa masa terse but adalah kurang dari enam ratus tahun. Sebagian mereka ada yang mengatakan 125 tahun. Seandainya kita berpegang bahwa yang dimaksud adalah penyerupaan panjang dan pendeknya kedua masa tersebut, maka hal itu mengharuskan bahwa waktu Ashar lebih panjang dari waktu Zhuhur, namun tidak ada seorang pun yang mengatakan demikian. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah banyak dan sedikitnya amal perbuatan. Wallahu a ‘lam.

M Resky S