Hadits Shahih Al-Bukhari No. 589 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 589 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Berapa Lama Antara Adzan dan Qamat serta Orang Yang Menunggu Qamat” Hadis ini menjelaskan bahwa ketika adzan selesai dikumandangkan para sahabat Nabi saw berebut mendekati tiang-tiang untuk shalat sunnah. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 85-90.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ عَمْرَو بْنَ عَامِرٍ الْأَنْصَارِيَّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ الْمُؤَذِّنُ إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ كَذَلِكَ يُصَلُّونَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ شَيْءٌ قَالَ عُثْمَانُ بْنُ جَبَلَةَ وَأَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلَّا قَلِيلٌ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ghundar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] berkata, aku mendengar [‘Amru bin ‘Amir Al Anshari] dari [Anas bin Malik] berkata, “Jika seorang mu’adzin sudah mengumandangkan adzan (Maghrib), maka para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berebut mendekati tiang-tiang (untuk shalat sunnat) sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar, sementara mereka tetap dalam keadaan menunaikan shalat sunnat dua rakaat sebelum Maghrib. Dan di antara adzan dan iqamat Maghrib sangatlah sedikit (waktunya).” [‘Utsman bin Jailah] dan [Abu Daud] menyebutkan dari [Syu’bah], “Antara keduanya (adzan dan iqamat) tidak ada waktu kecuali sedikit.”

Keterangan Hadis: كَانَ الْمُؤَذِّن إِذَا أَذَّنَ (apabila muadzdzin mengumandangkan adzan) Dalam riwayat Al Ismaili disebutkan, إِذَا أَخَذَ الْمُؤَذِّن فِي أَذَان الْمَغْرِب (Apabila muadzdzin mulai mengumandangkan adzan Maghrib).

قَامَ نَاس (orang-orang berdiri) Dalam riwayat An-Nasa’i dikatakan, قَامَ كِبَار أَصْحَاب رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Para sahabat senior Rasulullah SAW berdiri…). Demikian pula riwayat Imam Bukhari yang telah disebutkan pada pembahasan tentang menutup aurat.

يَبْتَدِرُونَ (bersegera) Yakni mereka saling berlomba .

السَّوَارِي (tiang-tiang) Lafazh السَّوَارِي adalah bentuk jamak dari kata سَارِيَةٍ (tiang). Maksud mereka berlomba menghampiri tiang-tiang itu adalah untuk menjadikannya sebagai sutrah (pembatas shalat), karena mereka melakukan shalat tersebut sendiri-sendiri.

وَهُمْ كَذَلِكَ (dan mereka dalam kondisi demikian) Imam Muslim memberi tambahan dalam riwayatnya melalui Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas, فَيَجِيء الْغَرِيب فَيَحْسِب أَنَّ الصَّلَاة قَدْ صُلِّيَتْ مِنْ كَثْرَة مَنْ يُصَلِّيهِمَا (Orang yang asing (baru datang) akan menyangka bahwa shalat (Maghrib) sedang ditegakkan, karena banyaknya orang yang mengerjakan shalat (sunah) tersebut).

شَيْء (sesuatu) Yakni tidak ada di antara adzan dan qamat waktu yang cukup banyak atau lama.

Berdasarkan penjelasan ini maka terjawab pendapat mereka yang menyatakan bahwa riwayat mu’allaq (tanpa sanad lengkap) bertentangan dengan riwayat maushul. Bahkan, sesungguhnya riwayat mu’allaq menjelaskan riwayat yang maushul. Penafian waktu yang banyak berarti penetapan adanya waktu yang sedikit atau singkat.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 142 – Kitab Wudhu

Riwayat ini telah dinukil oleh Al Ismaili melalui jalur maushul (bersambung) dari Utsman bin Umar dari Syu’bah dengan lafazh, وَكَانَ بَيْنَ الْأَذَان وَالْإِقَامَة قَرِيب (Dan jarak waktu) antara adzan dan qamat dekat {singkat}). Muhammad bin Nashr meriwayatkan melalui jalur Abu Amir dari Syu’bah, sama seperti di atas.

Ibnu Al Manayyar berkata, “Kedua versi riwayat dipadukan dengan memahami penafian dalam konteks kalimat mubalaghah termasuk majaz (kiasan). Sedangkan penetapan adanya waktu yang sedikit dipahami dalam makna sesungguhnya.” Dia juga berkata, “Perkataannya ‘Dan tidak ada antara keduanya sesuatu (waktu yang lama)’ menunjukkan bahwa cakupan sabdanya ‘Di antara setiap dua adzan terdapat shalat’ khusus selain shalat Maghrib, karena mereka (para sahabat) tidak melakukan shalat sunah sebelum Maghrib antara adzan dan qamat. Bahkan mereka segera melakukannya ketika adzan sedang dikumandangkan, dan mereka selesai mengerjakannya bersamaan dengan selesainya adzan.” Dia berkata lagi, “Hal itu didukung dengan riwayat yang dikutip oleh Al Bazzar dari jalur Rayyan bin Ubaidillah dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya yang sama seperti hadits pertama, hanya saja pada bagian akhimya diberi tambahan, ‘Kecuali Maghrib’.”

Perkataan Ibnu Al Manayyar “Mereka selesai mengerjakan shalat sunah bersamaan dengan selesainya adzan” perlu dipertanyakan kembali, karena tidak ada dalam hadits keterangan yang memberi indikasi ke arah itu. Tidak ada keharusan bila mereka mengerjakannya saat adzan dikumandangkan, maka selesainya pun bersamaan dengan selesainya adzan. Adapun riwayat Rayyan yang beliau kemukakan dianggap syadz (ganjil). Karena meski ia tergolong perawi tsiqah menurut Abdurrazzaq, namun pada hadits ini beliau telah menyalahi para pakar hadits di antara murid-murid Abdullah bin Buraidah, baik dari segi sanad maupun matan. Sementara telah disebutkan pada sebagian jalur periwayatannya yang dinukil oleh Al Ismaili, “Buraidah melakukan shalat dua rakaat sebelum Maghrib.” Kalau riwayat Rayyan yang mengecualikan shalat Maghrib benar akurat, tentu Buraidah tidak akan menyalahi apa yang diriwayatkannya. Ibnu Al Jauzi menukil dalam kitabnya Al Maudhu’at dari Al Fallas, bahwa ia telah menggolongkan Rayyan (yang disebutkan di atas) sebagai perawi pendusta.

Imam Al Qurthubi dan yang lain berkata, “Makna lahiriah hadits Anas menyatakan bahwa shalat dua rakaat sebelum dan sesudah shalat Maghrib adalah perbuatan para sahabat yang mendapat pengukuhan (taqrir) dari Rasulullah SAW. Mereka mengamalkannya hingga saling mendahului untuk mendapatkan tempat dekat tiang masjid. Hal ini menunjukkan perbuatan itu disukai. Sepertinya landasan yang dijadikan sandaran adalah sabda beliau SAW, “Di antara setiap dua adzan terdapat shalat.” Adapun sikap Nabi SAW yang tidak mengerjakannya bukan berarti menafikan hukum mustahab (disukai) perbuatan tersebut. Bahkan sikap Nabi SAW ini hanya berindikasi bahwa shalat dua rakaat ini tidak masuk kategori shalat fardhu.

Ulama yang menyatakan shalat dua rakaat sebelum Maghrib hukumnya mustahab (disukai), di antaranya adalah Imam Ahmad, Ishaq serta para ulama ahli hadits. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun melakukan shalat dua rakaat (sebelum Maghrib) pada masa Nabi SAW.” Diriwayatkan pula dari para khalifah yang empat serta sejumlah sahabat bahwa mereka tidak mengerjakannya. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Syafi’i. Sebagian ulama madzhab Maliki menyatakan bahwa syariat shalat dua rakaat sebelum Maghrib telah mansukh (dihapus). Mereka berkata, “Sesungguhnya yang demikian hanya dikerjakan pada masa-masa awal pensyariatan. Pada waktu Nabi SAW melarang untuk mengerjakan shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam, maka beliau SAW menjelaskan dengan hal itu batas waktu bolehnya shalat. Kemudian beliau memotivasi para sahabat agar melakukan shalat Maghrib di awal waktu. Apabila kebiasaan menyibukkan diri dengan mengerjakan selain shalat Maghrib terns berlangsung tentu hal itu menjadi sarana untuk menyelisihi anjuran melakukan shalat maghrib di awal waktunya.” Akan tetapi klaim bahwa syariat ini telah mansukh tidak didukung oleh dalil.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 159 – Kitab Wudhu

Adapun riwayat Ibnu Umar yang disebutkan tadi telah diriwayatkan oleh Abu Daud melalui jalur Thawus. Namun riwayat Anas yang menetapkan adanya shalat tersebut hams lebih dikedepankan daripada riwayat yang menafikannya. Sedangkan riwayat yang dinukil dari para khalifah yang empat telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr dan selainnya melalui Ibrahim An­Nakha’i, tapi sanadnya munqathi‘ (terputus). Kalaupun terbukti autentik, tetap tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan adanya nasakh (penghapusan hukum) ataupun makruh. Pada pembahasan tentang shalat thathawwu‘ (shalat-shalat sunah) akan disebutkan satu riwayat yang menyatakan, “Uqbah bin Amir ditanya tentang shalat dua rakaat sebelum Maghrib, maka dia berkata, ‘Kami dahulu mengerjakan dua rakaat tersebut pada masa Nabi SAW’. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Apakah yang menghalangimu untuk mengerjakannya sekarang?’ Dia menjawab, ‘Kesibukan’.” Maka kemungkinan para sahabat selain dia juga terhalang oleh kesibukan sehingga tidak mengerjakannya.

Sementara telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr dan selainnya melalui beberapa jalur dari Abdurrahman bin Auf, Sa’ ad bin Abi Waqqash, Ubay bin Ka’ab, Abu Darda’, Abu Musa dan sahabat Iainnya, bahwa mereka melakukan shalat tersebut terus-menerus.

Adapun perkataan Abu Bakar bin Al Arabi, “Para sahabat berbeda pendapat mengenai shalat dua rakaat sebelum Maghrib, dan tidak ada seorang pun yang mengerjakannya setelah generasi sahabat”, tertolak oleh perkataan Muhammad bin Nashr. Kami telah meriwayatkan dari sejumlah sahabat maupun tabi’in bahwasanya mereka biasa shalat dua rakaat sebelum Maghrib. Hal ini diriwayatkan melalui beberapa sanad dari Abdurrahman bin Abu Laila, Abdullah bin Buraidah, Yahya bin Uqail, Al A’raj, Amir bin Abdullah bin Zubair, dan Iraq bin Malik. Lalu diriwayatkan melalui jalur Hasan Al Bashri bahwasanya ia ditanya tentang kedua rakaat tersebut, maka dia berkata, “Dua kebaikan –demi Allah- bagi siapa yang dikehendaki oleh Allah (memperoleh) keduanya.”

Baca Juga:  HaditsShahih Al-Bukhari No. 271-272 – Kitab Mandi

Diriwayatkan pula dari Sa’id, dia berkata, “Merupakan perkara yang haq (benar) bagi setiap mukmin apabila muadzdzin adzan hendaknya ia shalat dua rakaat.” Dinukil pula dari Imam Malik perkataan lain yang menyatakan disukainya melakukan hal itu. Pendapat ini merupakan salah satu pandangan dalam madzhab Syafi’i, dan didukung oleh Imam An-Nawawi serta mereka yang sependapat dengannya. Dia berkata dalam kitab Syarah Muslim, “Pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa mengerjakan shalat sunah sebelum Maghrib berakibat mengakhirkan waktu shalat Maghrib dari awal waktunya, merupakan khayalan yang rusak serta bertentangan dengan Sunnah. Meski demikian, waktu yang digunakan untuk melakukan kedua rakaat ini semestinya dipersingkat sehingga tidak mengundurkan pelaksanaan shalat Maghrib dari awal waktunya.”

Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa seluruh dalil menunjukkan bahwa shalat dua rakaat sebelum Maghrib dilaksanakan secara ringkas (ringan) seperti shalat sunah fajar. Hikmah dianjurkannya melakukan shalat sunah dua rakaat tersebut adalah sebagai harapan agar doanya dikabulkan, sebab doa antara adzan dan qamat tidak ditolak. Manakala suatu waktu itu lebih mulia, maka pahala ibadah yang dikerjakan pada waktu tersebut akan lebih banyak.

Kemudian hadits Anas ini dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa waktu shalat Maghrib berlangsung agak lama, tapi konteks hadits dengan hal itu kurang jelas.

Catatan:

Pertama, kesesuaian hadits Anas dengan judul bab adalah apabila para sahabat saling berlomba mengerjakan shalat dua rakaat sebelum maghrib, padahal waktunya sangat singkat, maka berlomba untuk mengerjakan shalat sunah yang lainnya tentu lebih dianjurkan. Dalam hal ini tidak ada batasan mengenai lamanya waktu mengerjakan shalat sunah dua rakaat lainnya, karena lamanya waktu mengerjakan shalat sunah sebelum Maghrib adalah seperti lamanya mengerjakan shalat sunah dua rakaat sebelum shalat Subuh.

Kedua, sampai saat ini riwayat Utsman bin Jabalah tidak memiliki jalur muttashil (bersambung) sampai kepada kami. Sementara Al Mughlathai serta orang-orang yang sependapat dengannya mengklaim bahwa Al Ismaili telah menyebutkannya melalui jalur maushul (bersambung) dalam kitabnya Al Mustakhraj, padahal kenyataannya tidak demikian, karena sesungguhnya Al Ismaili hanya menukilnya melalui jalur Utsman bin Umar. Demikian juga dengan riwayat Abu Daud, dimana menurut saya dia adalah Abu Daud Ath-Thayalisi, sementara pendapat lain mengatakan Abu Daud Al Hafari. Namun telah sampai kepada kami nukilan yang semakna dengan riwayat keduanya melalui jalur Utsman bin Umar dan Abu Amir, wallahu a’lam.

M Resky S