Hubungan Antara Hukum Kauniyah dan Quraniyah, Begini Posisi dan Porsi dari Kedua Hukum Tersebut

Hubungan Antara Hukum Kauniyah dan Quraniyah, Begini Posisi dan Porsi dari Kedua Hukum Tersebut

Pecihitam.org – Allah telah menciptakan alam baik secara mikro dan makro. Allah juga membuat seperangkat aturan (law) supaya alam berjalan dengan tertib. Aturan Allah terbagi dua katagori yakni kauniyah dan hukum Quraniyah yang sesuai dengan Agama.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pertama :  Hukum Alam atau bisa disebut dengan hukum Kauniyah, ghair mathluwwi  (tidak tertulis) tetapi melekat pada alam itu sendiri. Beberapa contoh hukum alam adalah hukum gravitasi, hukum rotasi, hukum daur, dll.

Kedua : Hukum agama atau bisa disebut dengan hukum Qur’aniyah yang tertulis (mathluwwi ) di dalam kitab-kitab Allah, seperti perintah berdzikir, shalat, sabar, tawakkal, serta larangan berzina, riba, mengumpat dan lain-lain.

Semua hukum Allah, baik hukum Kauniyah dan Quraniyah bersifat absolut memiliki sifat yang sama yakni:

  1. Pasti (exact). Allah menjelaskan : “Sesungguhnya Aku menciptakan sesuatu menurut ketentuan yang pasti (QS. 54 : 49).
  2. Objektif, yaitu berlaku kepada apa dan siapa saja (QS. 15:21).
  3. Tetap, yakni tidak berubah sepanjang waktu (QS. 48 : 23).
Baca Juga:  Bukan Nasab yang Menyelamatkanmu tapi Amal Soleh dan RidhoNya

Karena hukum Allah bersifat pasti, objektif dan tetap, maka bisa dibuat rumus. Apabila hukum berubah-ubah maka tidak mungkin bisa dibuat rumus-rumus hukum alam maupun rumus hukum Agama.

Kalau sesekali ada perubahan hukum Alam seperti nabi Ibrahim dibakar api tidak mati karena apinya menjadi dingin,  itu adalah sunnatullah yang khusus yakni gabungan hukum alam (hukum fisika) dan hukum spiritual, sebagai upaya Allah SWT untuk  memperlihatkan kekuasaan-Nya.

Pada kejadian berikutnya tetap mengikuti hukum alam murni. Segenap alam  baik yang ada di langit dan di bumi, secara fisik telah taat kepada hukum alam.

Demikian pula di dalam tubuh manusia sendiri hukum alam berjalan secara otomatis. Manusia telah menaati hukum alam tersebut, baik disadari maupun tidak, baik diridhai (thau’an) maupun dibenci (karhan), seperti hukum alam dalam tubuh tetap berlaku. (QS. 3 : 83).

Perbedaan hukum Alam dengan hukum Agama adalah dalam hal time respons (reaksi waktu). Reaksi atau  akibat hukum Alam jauh  lebih cepat daripada hukum Agama. Akibat pelanggaran hukum alam dapat cepat dibuktikan melalui pengamatan  panca indera atau bersifat empirik.

Baca Juga:  Wahabi-Rofidhoh, Dua Firqoh Yang Tidak Pernah Akur Sepanjang Sejarah

Karena bersifat empirik, maka orang mudah meyakini (mengimani) kebenaran hukum alam. Sikap percaya ini kemudian melahirkan sikap hati-hati menghadapi hukum alam. Sikap hati-hati itu disebut taqwa.

Lain dengan hukum Al-Qur’an, reaksi akibat pelanggaran hukum Al-Quran tidak secepat hukum alam, bahkan ada yang baru bisa dibuktikan di akhirat nanti. Karena akibatnya lambat maka manusia kurang percaya (kurang iman) terhadap hukum Al-Quran.

Akibatnya lebih jauh adalah manusia kurang berhati-hati (tidak taqwa) kalau berhadapan dengan hukum Al-Quran. Dalam keseharian terbukti bahwa orang lebih takut meminum racun daripada memakan uang riba.

Padahal memakan uang riba juga berbahaya, tetapi karena akibat makan riba sangat lambat maka orang kurang hati-hati terhadap uang riba. Kesalahan terbesar manusia adalah mengesampingkan hukum Absolut lantas mengambil hukum relatif produk akal manusia.

Baca Juga:  Pahami Kembali Ushul dan Furu' Agar Tak Mudah Memvonis Bid'ah, Kafir dan Sesat

Seharusnya, manusia sebagai bagian dari alam yang secara fisikal diatur oleh  hukum alam yang absolut, maka perilakunya pun harus diatur oleh hukum  perilaku yang absolut pula, yakni Al-Quran. 

Segenap kegiatan manusia,  baik prilaku ritual maupun prilaku mu’amalah (ekonomi, politik, dan  sosial budayal) harus menggunakan hukum absolut (din al-Islam) bukan hukum relatif produk pemikiran filosofis manusia. Dalam skala kecil, berpakaian harus menggunakan hukum absolut, penegakkan HAM harus menggunakan hukum absolut.

Mochamad Ari Irawan