Hukum I’tikaf di Masjid bagi Perempuan, Bolehkah? Ini Penjelasannya

hukum i'tikaf bagi perempuan

Pecihitam.org I’tikaf adalah ibadah dengan cara berdiam di dalam masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. I’tikaf sebenarnya juga ibadah yang istimewa terutama apabila dilaksanakan di bulan Ramadhan. Lantas, bagaimana bagi perempuan, apakah hukum i’tikaf di masjid juga diperbolehkan?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hukum i’tikaf adalah sunnah dalam setiap waktu dan kesempatan. Perlu dicatat, i’tikaf sangat dianjurkan agar dilakukan pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, sebab bertujuan untuk mencari malam lailatul qadar, yakni malam yang lebih baik daripada seribu bulan.

Ketentuan ini telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw., seperti hadis yang pernah disampaikan oleh istrinya, Aisyah r.a. sebagai berikut:

 أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله عز وجلّ ، ثمّ اعتكف أوزاجه من بعده متفق عليه.

Artinya: “Bahwasannya Nabi Saw. selalu  beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan sampai Allah Swt. memanggilnya, kemudian istri-istrinya meneruskan i’tikafnya setelah itu.” Muttafaqun ‘alaih.

Hadis tersebut memaparkan tentang hukum kebolehan bagi perempuan untuk i’tikaf. Sebab, telah digambarkan bahwa para istri Nabi Saw. melakukan iktikaf sepeninggal Nabi Saw. Tapi, di dalam kitab Ibanatul Ahkam Syarh Bulughil Maram karya Sulaiman An Nuri dan Alawi Abbas al Maliki disebutkan bahwa perempuan boleh i’tikaf di dalam masjid jika ada syarat dan telah mendapatkan izin dari suami agar terhindar dari fitnah.

Baca Juga:  Beda Mahram dan Muhrim, Dua Istilah Yang Sering Keliru Dipahami Umat

Selanjutnya, dalam Shahih al Bukhari juga ada bab yang membahas tentang i’tikafnya para perempuan. Dalam bab tersebut, beliau mengemukakan hadis riwayat Aisyah r.a., sebagaimana berikut:

كان النبي صلى الله يعتكف في العشر الأواخر من رمضان، فكنت أضرب له خباء فيصلي الصبح ثم يدخله، فاستأذنت حفصة عائشة أن تضرب خباء، فأذنت لها فضربت خباء فلما رأته زينب بنت جحش ضربت خباء آخر، فلما أصبح النبي صلى الله عليه وسلم رأى الأخبية فقال: ماهذا؟ فأخبر، فقال النبي صلى الله عليه وسلم ألبر ترون بهن؟ فترك الاعتكاف ذلك الشهر، ثم اعتكف عشرا من شوال.

Artinya: “Nabi Saw. biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada Aisyah untuk mendirikan tenda, Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihatnya, ia pun mendirikan tenda lain.

Ketika di subuh hari lagi Nabi saw, melihat  banyak tenda, lantas diberitahukan dan beliau bersabda: “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliaupun meninggalkan iktikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan iktikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.”

Dalam literatur lain, yakni Ibnu Mundzir dan ulama’ lain, dikutip oleh Imam Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari saat beliau mensyarahi hadis tersebut, mengatakan bahwa perempuan tidak boleh iktikaf sampai meminta izin kepada suaminya. Apabila perempuan beriktikaf tanpa meminta izin, maka suaminya boleh menyuruhnya keluar dari iktikaf.

Baca Juga:  Qadha Puasa Ramadhan atau Puasa Syawal Dulu, Mana yang Lebih Utama?

Apabila telah diberi izin, suami masih boleh melarangnya. Sementara menurut ulama Hanafiyah, apabila suami telah mengizinkan lalu melarangnya, maka suami menjadi berdosa. Sedangkan menurut Imam Malik, suami seharusnya tidak berlaku seperti itu.

Dari beberapa sumber di atas bisa kita simpulkan bahwa hukum i’tikaf di masjdi bagi perempuan adalah boleh, khususnya pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Tapi, syaratnya adalah ia mesti terlebih dahulu memperoleh izin dari suami atau mahramnya.

Saat keluar dari rumah tidak sendirian, agar menjaga diri dari fitnah dan bahaya. Jangan lupa untuk menutup aurat dan tidak menganggu kenyamanan jama’ah lainnya yang sedang khusyuk menjalankan ibadah.

Perlu dicatat, perempuan yang beri’tikaf mesti dalam keadaan suci dari haid, nifas dan janabat. Bagi perempuan, istihadah atau mengeluarkan darah penyakit, maka hukum i’tikaf di masjid untuk perempuan menjadi boleh. Kejadian ini pernah dialami oleh salah satu istri Nabi Muhammad Saw. sesuai dalam hadis riwayat Aisyah r.a. berikut ini:

Baca Juga:  Inilah Pandangan Sunni, Syiah dan Muktazilah Mengenai Perang antara Ali dengan Aisyah

اعتكفت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة متسحاضة من أزواجه فكانت ترى الحمرة والصفرة، فربما وضعنا الطست تحتها وهي تصلي.

Artinya: “Salah satu istri Nabi Saw. yang sedang istihadhah beriktikaf bersama Nabi Saw. Terkadang ia terlihat darah merah dan kuning, maka kamipun meletakkan baskom di bawahnya sedangkan ia shalat.” (H.R. Al-Bukhari).

Demikianlah penjelasan tentang hukum i’tikaf di masjid bagi perempuan. Semoga pandemi Covid-19 segera berakhir di akhir bulan Ramadhan nanti kita bisa istiqamah dalam menjalankan ibadah iktikaf dan mendapatkan lailatul qadar. Wallahu A’lam.

Ayu Alfiah