Begini Argumentasi Hukum Menari dalam Islam, Tidak Semua Jenis Tarian Haram!

Begini Argumentasi Hukum Menari dalam Islam, Tidak Semua Jenis Tarian Haram!

PeciHitam.org Menari, wajar ditemui dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi belum tentu dibenarkan dalam Islam. Islam memandang bahwa tindakan yang mengumbar aurat dan menjadikan bahan tontonan yang menimbulkan mafsadat kerusakan di Haramkan, dari sinilah muncul kajian hukum menari dalam Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kajian Menari atau tarian dalam Islam dewasa ini harus dihukumi terpisah karena beberapa Thariqah dalam Islam menggunakan Tarian dan Menari sebagai media Dzikir kepada Allah SWT. Hukum menari dalam Islam beserta dalil-dalil argumentasinya perlu dipahami dengan baik.

Daftar Pembahasan:

Taran, Variasi dan Perkembanganya

Menari, adalah sebuah gerakan ritmis dan indah sebagai ungkapan jiwa manusia. Menari dipahami luas oleh banyak dengan kata Joged, Dance atau lainnya yang sejenis menggerakan anggota badan.

Menari dapat ditemukan dalam semua kebudayaan dan peradaban di dunia, baik barat maupun timur. Menari juga bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.

Bahkan di Jawa, Kerajaan kepanjangan Mataram Islam, Kesultanan Nyayogyakarta dan Kasunanan Surakarta selalu menghadirkan Tarian Bedhaya Tawang pada saat peringatan kenaikan Sultan/ Sunan.

Tarian atau menari sebagai ungkapan jiwa bisa dilakukan dengan ekspresi pakaian yang tertutup sopan sebagaimana tarian Saman dari Aceh. Atau tarian penyambuta, perang dan lain yang menggunakan pakaian adat sebagaimana ditemukan di Papua.

Semuanya dinamakan tarian dan pasti berimplikasi hukum berbeda satu sama lain. Istilah tarian juga biasa disematkan dalam ritus dzikir Thariqah Maulawiyah yang didirikan oleh Maulana Jalaludin Ar-Rumi di Kerajaan Ustmaniyah (Turki).

Tarian terakhir ini disebut dengan tarian Sufi yang berfungsi sebagai media dzikir. Maka memerlukan pengertian mendalam dalam memahami Hukum Menari dalam Islam. Tidak serta merta dihukumi sama semua dalam semua bentuk tarian.

Dalil Hukum Menari dalam Islam

Penulis membedakan beberapa jenis Tarian kedalam kategori dalil sebagai pembagian klasifikasi dalam Hukum Menari dalam Islam. Pembedaan dalam Hukum menari sebagai akidat dari kompleksnya istilah menari, tarian dalam Islam.

Tontonan yang menghadirkan biduan dangdut atau konser musik pasti akan menampilkan tarian, jogedan, dan gerakan-gerakan ritmis atau bahkan anarkis.

Belum lagi, invasi K-Pop ke Indonesia menjadikan dance tarian sangat akrab. Kumpulan pendapat Ulama dalam Kitab-kitabnya dan Alasan ‘Illat Halal-Haram Hukum Menari dalam Islam sebagai berikut;

Kitab Madzhibul Arba’ah Juz 2

اما رقص النساء امام من لايحل لهن فانه حرام بالاجماع لما يترتب عليه من اثارة للشهوة والافتنان ولما فيه من التهتك والمحون ومثلهن الغلملن المراد امام من يشتهيهم ويفتـتن بهم

Baca Juga:  Bahan Bangunan Masjid dari Benda Najis, Bagaimanakah Hukumnya?

Dasar dari Hukum Menari dalam Islam dijelaskan dalam kitab ini, bahwa Hukum wanita menari-nari di depan lelaki yang bukan mahramnya adalah Haram. Keharaman Hukum Menari dalam Islam oleh wanita di depan laki-laki bukan mahrom berdasar Ijma’ konsensus para Ulama.

‘illat hukumnya yakni menghindari faktor negatif yang ditimbulkan dari perbuatan tarian wanita. Tentunya akan sangat banyak syahwat terumbar, fitnah tersebar, merusak kehormatan wanita dan petaka bagi laki-laki yang tidak tahan.

Keharaman menari di atas juga berlaku bagi laki-laki muda yang menari dihadapan wanita yang bukan mahramnya. Keharaman menari dalam Islam jelas bertujuan menghindari kerusakan yang terjadi sebagaimana pesan dalam maqshid asy-Syariah.

Kitab Ithaf Sadat Al-Muttaqin yang menerangkan Makruh dan Mubah

Kitab Ithaf sering menjadi rujukan Hukum, Hikmah dan Kisah oleh KH Bahaudin Nursalim dalam setiap ceramah beliau. Kitab ini menerangkan tentang Hukum Menari dalam Islam cenderung lebih lunak. Keterangan Ithaf tertuang dalam argumentasi berikut;

وَلْنَذْكُرْ مَا لِلْعُلَمَاءِ فِيْهِ أَيْ فِي الرَّقْصِ مِنْ كَلاَمٍ فَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى كَرَاهَتِهِ مِنْهُمُ الْقَفَّالُ حَكَاهُ عَنْهُ الرُّوْيَانِيُّ فِي الْبَحْرِ. وَقَالَ الْأُسْتَاذُ أَبُوْ مَنْصُوْرِ تَكَلُّفُ الرَّقْصِ عَلَى الإِيْقَاعِ مَكْرُوْهٌ وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَنَّهُ لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى إِبَاحَتِهِ قَالَ الْفَوْرَانِي فِي كِتَابِهِ الْعُمْدَةِ الْغِنَاءُ يُبَاحُ أَصْلُهُ وَكَذَلِكَ ضَرْبُ الْقَضِيْبِ وَالرَّقْصُ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ.

Maksud keterangan Ithaf Sadat di atas menjelaskan bahwa Ulama banyak berselisih tentang Hukum Tarian dan Lagu Pengiring. Sebagaimana diketahui bahwa menari akan selalu disertai dengan lagu pengiring. Ulama yang memakruhkan (perbuatan lebih baik ditinggalkan) adalah Imam Al-Qaffal dan Ar-Royani dalam kitab Al-Bahr.

Dikatakan oleh Profesor Abu Mansur mengatakan bahwa mengikuti Irama lagu dengan berekspresi tarian atau menari, berhukum Makruh. Akan tetapi dalam pandangan Al-Faroni dalam kitab Al-‘Umdah beranggapan bahwa mendengarkan Lagu berhukum Mubah, dan tentunya Tarian yang menyertai juga Mubah.

Kebolehan atau Mubahnya Hukum Menari dalam Islam menurut Kitab al-Umdah sebagai persamaan dengan permainan Qadlib sebuah permainan khas padang pasir yang menggunakan media Pedang sebagai permainan.

Pendapat Imam Haramain tentang Tarian

قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ الرَّقْصُ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ فَإِنَّهُ مُجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اسْتِقَامَةِ أَوِ اعْوِجَاجٍ وَلَكِنْ كَثِيْرُهُ يُحَرِّمُ الْمُرُوْءَةَ وَكَذَلِكَ قَالَ الْمَحَلِّي فِي الذَّخَائِرِ وَابْنُ الْعِمَادِ السَّهْرَوَرْدِي وَالرَّافِعِيُّ وَبِهِ جَزَمَ الْمُصَنِّفُ فِي الْوَسِيْطِ وَابْنُ أَبِي الدَّمِ وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَمْرَيْنِ، السُّنَّةُ وَالْقِيَاسُ. أَمَّا السُّنَّةُ فَمَا تَقَدَّمَ مِنْ حَدِيْثِ عَائِشَةَ قَرِيْبًا فِي زَفْنِ الْحَبَشَةِ وَحَدِيْثُ عَلِيُّ فِي حِجْلِهِ وَكَذَا جَعْفَرٍ وَزَيْدٍ. وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَكَمَا قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ حَرَكَاتٌ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوِ اعْوِجَاجٍ فَهِيَ كَسَائِرِ الْحَرَكَاتِ.

Baca Juga:  Begini Cara Bayar Fidyah Puasa Ramadhan yang Tidak Ditunaikan

Pendapat Imam Haramain, jenis tarian yang hanya seputar menggerakan badan dengan gerakan bergoyang lurus sedikit dan tidak berlebihan berhukum Tidak Haram. Karena sekedar gerakan tersebut tidak akan menimbulkan kerusakan.

Jika gerakan banyak dan menimbulkan banyak Kerusakan dan Madlarat dan kehormatan diri menjadi rendah, dipastikan Haram. Hal senada dikatakan dalam kitab Mahalli, Imam Suhrawardi dan Imam Rafii.

Kebenaran ini mendasarkan hadits dari Istri Rasulullah SAW, Aisyah binti Abu Bakar RA yang mengatkan bahwa;

حَدِيْثِ عَائِشَةَ قَرِيْبًا فِي زَفْنِ الْحَبَشَةِ وَحَدِيْثُ عَلِيُّ فِي حِجْلِهِ وَكَذَا جَعْفَرٍ وَزَيْدٍ

Dalam Riwayat dijelaskan bahwa Aisyah RA menyaksikan tarian orang-orang Habasyah dan Nabi SAW tidak membiarkannya. Ali bin Abi Thalib RA juga pernah diketahui dalam riwayat melakukan gerakan lompatan bersama-sama dengan Ja’far bin Zaid.

Persamaan Qiyas analogi dalam pendapat Imam Haramain yakni Kebolehan Hukum Menari dalam Islam terbatas dalam gerakan-gerakan olah tubuh sama dengan gerakan wajar harian. Tidak ada keharaman dalam gerakan-gerakan yang maklum dilakukan setiap hari.

Keharaman dalam Menari

وَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى تَفْصِيْلٍ فَقُلْتُ إِنْ كَانَ فِيْهِ نَتْنٌ وَتَكَسُّرٌ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَإلاَّ فَلاَ بَأْسَ بِهِ وَهَذَا مَا نَقَلَهُ ابْنُ أَبِي الدَّمِ عَنِ الشَّيْخِ أَبِي عَلِيِّ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَكَذَا مَا نَقَلَهُ الْحَلِيْمِي فِي مِنْهَاجِهِ. وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَنَّ فِيْهِ التَّشَبُّهَ بِالنِّسَاءِ وَقَدْ لُعِنَ الْمُتَشَبِّهُ بِهِنَّ. وَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنُ كَانَ فِيْهِ نَتْنٌ وَتَكَسُّرٌ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَإِلاَّ فَلاَ. وَهَذَا مَا أَوْرَدَهُ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ وَحَكَاهُ فِي الشَّرْحِ الْكَبِيْرِ عَنِ الْحَلِيْمِي وَحَكَاهُ الْجِيْلِي فِي الْمُحَرَّرِ

Pendapat dalam tarian memang harus dirinci dengan cermat. Karena Hukum Menari dalam Islam tidak bisa diglobalkan sebagaimana pendapat Imam Zabidi.

Makruh jika tarian lelaki menyerupai gerakan lenggok perempuan. Jika ‘illat lenggok perempuan tidak ada maka berhukum Boleh/ Jaiz.

Haram dalam menari menirukan lenggok perempuan menurut Imam Rafii karena akan menimbulkan mafsadat dan fitnah. Kitab yang mengatakan Keharaman Tarian jenis ini dapat ditemukan dalam syarah Shaghir, Syarah, Kabir, dari riwayat Halimi  dan Al-Jilli dalam kitab Muharrir.

Baca Juga:  Orang yang Berhak Menerima Zakat, Apa Saja Kriterianya

Tarian Sufi dan Hukumnya

Jika melihat fatwa dan Hukum di atas banyak berkutat dalam makruh dan haram. Kemudian bagaimana Hukum Menari dalam Islam sebagaimana sering dilakukan oleh thariqah Maulawiyah atau Tarian Sufi.

Ternyata ada riwayat tentang luapan rasa gembira dengan ekspresi anggota badan berjingkrak kegirangan karena senang. Sebagaimana kesenangan dan kegembiraan dalam merayakan Gol dalam sepak bola. Pada masa Rasuullah SAW pernah ada luapan kegembiraan sampai berjingkrak kegirangan.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab karangannya, Al-Fatawi Al-Haditsiyah, mencatatkan riwayat Ja‘far bin Abi Thalib RA. Ja’far ini adalah adik dari Ali bin Abi Thalib RA, pernah menari dengan riang gembira, ceria karena hati beliau sedang ditenggelamkan rasa gembira

نعم له أصل فقد روي في الحديث أن جعفر بن أبى طالب رضي الله عنه رقص بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم لما قال له “أشبهت خلقي وخلقي” وذلك من لذة هذا الخطاب ولم ينكر عليه صلى الله عليه وسلم. وقد صح القيام والرقص في مجالس الذكر والسماع عن جماعة من كبار الأئمة منهم عز الدين شيخ الإسلام ابن عبد السلام

Tentu Riwayat Syaikh Jalaludin Ar-Rumi mempraktekan tarian luapan kegembiraan dalam berdzikir berasal dari sini. Kegembiraan yang diluapkan dengan menari gembira oleh Ja’far bin Abi Thalib karena dipuji Rasulullah SAW;

أن جعفر بن أبى طالب رضي الله عنه رقص بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم لما قال له “أشبهت خلقي وخلقي

Rupa dan Akhlakmu (Ja’far bin Abi Thalib) sama dengan akhlak dan Rupa-ku (Muhammad SAW).

Tarian yang dilakukan oleh Ja’far bin Abi Thalib dibiarkan oleh Rasulullah SAW, maka bisa diambil kesimpulan bahwa tarian tersebut adalah sunnah taqririyah.

Maka bisa diambil simpulan Hukum Menari dalam Islam sebagaimana Ja’far bin Abdi Salam adalah sunnah taqririyah. Salah satu Ulama yang mengatakan demikian adalah ‘Izzudin bin Abdi Salam.

Ash-Shawabu minallah

Mochamad Ari Irawan