Hukum Waris Anak Hasil Zina Menurut Ulama; Dinisbahkan Kepada Siapa?

Hukum Waris Anak Hasil Zina Menurut Ulama; Dinisbahkan Kepada Siapa?

PeciHitam.orgZina terjadi antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa adanya ikatan pernikahan. Banyak faktor yang menjadi latar belakang terjadinya dosa zina, antara lain pergaulan bebas. Gejala pergaulan bebas dengan penanda tidak lagi adanya sekat-sekat hukum agama yang diindahkan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pergaulan bebas biasnya menjadi pendorong adanya zina dikalangan anak remaja. Akan tetapi bukan hanya anak muda yang banyak terjebak kedalam zina.

Orang tua yang sudah dewasa, tidak kurang kasus menunjukan tentang perlakuan dosa besar ini oleh orang yang sudah berkeluarga.

Tentunya bagi mereka pemuda dan orang tua yang berbuat zina tidak menyelami atau mengamalkan agama dengan baik dan benar. Kekurang-pahaman terhadap ajaran agama dan implikasi hukumnya menjadikan mereka dengan seenak hati melanggar peraturan agama.

Implikasi hukum bagi anak hasil zina berbuntut panjang, mencakup masalah Nasab, Wali, Waris dan Nafkah yang harus ditunaikan. Dari sekian implikasi hukum anak hasil zina, yang memberi banyak warna dimasyarakat adalah Hukum waris anak hasil zina. Hak waris sendiri sering menjadikan orang berselisih bahkan sampai kekerasan.

Hukum waris anak hasil zina harus bisa mengakomodir dan menjadi guide bagi ahli hukum dan tokoh agama untuk menentukan besaran sesuai dengan tutunan Agama.

Daftar Pembahasan:

Dasar Dalil Zina

Islam dengan tegas melarang keras praktek zina, karena bertentangan dengan maqashid syariah, yakni Hifdzu Nasl (menjaga garis keturunan). Dasar ayatnya jelas dalam surat Al-Israa ayat 32,

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

Artinya; “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (Qs. Al-Israa: 32)

Dan ancaman hukuman Allah SWT disebutkan dalam surat An-Nur ayat 2 yang memerintahkan untuk mendera pezina, laki-laki maupun perempuan sebanyak 100 kali. Jika tidak terdera didunia, maka hukuman akan tertunda dihari pembalasan.

Ketegasan Al-Quran dalam memperlakukan orang berzina kiranya menjadi perhatian bahwa dosa ini adalah dosa besar. Allah SWT sangat membenci adanya zina, dan mengkategorikan kedalam golongan keji dan jalan yang buruk.

Baca Juga:  Pembahasan Hukum Nikah Online dan Solusinya di Masyarakat

Pengendalian zina dengan himbauan, nasihat sampai hukuman tidak serta merta menghentikan praktik ini. Orang yang sudah terlanjur berzina perlu disikapi dengan arif dan bijaksana sesuai hukum Islam. Memang jaring pengendali sosial diperlukan sebagai upaya preventif mencegah zina.

Pandangan Hukum Anak Hasil Zina

Anak hasil zina dalam Islam tetap dipandang dengan posisi fitrah, sebagaimana manusia hasil perkawinan sah. Ia tidak berdosa karena tidak mengetahui apa-apa perbuatan ayah dan ibunya.

Tidak dibenarkan menempatkan anak hasil zina dengan cacian, bullying atau menyerang psikologis anak tersebut.

Dalam tinjauan hukum anak hasil zina, setidak terdapat 4 aspek kehidupan anak yang terpengaruh. Yakni nasasb, waris, wali dan nafkah. Empat aspek ini adalah murni kesalahan dari ayah ibunya yang berbuat melampui batas hukum Islam dan tradisi. Islam memandang tidak perlu untuk mengucilkan anak hasil zina atas kesalahan ayah-ibunya.

Aspek waris setelah meninggalnya orang tua biasanya sangat sensitif dan sering menimbulkan gesekan. Implikasi hukum waris dalam Islam berkaitan erat dengan hukum nasab yang menempel kepada anak hasil zina. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujathid wa Nihayatu Muqtashid menyebutkan;

وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ أَوْلَادَ الزِّنَا لَا يُلْحَقُونَ بِآبَائِهِمْ إِلَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَلَى اخْتِلَافٍ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الصَّحَابَةِ

Artinya; “Mayoritas ulama sepakat bahwa anak zina tidak di-ilhaq-kan (dinasabkan) kepada bapak mereka  kecuali anak-anak yang lahir pada masa jahiliyah sebagaimana yang diriwayatkan dari sayyidina Umar bin al-Khaththab RA, dan dalam hal ini terjadi perbedaan di antara shahabat

Nisbat keturunan dan Hukum anak hasil zina tidak boleh ditujukan kepada ayah biologis sang jabang bayi. Walaupun diketahui dengan jelas ayah yang terkandung baik secara medis atau pengakuan sang pelaku zina.

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Qurban Orang yang Sudah Meninggal

Akan tetapi dalam konteks tersebut hukum anak zina dalam Islam, menurut Imam Syafii, tidak boleh dinisbatkan kepada ayah biologisnya.

Hukum Waris Anak Hasil Zina

Pendapat mayoritas Ulama Syafiiyah sebagaimana dituliskan dalam kitab Bidayatul Mijtahid wa Nihayatu Muqtasid tidak memasukan anak hasil zina kedalam Nasab ayah biologis.

Maka implikasi hukum waris anak hasil zina tidak bergantung kepada ayahnya, karena tidak ada Nasab ayah dalam diri anak tersebut.

Akan tetapi Imam Mawardi mengangkat perbedaan Ulama tentang status Nasab anak hasil zina sebagai dasar Hukum Waris anak hasil zina. Imam Mawardi menulis dalam kitabnya;

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ خَلِيَّةً وَلَيْسَتْ فِرَاشًا لِأَحَدٍ يَلْحَقُهَا وَلَدُهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ، وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ الْحَدِّ وَيَلْحَقُهُ إِذَا مَلَكَ الْمَوْطُوءَةَ وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ

Pendapat Ulama Syafiiyah yang banyak digunakan di Nusantara, bahwa perempuan berzina dan mengandung kemudian tidak menikah sampai melahirkan, Nisbatnya kepada Ibunya. Walaupun sang ayah biologis mengakui dan cek medis menunjukan bahwa anak tersebut merupakan anaknya, akan tetapi hukumnya tetap tidak merujuk kepada Nasab Ayahnya.

Imam Hasan Al-Bashri berbeda pendapat dengan Ulama Syafiiyah, dengan memungkinkan ayah biologis menjadi ayah Nasab sekalipun anak tersebut hasil hubungan gelap.

Syaratnya harus dengan bukti kuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan medis atau lainnya. Ulama yang sependapat dengan Imam Hasan Al-Bashri adalah Ibnu Sirrin dan Ibnu Rahawaih.

Syaikh Ibrahim An-Nakhai menyatakan bahwa anak hasil zina bisa dinisbatkan kepada Lelaki yang mengakuinya sebagai ayah kandung dengan mendatangkan saksi. Saksi yang dihadirkan harus terlebih dahulu bersumpah untuk menunjukan kebenaran kesaksiannya.

Baca Juga:  Hukum Boneka dalam Islam; Samakah dengan Patung? Ini Dalilnya

Sedangkan Imam Hanafi berpendapat, bahwa anak hasil zina bisa dinisbatkan kepada lelaki yang menikahi ibunya. Walaupun lelaki tersebut bukan ayah biologis dengan syarat menikahi ibunya sehari sebelum persalinan. Jika menikahi ibunya setelah kelahiran anak, maka tidak bisa dinisbatkan kepada lelaki tersebut.

Dasar perolehan Hukum Waris anak hasil zina mendasar pada ada-tidaknya nasab pada anak tersebut. Jika ia bernasab kepada ayahnya secara hukum, maka ia mendapatkan hak waris darinya.

Jika ia tidak memiliki hubungan hukum nasab kepada ayahnya, maka anak tidak mendapatkan warisan.

Dan jika mengikuti hukum Ulama yang mengesahkan Nasab Anak Hasil Zina, setelah ayah biologis menikahi ibunya, maka setelah ayahnya meninggal anak tersebut akan mendapatkan warisan.

Ketentuan dasar Hukum Waris anak Hasil zina sangat tergantung kepada pendapat Ulama yang diikuti.

Memilih pendapat Ulama Syafiiyah yang berlaku luas di Nusantara, maka anak hasil zina tidak akan mendapatkan warisan dari ayah biologis walaupun ayah-ibunya telah menikah dengan sah. Karena ia merupakan hasil zina sebelum pernikahan digelar.

Pendapat Ulama Syafiiyah yang tidak mengakui nasab anak hasil zina merupakan pendapat yang paling kuat dan diikuti oleh banyak Ulama didunia. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq