Ibn Athaillah dan Karakter Tasawuf Yang Dimilikinya

Ibn Athaillah dan Karakter Tasawuf Yang Dimilikinya

PeciHitam.org – Ibn Athaillah merupakan sufi terbesar dalam sejarah sufisme Islam, setelah guru beliau Abu al-Abbas al-Mursy dan al-Syadzili. Beliau mempunyai karakteristik teologis dan sufistik distingtif di antara sufi-sufi lain.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah, menurut Ibnu Athaillah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Tuhan, senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya, mampu menguasai hawa nafsu serta selalu bersamaNya dan senantiasa kekal denganNya secara sungguh-sungguh.

Berkaitan dengan ma’rifat Syekh Syadzili, Ibn Athaillah berpendapat ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama, mawahib, yakni Allah memberikan sesuatu tanpa usaha seseorang. Tuhan memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut. Kedua, makasib, yaitu ma’rifat dapat diperoleh melalui usaha keras sesorang, melalui al-riyadhah, dikir, dawamul wudhu, puasa, sholat sunnah dan beramal saleh.

Sebagian ajaran tasawuf beliau dipengaruhi oleh al-Ghazali yang menyeru murid-muridnya untuk mengikutinya serta meneladani kehidupan maupun tarekatnya. Tasawuf yang dikenalkan oleh beliau dengan al-Ghazali memiliki beberapa persamaan, namun mereka memiliki sedikit perbedaan, yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Baca Juga:  Neo-Sufisme dalam Gerakan Pembaruan Pemikiran Tasawuf

Al-Ghazali lebih menekankan pada riyadhah al-abdan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya mashaqqat, misalnya bangun malam untuk salat malam, tahajud, perut lapar dan lain-lain. Ibn Athaillah lebih menekankan riyadhah al-qulub, tanpa menekankan adanya mashaqqat al-abdan. Dalam hal ini, beliau menekankan “kondisi hati” seperti senang (farh), rela (ridha), dan senantiasa bersyukur (syukr) pada nikmat Tuhan.

Konsep tasawuf Ibn Athaillah terorganisir dalam Tarekat Syadziliyah, tarekat yang dinisbahkan pada nama guru beliau yaitu Abu al-Hasan al-Syadzili. Tarekat diibaratkan sebuah pohon: tumbuh dari tunas menjadi pohon yang telah sepenuhnya matang dan mulai menumbuhkan rantingnya.

Tarekat pada mulanya suatu metode praktis yang sejajar dengan istilah-istilah lain seperti madhhab, ri’ayah, dan suluk, yang kemudian berkembang dengan tujuan membimbing seorang pencari (salik) dengan menelusuri jalan berpikir, merasa dan bertindak melalui urutan maqamat dan ahwal. Tujuannya adalah menuju pengalaman realitas ilahi.

Baca Juga:  Gerakan Kaum Sufi dalam Melawan Penjajah Kolonial

Ibn Athaillah berkata, ”seorang salik tidak bersedih jika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.”

Karakter tasawuf Ibn Athaillah menekankan pada ajaran ma’rifatanNya, serta tidak jauh dengan ajaran gurunya, al-Mursyi yang merupakan murid dari Hasan al-Syadzili dengan ajaran tasawuf yang tergolong unik dan langka.

Al-Syadzili memang tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah buku lantaran kesibukannya. Namun ajaran-ajarannya dapat diketahui melalui tulisan muridnya beliau adalah Ibn Athaillah al-Iskandari yang pertama kali menghimpun dan menulis ajaran al-Syadzili.

Ibn Athaillah menyatakan bahwa ada empat hal yang menjadi pegangan sufi untuk dapat bertemu Tuhan. Apabila seorang sufi dapat menjalani keempat hal tersebut, maka telah mengetahui tasawuf dengan benar dalam pengetahuan yang hakiki.

Bila dapat menjalani tiga hal, maka termasuk salah seorang wali Allah. Bila dapat menjalani dua hal, maka termasuk salah seorang syahid. Tetapi jika menjalani satu hal, dikategorikan sebagai orang yang melayani Tuhan dengan penuh keikhlasan.

Baca Juga:  Begini Makna Waktu Menurut Para Ulama Sufi

Empat hal tersebut yaitu, pertama, dzikir yang selalu menyertai perbuatan-perbuatan yang benar. Ini mengandung arti iluminasi (yahdi Allah li nurih). Kedua, al-tafakkur yang berlandasakan pada ketekunan dan buahnya adalah pengetahuan. Ketiga, faqr. Dasarnya adalah syukr dan buahnya adalah meningkatkan rasa syukur. Keempat, al-hubb. Landasannya adalah tidak mencintai dunia dan isinya dan buahnya adalah al-ittihad dengan penuh rasa cinta hanya kepada Tuhan.

Mohammad Mufid Muwaffaq