Imam Nawawi Tidak Pernah Menikah, Bagaimana dengan Maksud Hadis “An-Nikahu Sunnati?

Maksud Hadis An-Nikahu Sunnati

Pecihitam.org- Imam Nawawi seorang ulama bergelar Muhyiddin merupakan tokoh utama Madzhab Syafii dengan penguasaan beberapa disiplin ilmu, baik ilmu Al-Quran, Hadis hingga Fiqh. Tahukah Anda bahwa selama hidupnya, beliau yang meninggal di usia 45 tahun ini tidak pernah menikah? Lalu bagaimana dengan maksud hadis “An-Nikahu Sunnati“?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Nabi Muhammad SAW bersabda, sebagaimana ditemukan dalam banyak riwayat berkaitan dengan anjuran menikah. Salah satunya adalah hadis berikut:

النِّكَاحُ سُنَّتِيْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan golonganku

Namun ketika membaca biografi beberapa ulama besar terdahulu, kita akan mendapati bahwa sebagian mereka ada yang tidak pernah menikah atau hidup membujang hingga akhir hayat. Misalnya Imam Nawawi.

Lantas, apakah kita akan menghakimi beliau sebagai bukan dari golongan nabi, padahal beliau seorang ulama yang memahami dan banyak menulis atau mensyarahi kitab-kitab hadis?

Sebenarnya hukum menikah itu tidak wajib. Memang hukum asalnya adalah sunnah. Tapi itu pun bisa berubah menjadi wajib, makruh bahkan haram bergantung kondisi masing-masing orang.

Sedangkan maksud hadis an-nikahu sunnati bahwa menikah itu pola hidup yang disenangi nabi. Maka dalam kondisi yang berkecukupan, seseorang dianjurkan untuk menikah.

Baca Juga:  Menikahi Dua Perempuan Bersaudara Sekaligus, Bagaimanakah Hukumnya?

Adapun orang yang hidup membujang bukan dengan maksud meremehkan sunnahnya menikah, melainkan karena ingin fokus ibadah dan berkhidmat, seperti shalat, menulis kitab dan memberikan pengajaran pada orang lain, apalagi tidak dikhawatirkan melakukan zina, maka orang seperti ini tidak dikategorikan menyelesihi sunnah. Inilah yang dipraktekkan oleh Imam Nawawi.

Pandangan beliau tentang nikah, sebagaimana tertuang dalam Kitab Al-Minhaj

هو مستحب لمحتاج اليه يجد اهبته فان فقدها استحب تركه و يكسر شهوته بالصوم فان لم يحتج كره ان فقد الاهبة و الا فلا لكن العبادة افضل قلت فان لم يتعبد فالنكاح افضل له في الاصح

Nikah hukumnya sunah bagi orang yang membutuhkan dan punya biaya. Jika tidak punya biaya, sunah hukumnya meninggalkannya dan lemahkanlah syahwatnya dengan berpuasa. Jika tidak butuh menikah, maka menikah hukumnya makruh kalau tidak punya biaya. Jika punya biaya tidaklah makruh, tetapi melakukan ibadah lebih utama.

Aku (Imam Nawawi) berkata; jika memang seseorang tidak menggunakan waktunya untuk beribadah, maka nikah lebih utama.

Ketika Imam An-Nawawi memilih hidup membujang sampai ahir hayatnya. Beliau lalui hari-harinya dengan beribadah, menulis karya ilmiyah, mengajar, membaca Al-Qur’an. Manfaatnya pun bisa dirasakan hingga kini, di mana tidak ada satu pesantren pun yang tidak lepas dari kajian kitab Imam Nawawi.

Baca Juga:  Tanamkan Niat yang Baik Ketika Menikah Agar Menjadi Pasangan yang Langgeng

Kembali ke hukum menikah. Hukum menikah sangat tergantung pada keadaan orang yang hendak melakukannya. Secara detail, berikut klasifikasi hukum menikah dalam pandangan ulama Fiqh

  1. WAJIB: Bagi orang yang telah mampu dan bila ia tidak segera menikah amat dikhawatirkan akan berbuat zina
  2. SUNNAH: Bagi orang yang menginginkan sekali punya anak, tetapi ia masih mampu mengendalikan diri dari perbuatan zina, baik ia sudah berminat menikah atau belum walaupun jika menikah nanti ibadah sunnah yang sudah biasa ia lakukan akan sedikit terlantar.
  3. MAKRUH: Bagi orang yang belum berminat punya anak, juga belum pernah menikah sedangkan ia mampu menahan diri dari berbuat zina padahal bila ia menikah amalan ibadah sunnahnya akan terlantar.
  4. MUBAH: Bagi orang yang mampu menahan gejolak nafsunya dari berbuat zina, sementara ia belum berminat memiliki anak dan seandainya ia menikah ibadah sunnahnya tidak sampai terlantar.
  5. HARAM: Bagi orang yang apabila ia menikah justru akan merugikan istrinya karena ia tidak mampu memberikan nafkah lahir dan batin atau jika menikah ia akan cari mata pencaharian yang diharamkan Allah SWT walaupun orang tersebut sudah berminat menikah dan mampu menahan gejolak nafsunya dari berbagai zina.
Baca Juga:  Latar Belakang Munculnya Hadis Palsu, Bagian 1

Hukum menikah di atas juga berlaku bagi kaum wanita. Ibnu Arafah menambahkan, bahwa bagi wanita hukum menikah wajib apabila ia tidak mampu menafkahi dirinya sendiri sedangkan jalan satu-satunya untuk menanggulangi nafkah tersebut adalah menikah.

Faisol Abdurrahman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *