Kalam Sufi dari Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Pemimpin Forum Sufi Dunia

kalam sufi habib luthfi bin yahya

Pecihitam.org – Habib Luthfi bin yahya adalah salah seorang Dzurriyah Rasulullah yang dalam setiap kali berdakwah ia tidak pernah menggunakan nada suara yang berapi-api ala orator dengan urat menegang. Ceramah-ceramahnya senantiasa bikin tenteram hati, tidak mengobarkan kebencian dan kejengkelan. Dan di setiap kata yang diucapkannya selalu terkandung hikmah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

[1] Orang saleh itu pertama, ia harus shâlihus shudûr, mampu menyelamatkan hatinya dari segala sifat radzáil seperti ‘ujub, kibr, sum’ah dan lain-lain. Sehingga, yang sepantasnya, hiasan hati itu adalah bi dzikrillâh yang akan menjadi sebab mengajak kita semua taqarrub kepada Allah Swt.

Maulana Habib Luthfi bin Yahya memulai wedaran élmu dengan langsung ke pusat kehidupan manusia; hati. Hati kerap dimaknai sebagai inti dari kehidupan manusia. Siapa orang hatinya baik, baik pulalah omongan dan laku hidupnya. Orang saleh diungkap beliau al-Habib adalah bermula dari kesalehan hati.

Hati yang saleh jauh dari sifat tercela seperti sifat pamer dan sombong. Hati yang jauh dari sifat tercela ialah hati yang diluapi éling, yakni “bi dzikrillâh”. Melalui dzikir, hati merayap-mendekat Allah (attaqarrub).

Jika hati telah demikian intim dengan Allah Sang Maha, maka hati mewujud bersih, suci dari ketercelaan.

Baca Juga:  Benarkah Kaum Sufi Tidak Perlu Bekerja?

[2] Terhalanglah kita dari karatan-karatan hati yang merupakan kibr, takabbur, sum’ah, merasa sok pintar, merasa sok ‘alim, merasa sok bener dhewek (merasa benar). Kesemuanya menjadi hijab setiap hati manusia.

Sungguh perumpamaan yang menohok. Beliau al-Habib membuat amsal perangai tercela seumpama karat-karat dalam hati. Semisal apa hati berkarat? Ialah kita yang punyai rasa ke-aku-an; merasa pintar, ‘alim, benar. Wal ‘iyâdz billâh.

Syahdan, kata beliau al-Habib, orang saleh sadar dan tidak mau terperdaya. Seperti apa yang beliau al-Habib utarakan dalam kalam berikut di bawah.

[3] Para orang saleh tidak mau tertipu oleh perilaku demikian, sehingga para beliau mampu mensalehkan, setelah hatinya yang saleh, pola pikirnya pun saleh, perilakunya pun saleh, tangannya pun ikut saleh, kakinya pun ikut saleh. Sehingga saleh itu tidak terletak di hati saja, tetapi buahnya kesalehan yang tertanam di hati akan terpancar kepada semua anggota badan.

Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad. Beliau al-Habib memilih diksi “terpancar” untuk metafor kesalehan hati. Bahwa kesalehan itu ibarat cahaya. Ia berpendar, menyemburat dari hati. Lantas menerangi seluruh anggota badan. Subhânallâh. Sungguh para al-shâlih orang-orang berhati cahaya, al-Nûr.

Al-Nûr itu ibarat omnipresen Allah Swt., kehadiranNya memutus urat syak wasangka buruk. Beliau al-Habib menegaskannya melalui kalam:

Baca Juga:  Siapa dan Bagaimana Kesufian Syeikh Yusuf Al Makassari?

[3] Dan orang-orang yang saleh menghindari sekali prasangka yang buruk, prasangka yang jelek kepada Allah Swt., selalu husnudhân billâh, prasangka yang baik kepada Allah swt. Walaupun dalam keadaan fakir yang luar biasa, tetap menerima kefakiran itu dengan prasangka yang baik kepada Allah Swt.

Membaca kalam beliau al-Habib di atas sungguh menusuk ulu hati. Penulis sering su’udhân pada Allah Swt. Kurang bersyukur atas limpahan nikmat hidup. Napas, detak jantung, aliran darah, gerak otot, semua kenikmatan sehat ini kerap penulis abaikan. Astaghfirullâh.

Sangat, sangat dan sangat jauh penulis masuk golongkan orang saleh. Hati penulis masihlah berkarat dan belum selamat. Wallâhul muwaffiq.

Beliau al-Habib mengukuhkah bahwa tanda-tanda di atas adalah cerminan orang yang hatinya selamat, bi qalbin salim.

[4] Itulah tanda atau ‘alâmat orang yang mempunyai hati yang selamat. Maka kelak apabila orang-orang saleh itu di yaumil barzakh dan dibangkitkan dari kuburnya akan memperoleh yauma lâ yunfa’u mâlun wa lâ banûn illâ man atallâh bi qalbin salîm.

Kalam sufi dari beliau al-Habib berikutnya ialah teguran bagi kita. Sangat perih membacanya. Kendatipun perih, sungguh tetes-tetes nasihat dibutuhkan bagi ketandusan hati.

Baca Juga:  Belajar Tasawuf: Falsafah dari Pohon Tebu (manTeb ing kalBu)

[5] Kalau menghitung uang takut jatuh. Nah, kira-kira kalau menghitung omongan ini bakal jadi pecah belahnya umat, jadi pecah belahnya bangsa, antar sesama kita saling su’udhan, prasangka yang kurang baik, khususnya al-umat Islam sebangsa setanah air, selalu diwarnai dengan prasangka-prasangka yang kurang baik, apa yang terjadi? Akan timbul pecah belah.

Kalau sudah timbul pecah belah, khususnya umat Islam, umumnya umat beragama, umumnya lagi bangsa Indonesia, siapa yang akan memanfaatkan perpecahan ini? Oknum yang hatinya kotor, ingin Indonesia kaya tumpeng, supaya cepat-cepat bisa dibagi-bagi.

Na’udzubillâhi min dzâlik. Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad, wa ‘alâ âli sayyidinâ Muhammad.

*Petikan-petikan kalimat di atas diperoleh dari kalam Maulana Habib Luthfi bin Yahya dalam majlis Jum’at Kliwonan pekan kemarin.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *