Kilas Balik Sejarah dan Kebrutalan Wahabi (Bag 1)

Pecihitam.org – Muhammad bin Abdul Wahab berasal dari Bani Tamim. Pada mulanya, dia menuntut ilmu di Madinah dan termasuk pelajar Madinah yang bolak-balik dari kota itu ke kota Mekah. Dia berguru kepada banyak ulama Madinah saat itu, di antaranya Syeikh Muhammad Sulaiman al-Kurdi Asy-Syafi’i dan SYekh Muhammad Hayat as Sandi Al-Hanafi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dua syekh ini, berikut guru-guru Muhammad bin Abdul Wahab lainnya, memprediksi bahwa sang murid akan menyimpang dan sesat dari agama. Mereka mengatakan “Orang ini akan sesat dan dengannya Allah akan menyesatkan orang-orang celaka dan jauh dari-Nya”. Ucapan mereka itu terbukti dan prediksi mereka tentangnya itu sama sekali tidak meleset.

Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang ulama yang saleh. Sang ayah juga pernah memprediksi hal yang sama, bahkan acapkali mencela anaknya itu dan memperingatkan masyarakat agar hati-hati terhadapnya. Demikian pula saudara laki-lakinya, Sulaiman bin Abdul Wahab, yang mengingkari segala bid’ah, kesesatan, dan akidah-akidah menyimpang yang dia ciptakan. Dan sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Wahab menulis sebuah kitab yang berisi bantahan atas kesesatan saudaranya, Muhammad bin Abdul Wahab.

Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1111 H dan tergolong memiliki umur cukup panjang. Dia hidup hingga usia 92 Tahun (ada yang mengatakan 95 tahun) dan meninggal pada tahun 1206 H. Semasa hidupnya, setan menjadikan Bid’ah dan kesesatan sesuatu yag indah dalam pandangannya sehingga dia pun pindah dari Madinah menuju kawasan timur dalam rangka menyebarkan ajarannya.

Di sana, dia menyeru manusia kepada Tauhid dan meninggalkan syirik, namun sebenarnya ucapannya itu palsu. Dia berusaha mendoktrin masyarakat bahwa akidah umat Islam seluruhnya syirik dan sesat, lantas menyebarkan akidahnya sedikit demi sedikit hingga memperoleh banyak pengikut dari masyarakat gembel dan orang-orang awam pedalaman.

Ajarannya muncul pertama kali di kawasan Timur pada tahun 1142 H, namun baru dikenal luas pada tahun 1150 H di Najd dan desa-desa yang masuk dalam wilayah ini. Dalam perjalannya, dakwahnya mendapat dukungan dan pembelaan dari Amir kawasan Dar’iyyah, Muhammad bin Sa’ud yang memanfaatkannya untuk memperluas kekuasaan dan pemerintahan. Sang amir mengajak seluruh penduduk Dar’iyyah untuk mengikuti ucapan Muhammad bin Abdul Wahab. Maka, penduduk kawasan itu dan sekitarnya pun mengikutinya. Lama-lama, pengikutnya semakin bertambah banyak. Kampung demi kampung seluruhnya mengikuti ajarannya, hingga posisinya semakin kuat dan ditakuti oleh para penduduk pedalaman.

Baca Juga:  Inilah Perbedaan Walisongo dan Walinya Muhammad ibn Abdul Wahab

Muhammad bin Abdul Wahab mendoktrin mereka dengan ucapan “Sesungguhnya aku menyeru kalian kepada Tauhid dan meninggalkan SYirik kepada Allah”, namun, apa yang dia ucapkan itu hanyalah tipu daya terhadap para pengikutnya itu, sementara mereka adalah orang-orang pedalaman yang paling bodoh dan sama sekali awam soal agama.

Oleh karena itu, mereka menyambut seruannya dengan baik. Kepada orang-orang pandir itu dia mengatakan “Sesungguhya aku menyeru kalian kepada agama yang benar. Seluruh manusia yang ada di kolong tujuh lapis langit ini Musyrik total. Barang siapa membunuh orang yang musyrik, dia akan mendapat surga.”

Para penduduk pedalaman yang bodoh itu pun megikutinya dan termakan omongannya. Bagi mereka, Muhammad bin Abdul Wahab laksana seorang nabi di tengah Umatnya. Mereka tidak meninggalkan sedikit pun apa yang dia perintahkan dan tidak melakukan apa pun kecuali atas perintahnya.

Mereka begitu mengagung-agungkannya. Jika membunuh sesorang, mereka akan mengambil hartanya dan memberikan seperlimanya untuk sang Amir, Muhammad bin Sa’ud. Sementara sisanya, dibagi-bagi di antara mereka. Mereka mengikuti ke mana pun sang “nabi” pergi dan menuruti apa pun yang dia kehendaki. Sementara itu, sang amir, Muhammad bin Sa’ud, memenuhi segala yang dia fatwakan sehingga kekuasaannya semakin melebar.

Sebelum kekuasaan mereka benar-benar melebar, dan sebelum kejahatan-kejahatan mereka begitu merajalela, kelompok Wahabi ini pernah berniat untuk melaksanakan ibadah Haji di negeri yang saat itu dipimpin oleh asy-syarif Mas’ud bin Sa’id bin Sa’d bin Zaid. Dia menjadi amir Mekah pada tahun 1146 H dan meninggal pada tahun 1165 H.

Mereka mengajukan izin kepada Asy-Syarif Mas’ud untuk melaksanakan ibadah haji di tanah mekah, tetapi sebenarnya mereka memiliki agenda terselubung, yaitu menyebarkan akidah mereka dan mengajak penduduk Haramain (Mekah dan Madinah) untuk mengikuti akidah tersebut. Sebelum itu, mereka mengirimkan 30 ulama dari kalangan mereka yang dianggap mampu merusak akidah penduduk haramain serta menyebarkan kebohongan dan dusta kepada mereka.

Wahabi bersikukuh meminta izin untuk melaksanakan ibadah haji, meskipun harus membayar sejumlah biaya yang ditetapkan kepada mereka setiap tahun. Ketika itu, penduduk haramain telah mendengar berita tentang kemunculan orang-orang wahabi ini di Najd, dan kiprah mereka dalam merusak akidah para penduduk pedalaman, namun belum perenah mengetahui merekas langsung.

Oleh sebab itu, ketika para ulama mereka itu sampai di Tanah Mekah, asy-syarif Mas’ud memerintahkan para Ulama Haramain untuk mengadakan perdebatan dengan Ulama-ulama wahabi ini. Ketika perdebatan terjadi, ulama-ulama Haramain mendapati mereka tak lain hanyalah lelucon dan bahan olok-olok layaknya keledai yang lari tunggang-langgang dari singa.

Baca Juga:  Umat Islam Wajib Waspada! Pengikut Wahabi Berkedok Ahlussunnah Waljamaah Mulai Marak

Ketika pada ulama Haramain mengamati dengan seksama akidah mereka, ternyata akidah itu dipenuhi berbagai perkara yang cukup untuk menjadikan mereka kafir (mukaffirat). Setelah berbaga argumentasi dan dalil disampaikan kepada mereka, sang amir Asy-syarif Mas’ud memerintahkan hakim syariat untuk menulis surat terbuka yang menjelaskan alasan bahwa ulama wahabi ini telah yata-nyata kafir. Hal itu dilakukan agar kekufuran mereka itu diketahui semua orang di masa kini dan yang akan datang.

Sang AMir juga memerintahkan untuk memenjarakan orang-orang yang menyimpang dan hina itu, mengikat mereka dengan rantai dan membelenggu mereka. Sebagian dari mereka berhasil ditangkap dan dipenjara, namun sebagian lain berhasil melarikan diri ke Dar’iyyah. Di sana mereka memberitahukan apa yang mereka alami kepaada amir mereka. Mendengar hal itu, sang amir bersikap angkuh dan menyombongkan diri. Dia terpaksa harus menunda untuk melancarkan rencana terselubungnya itu hingga pemerintahan as-Syarif Mas’ud berakhir dan beliau wafat tepatnya pada tahun 1165 H.

Ketika asy-syarif Musa’id bin Sa’id, adik asy-syarif Mas’ud, mengambil alih tampuk kepemimpinan Mekah, kelompok Wahabi itu kembali meminta izin untuk melaksanakan ibadah haji. Namun, sang Amir baru ini juga meolak permintaan izin itu sehingga mereka pun semakin patah harapan.

Pada saat pemerintahan asy-syarif Musa’id berakhir dengan wafatnya beliau pada tahun 1184 H, tampuk pemerintahan Mekah diambil alih oleh saudaranya, asy-syarif Ahmad bin Sa’id. Saat itulah, amir kawasan Dar’iyyah (wahabi) mengirimkan sejumlah ulama mereka ke Mekah. Maka, asy-syarif Ahmad bin Sa’id memerintahkan ulama-ulama Mekah untuk menguji akidah Ulama-ulama wahabi ini. Setelah diuji, diketahui bahwa mereka tidaklah beragama melainkan dengan agama kaum zindik. Sang amir pun menolak permohonan izin mereka.

Tahun 1186, asy-syarif Ahmad dikudeta oleh asy-syarif Surur bin Musa’id dari kekuasaannya. Asy-syarif Surur tak lain adalah keponakannya sendiri. Pada masa pemerintahan asy-syarif Surur ini, orang-orang wahabi kembali mengajukan izin untuk melaksanakan ibadah Haji. Sang Amir menjawab “Jika kalian menginginkan itu, maka aku akan mengambil pungutan dari kalian sebagaimana yang kalian ambil dari kelompok Rafidhoh dan orang-orang asing. Selain itu, kalian masih harus memberikan 100 ekor kuda yang paling bagus”. Persyaratan itu terlampau berat untuk mereka penuhi.

Baca Juga:  Kisah Rasulullah dan Kaum Muslimin Hijrah ke Negeri Habasyah (Ethiopia)

Tatkala asy-syarif Surur meninggal pada tahun 1202 H, dan tampuk kekuasaan Mekah dipegang oleh saudaranya asy-Syarif Galib, mereka lagi-lagi mengajukan izin untuk melaksanakan Ibadah Haji. Namun, setali tiga uang dengan para pendahulunya, sang amir yang baru itu menolak permintaan izin mereka. Bahkan, asy-syarif Ghalib mengancam untuk menghadang dan melawan mereka. Dia menyiapkan pasukan untuk menghadang kau Wahabi itu mulai tahun 1205 hingga 1220 H. Mereka baru bisa memasuki mekah setelah kekuatan asy-syarif Ghalib melemah.

Tetapi sebelum itu, terjadi berbagai peperangan yang terlalu banyak untuk disebutkan di sini antara pasukan asy-syarif Ghalib dan golongan Wahabi.

Saat itulah, kekuasaan mereka semakin melebar. Kejahatan mereka merajalela. Mereka menguasai jazirah-jazirah arab, dimulai dari kawasan Masyriq, lalu daerah al-Ahsa, kemudian Bahrain, Omman, hingga Muscat (ibukota Oman sekarang). Kekuasaan mereka juga merambah hingga ke Baghdad dan Basrah, hingga menguasai keseluruhan tanah Harar, lalu Khuyuf Dzawatu Nakhl, Harbiyyah, Fara’, hingga Juhainah.

Mereka juga menguasai wilayah antara Madinah dan Syam, hingga mendekati negeri Syam, Halab, dan Bagdad juga mereka tundukkan, bahkan mereka juga berhasil merebut dua kota suci, Mekah dan Madinah. Sebelum menguasai Mekah, mereka terlebih dahulu menundukkan kabilah-kabilah yang tinggal di sekitar kota itu. Strategi yang sama juga mereka terapkan sebelum menguasai Thaif. Mereka terlbeih dahulu mnguasai kabilah-kabilah di sekitarnya.

Ketika Thaif telah berhasil mereka kuasai pada bulan Dzulqa’dah tahun 1217 H, dengan buas mereka membunuh orang-orang tua maupun muda, rakyat jelata maupun penguasa. Tak ada yang selamat dari kekejaman mereka itu kecuali yang diberi umur panjang. Mereka membunuh bayi yang sedang digendong ibunya, merampas harta orang lain, menculik para wanita, dan berbagai tindakan keji lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan disini.

Sumber:
Buku Menolak Mazhab Wahabi
Terjemahan Kitab Ad-Durar as-Saniyyah fii ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah
Karya Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *