Pecihitam.org – Mariah Al-Qibtiyah merupakan satu diantara Ummahatul mau’minin. Nama lengkap adalah Mariah binti Syama’un, berasal dari suku Qibti di Mesir.
Mariah dilahirkan di Mesir yang waktu itu notabene pemduduknya merupakan pemeluk agama Nashrani. Ia awalnya adalah budak Muqawis.
Saat itu yang memegang tampuk kekuasan Mesir adalah orang-orang Nashrani. Muqawis sendiri termasuk orang yang musyrik, menyekutukan Allah SWT.
Karena itulah, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengirim surat kepada Muqawis melalui Hatib bin Abi Baltaah.
Dikisahkan bahwa Pada tahun 6H (627 – 628 M), Nabi Muhammad menulis surat kepada para penguasa Timur Tengah yang membahas ajaran Islam dan mengajak mereka untuk bergabung.
Isi dari sebagian surat-surat itu tertulis dalam kitab Tarikh Ath-Thabari karya Muhammad bin Jarir Ath-Thabari yang diriwayatkan 250 tahun setelah peristiwa tersebut.
Dalam kitab tersebut ditulis bahwa seorang utusan dikirimkan kepada penguasa Mesir, Al-Muqawis yang bernama Habib bin Baltaah. Dalam surat tersebut, Nabi menyeru agar Muqawis bisa bergabung dan memeluk agama Islam.
Tapi apa yang terjadi? Datangnya Hatib disambut oleh Muqawis dengan sambutan yang tidak nyaman. Sontak saja ia menolak ajakan itu dan tidak mau mengikuti risalah yang disampaikan oleh Hatib untuk memeluk Agama Islam.
Justru Muqawis malah mengirimkan Mariyah bersama saudaranya yang bernama Sirin dan seorang budak bernama Maburi serta menghadiahkan hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah.
Sebelum sampai menuju Yastrib dari Mesir, di tengah -tengah perjalanan, Hatib merasa sedih melihat Mariyah, Sirin dan Maburi. Mereka sepertinya merasa sedih karena harus meninggalkan kampung halaman.
Dengan rasa kasihan melihat kesedihan mereka, Hatib berusaha menghibur sembari menceritakan tentang kemulian Rasulullah dan agama Islam sebagai agama yang benar. Agar mereka tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Usaha itupun membuakan hasil yang baik. Mereka sangat bahagia atas cerita yang Hatib utarakan.
Tidak lama dari itu, lalu Hatib mengajak mereka untuk bersyahadat, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT. Kemudian mereka menerima ajakan tersebut dan akhirnya mereka memeluk agama Islam.
Sesampainya di Madinah, Rasulullah telah menerima kabar terlebih dahulu bahwa Muqawis akan menolak ajakan tersebut akan tetapi Nabi merasa takjub atas pemberian dari Muqawis.
Sehingga dengan demikian Mariyah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Hal itulah yang membuat Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu karena ada wanita Mesir yang cantik seakan-akan istri-istri yang lain merasa tersaingi.
Dengan rasa khawatir, lalu Rasul menitipkan Mariah Al-Qibtiyah di rumah Haritsah bin Nu’man agar istri-istri beliau tidak ada yang tersakiti. Sedangkan Sirin dan Maburi dititipkan kepada penyair muslim yang bernama Hasan bin Tsabit.
Singakat cerita. Setelah Mariyah dimerdekan dari budak oleh Nabi Muhammad, lalu dinikahi oleh Nabi.
Sekian lama Mariah mendampingi Rasullullah di Madinah, ia dikabarkan sedang hamil. Mendengar kabar itu, Rasulullah gembira atas kehamilannya. Baginda Rasul pun menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati.
Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim dengan tujuan memperoleh barokah dari nama bapak para nabi, Ibrahim. Dan kaum muslimin pun menyambut kelahiran putra Rasulullah dengan gembira.
Pada saat berusia sembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan Mariah dan Nabi Muhammad. Mariah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah.
Waktu Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari di hadapan Ibrahim putranya, air mata beliau telah bercucuran. Kemudian Nabi Muhammad kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim, Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah”
Begitulah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya.
Walaupun demikian cobaan yang beliau derita tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar.
Lalu Rasulullah mengurus sendiri jenazah anaknya dan kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Begitulah kisah Mariah Al-Qibtiyah satu-satunya istri nabi yang bisa memberikan keturunan selain Siti Khadijah. Jadi begitulah, hingga ia membuat “cemburu” ummahatul mu’minin lainnya. Walaupun kemudian putranya yang bernama Ibrahim itu meninggal ketika masih bayi.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, Mariah tidak pernah menikah lagi dan ia wafat lima tahun kemudian setelah Nabi Muhammad SAW.