Memberi Nama Janin yang Keguguran, Bagaimana Hukumnya?

Memberi Nama Janin yang Keguguran, Bagaimana Hukumnya

Pecihitam.org – Siapa sih yang tidak merasa bersedih jika janin yang sangat dinantikan kehadirannya ternyata meninggal. Entah itu ia meninggal saat masih di dalam kandungan atau ia meninggal setelah keluar dari kandungan ibunya. Tentunya, setiap pasangan akan sangat merasa sedih, akan tetapi mau bagaimana lagi jika itu sudah ketentuan-Nya, maka pastinya sabar dan mengharap pahala dari Allah SWT adalah cara terbaik untuk menghadapinya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah ketika si janin meninggal, apakah ia tetap boleh diberi nama? Bagaimana hukumnya memberi nama janin yang keguguran?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terkait dengan memberi nama janin yang keguguran, ternyata para ulama kita telah membahasnya sejak dahulu. Meski tentunya terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara mereka. Namun, untuk menjawab hal ini kita bagi dua pendapat tersebut, yaitu;

1. Saat Keluar, Janin Masih Hidup Kemudian Meninggal

Apabila janin sudah keluar, dan sudah mempunyai tanda kehidupannya misal bernafas, merengek atau menangis maka para ulama sepakat bahwa janin itu telah menjadi bayi atau manusia pada umumnya.

Maka dalam hal ini, semua ulama sepakat bahwa bayi yang sudah keluar dalam kondisi hidup, lalu kemudian meninggal itu boleh diberi nama. Karena bayi tersebut telah memiliki ruh dan telah menjadi manusia.

2. Jika Saat Keluar Sang Bayi Sudah Meninggal

Janin yang sudah meninggal terlebih dahulu sebelum ia keluar dari rahim ibunya disebut dengan as-siqthu (السقط). Ibnu Manzur menjelaskan:

السَّقْطُ، بِالْفَتْحِ وَالضَّمِّ والكسرِ، والكسرُ أَكثر: الْوَلَدُ الَّذِي يَسْقُطُ مِنْ بَطْنِ أُمه قَبْلَ تَمامِه. (لسان العرب، 7/ 316)

“As-siqthu; dengan fathahnya sin dan dhammah atau kasrah. Adapun dengan kasrah itu yang paling banyak yaitu anak yang keluar dari perut ibunya sebelum sempurnanya.

Terkait hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama berkenaan dengan apakah boleh diberi nama atau tidak. Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki; apabila keluar dari perut ibunya dan tidak terdapat tanda kehidupan seperti menangis atau berteriak maka tak diberi nama.

Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali, walaupun telah meninggal sejak di dalam kandungan, selama janin tersebut telah berbentuk manusia atau ditiupkan ruh, maka tetap diberi nama. Kecuali bila masih berupa segumpal darah atau segumpal daging, maka tentunya ia belum dapat disebut anak. Walaupun menurut madzhab Hanafi dan Maliki, tidak diberi nama namun bukan berarti dilarang untuk diberi nama.

Baca Juga:  Parenting Islami: Hukum KB dalam Sudut Pandang Agama Islam

Menurut pendapat madzhab Hanafi, tidak usah diberi nama apabila telah keluar dari rahim dalam keadaan meninggal. Bayi diberi nama hanya saat terdapat tanda kehidupan setelah ia keluar dari rahim. Sebagaimana dijelaskan di dalam kitab Badai’ as-Shanai:

رُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ قَالَ: إذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ سُمِّيَ وَغُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَوَرِثَ وَوُرِثَ عَنْهُ، وَإِذَا لَمْ يَسْتَهِلَّ لَمْ يُسَمَّ وَلَمْ يُغَسَّلْ وَلَمْ يَرِثْ. وَعَنْ مُحَمَّدٍ أَيْضًا أَنَّهُ لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُسَمَّى وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَهَكَذَا ذَكَرَ الْكَرْخِيُّ وَرُوِيَ عَنْ أَبِي يُوسُفَ أَنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُسَمَّى وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَكَذَا ذَكَرَ الطَّحَاوِيُّ. (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع (1/ 302)

Diriwayatkan dari Abu Hanifah beliau berkata: Saat bayi berteriak sesudah dilahirkan maka diberi nama, dimandikan, dishalatkan, mewarisi dan diwarisi. Apabila belum berteriak maka tidak diberi nama… (al-Kasani, Badai’ as-Shanai’, 1/ 302).

Salah seorang ulama madzhab Hanafi yang bernama Alauddin as-Samarqandi (w. 540 H); menjelaskan bahwa tanda bayi dianggap masih hidup saat keluar dari rahim ibunya ialah saat ia berteriak atau menangis. Maka bila keluar telah meninggal, itu belum dianggap sebagai bayi.

وَلَا يصلى على من ولد مَيتا لما رُوِيَ عَن النَّبِي عَلَيْهِ السَّلَام أَنه قَالَ إِذا اسْتهلّ الْمَوْلُود صلي عَلَيْهِ وَمن لم يستهل لم يصل عَلَيْهِ لِأَن الاستهلال دلَالَة الْحَيَاة وَالْمَيِّت فِي عرف النَّاس من زَالَت حَيَاته لَا يعلم أَنه خلقت الْحَيَاة فِيهِ أم لَا فَلم يعلم بِمَوْتِهِ وَلِهَذَا قُلْنَا إِنَّه لَا يَرث وَلَا يُورث وَلَا يغسل وَلَا يُسمى لِأَن هَذِه أَحْكَام الْأَحْيَاء وَلم تثبت حَيَاته. (تحفة الفقهاء، محمد بن أحمد بن أبي أحمد، أبو بكر علاء الدين السمرقندي (المتوفى: نحو 540هـ)، 1/ 248)

Baca Juga:  Di Zaman Modern Ini, Apakah Madzhab-Madzhab Fiqh Itu Masih Relevan?

… Seorang disebut mati bila diketahui telah pernah hidup. Maka bayi yang lahir dalam keadaan tidak bernyawa itu tidak mewarisi, diwarisi, dimandikan, diberi nama. Karena hukum itu berlaku untuk manusia yang diketahui hidupnya. (as-Samarqandi, Tuhfat al-Fuqaha’: 1/ 248)

Terkait pendapat dari Madzhab Maliki yang memiliki pendapat yang sama dengan madzhab Hanafi yang tidak memberi nama kepada janin yang keguguran (saat lahir tidak dalam kondisi masih hidup. Berikut pernyataan dari Imam Malik bin Anas:

وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُصَلَّى عَلَى الصَّبِيِّ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ، وَلَا يُسَمَّى وَلَا يُغَسَّلُ وَلَا يُحَنَّطُ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ خَرَجَ مَيِّتًا (المدونة، 1/ 255)

Malik berkata: Bayi tersebut tidak dishalatkan, tidak mewarisi dan diwarisi, tidak diberi nama, tidak dimandikan selama tidak berteriak atau menangis. Sebab bayi itu dianggap mati sebelum keluar dari rahim (Malik bin Anas, al-Mudawwanah: 1/ 255).

Sedangkan bagi madzhab Syafi’i disebutkan bahwa as-siqthu atau janin yang keluar telah dalam kondisi meninggal tetaplah sunnah untuk diberi nama. Imam an-Nawawi mengemukakan:

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَ أَصْحَابِنَا اسْتِحْبَابُ تَسْمِيَةِ السَّقْطِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَقَتَادَةُ وَالْأَوْزَاعِيُّ. وَقَالَ مَالِكٌ لَا يُسَمَّى مَا لَمْ يَسْتَهِلَّ صَارِخًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ (المجموع شرح المهذب (8/ 448)

Madzhab kita hukumnya sunnah memberi nama bagi janin yang keluar walaupun telah meninggal. Ini adalah pendapat dari Ibnu Sirin, Qatadah, al-Auza’i… (an-Nawawi, al-Majmu’: 8/ 448).

Lalu pertanyaannya kemudian, bagaimana jika janin tersebut tidak diketahui jenis kelaminnya? Diberi nama anak laki-laki atau anak perempuan? Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa ia tetap diberi nama yang bisa untuk keduanya yaitu laki-laki dan perempuan. Seperti Hamzah, Thalhah, Hindun, dll.

تُسَنُّ تَسْمِيَةُ سَقْطٍ نُفِخَتْ فِيهِ الرُّوحُ فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ أَذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى سُمِّيَ بِمَا يَصْلُحُ لَهُمَا كَهِنْدٍ وَطَلْحَةَ. (تحفة المحتاج في شرح المنهاج، 9/ 373)

Artinya: Disunnahkan memberi nama as-siqthu yang sudah ditiupkan ruh walaupun keluar dari rahim ibunya dalam keadaan meninggal. Walaupun tidak diketahui laki-laki atau perempuan. Diberi nama yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan seperti Hamzah, Thalhah, Hindun. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj, 9/ 373).

Baca Juga:  Hukum Bangkai Hewan yang Darahnya Tidak Mengalir, Najis atau Tidak?

Walaupun di dalam mazhab Syafi’i pula, jika ia masih berupa segumpal darah atau daging maka belum dapat disebut sebagai as-siqthu. Artinya adalah apabila masih berupa segumpal darah atau segumpal daging itu tidak disunnahkan untuk diberi nama, meski juga tidak dilarang. Sebagaimana pernyataan dari Imam an-Nawawi al-Jawiy (w. 1316 H):

وَخرج بِالسقطِ الْعلقَة والمضغة لِأَنَّهُمَا لَا يسميان ولدا. (نهاية الزين، محمد بن عمر نووي الجاوي البنتني إقليما، التناري بلدا (المتوفى: 1316هـ) ص: 156)

Tidaklah disebut as-siqthu apabila masih berupa segumpal darah atau daging. Karena belum disebut sebagai anak manusia. (an-Nawawi al-Jawiy, Nihayat az-Zain: 156).

Adapun dari kalangan Madzhab Hanbali berpendapat serupa dengan madzhab Syafi’i, sebagaimana perkataan dari Ibnu Qudamah:

(فصل) ويستحب أن يسمى السقط لأنه يروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “سموا أسقاطكم فإنهم أسلافكم” رواه ابن السماك باسناده (الشرح الكبير على متن المقنع (2/ 337)

Pasal: Disunnahkan memberi nama as-siqthu atau bayi yang lahir dalam kondisi meninggal. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits: Berilah nama as-siqthu kalian, karena mereka adalah orang yang telah mendahului kalian. (Ibnu Qudamah, as-Syarh al-Kabir: 2/ 337).

Walaupun hadits yang dijadikan sandaran oleh Ibnu Qudamah tersebut dianggap lemah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikhnya. Sebagaimana pernyataan dari Alauddin dalam kitabnya Kanzul Ummal: 16/ 423.

Demikian ragam pendapat ulama tentang persoalan memberi nama bagi janin yang Keguguran. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishshawab

M Resky S