Mengenal Gagasan Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abid Al-Jabiri

Muhammad Abid Al-Jabiri

Pecihitam.org – Nama lengkapnya adalah Muhammad Abid al-Jabiri, lahir di kota Fejij, Maroko Tenggara pada tahun 1935. Ia adalah salah satu tokoh pembaharu Muslim yang paling banyak memberikan pengaruh dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer, khususnya terkait dengan pembaharuan nalar-Arab-Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan pemikir Islam kontemporer yang mampu memberikan nuansa nalar kritis terhadap perkembangan tradisi dan modernitas.

Persoalan tradisi dan modernitas, keduanya saling mempertahankan identitasnya bahkan ideologinya, sehingga perkembangan dunia Islam Arab mengalami ambiguitas.

Di dunia Islam sebenarnya kaya tradisi sebagaimana masyarakat Barat dengan kaya modernitas. Sedangkan tradisi adalah sesuatu yang lahir dari masa lalu, di mana masa lalu itu, bisa jauh atau dekat dan ada dalam ruang dan waktu.

Terlepas dari itu semua, jika melihat awal mula karir intelektualnya, Muhammad Abid al-Jabiri memulainya tatkala ia mengajar filsafat di Sekolah Menengah Atas dan menjabat di bidang evaluasi dan perencanaan pendidikan. Ia termasuk salah seorang dari tim perencanaan pembuatan naskah untuk pelajaran filsafat dan pemikiran.

Dewasa ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menempatkan negara Arab dalam kondisi terbelakang, al-Jabiri telah memberikan angin segar untuk kebangkitan Arab dan Islam.

Seruannya untuk memahami kembali al-Qur’an dan Hadits Nabi dalam konteks kekinian memberikannya tempat yang khusus bagi pemikir dan mahasiswa yang belajar Islam pada era sekarang.

Dalam studi tentang turats (tradisi) Arab, nama Muhammad Abid al-Jabiri dan sejumlah karya-karyanya tidaklah asing bukan saja di negerinya sendiri, Maroko, melainkan di dunia Arab dan di dunia Islam pada umumnya. Al-Jabiri memproyeksikan diri dalam proyek pemikiran Arab yang spesifik selain Hasan Hanafi (asal Mesir) dan Muhammad Arkoun (asal Aljazair).

Pemikiran al-Jabiri sendiri tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam di Maroko, baik klasik maupun modern.

Pada masa modern, tepatnya akhir abad ke-19 terjadi penetrasi ekonomi Eropa ke Maroko, sehingga negara ini tumbang dan menyebabkan munculnya protektorat Perancis dan Spanyol yang mengontrol beberapa wilayah tertentu, terutama pada tahun 1912.

Baca Juga:  Gus Mus, Ulama Pertama Raih Penghargaan Yap Thiam Hien

Protektorat ini muncul berdasarkan perjanjian Fez yang ditandatangani oleh pemerintah Perancis dan Sultan Maroko, Maulawi Abd al-Hafiz. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Perancis berhak bertindak atas nama Maroko.

Selanjutnya, penguasa Perancis mengontrol, mengintimidasi, mengambil lahan pertanian dan memaksa rakyat untuk membayar pajak. Semua penguasa seperti Sultan dan Qadi berada di bawah kekuasaannya.

Karena pengaruh kekuasaan Perancis terhadap Maroko, maka kebudayaan, pemikiran, dan bahasa Perancis sangat mewarnai peradaban di negeri ini. Sebagai bagian dari Negeri Maghribi selain Aljazair dan Tunisia, Maroko dengan demikian memiliki ciri pemikiran filsafat yang tidak jauh dari tradisi filsafat yang berkembang di Perancis.

Dalam tradisi strukturalisme, bahasa dapat menentukan bentuk, ukuran, dan kandungan pemikiran seseorang. Al-Jabiri dengan demikian adalah produk pemikir yang lahir dari kebudayaan dan model pemikiran filsafat Perancis.

Menurut Ahmad Baso, sebagaimana dikutip oleh Ro’uf (2018), para pemikir post-modernisme dan post-strukturalisme Perancis banyak mempengaruhi jalan pikiran al-Jabiri. Misalnya, dari Foucault ia mengambil konsep tentang kritik nalar (arkeologi) dan kritik nalar politik (genealogi) yang kemudian oleh al-Jabiri diterapkan sebagai satu bentuk naqd (kritik).

Dari Claude Levi-Strauss dan Lalande, Muhammad Abid al-Jabiri mengenal satu pengertian al-‘Aql. Dan dari Althusser, al-Jabiri mengadopsi ‘cara membaca’ terhadap turats.

Perkenalan al-Jabiri dengan tradisi pemikiran Perancis bermula sejak ia masih kuliah di Universitas Rabat, Maroko. Sejak itu ia sudah akrab dengan pemikiran dan pendekatan Marxisme. Meski demikian, al-Jabiri melakukan seleksi yang ketat ketika menggunakan pendekatan Marxis dalam melihat teks-teks agama.

Menurut Assyaukanie (1998), kebanyakan para pemikir dekonstruksionis Arab datang dari Maghribi, yakni Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libia. Tampaknya unsur bahasa Perancis warisan kolonialisme yang tersisa di negeri-negeri tersebut menyebabkan kalangan akademisinya lebih menyerap literatur berbahasa Perancis, dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa lainnya.

Bahkan, hampir seluruh pemikir Muslim Maghribi yang concern terhadap kajian keislaman dan kearaban adalah para penganut paham strukturalisme, itu disebabkan problem yang mereka hadapi kebetulan sama, yaitu masalah pembacaan atas tradisi, baik yang berbentuk teks maupun realitas.

Baca Juga:  Bung Karno, Kader Muhammadiyah yang Mencintai NU

Al-Jabiri sendiri menempatkan dirinya sebagai pemikir filsafat keagamaan yang berkonsentrasi pada masalah epistemologi. Dalam soal ini, ia banyak mengulas soal model epistemologi bayani, irfani, dan burhani. Dua pemikir besar yang mempengaruhi pemikiran epistemologinya adalah Gaston Bachelard (1884-1962) dan Luis Altusser (1918-1990). Dalam kerangka pemikiran dua filosof tersebut, al-Jabiri kemudian mengadopsinya untuk membaca sejarah dan kebudayaan dalam struktur turats Arab.

Bagi al-Jabiri (2000), Turats atau tradisi bukanlah produk sekali jadi; tradisi adalah problem historis yang bergolak antara satu sama lain, saling mengisi, saling mengkritisi, saling mengeliminir, dan bahkan bisa saling menjatuhkan.

Karena sebuah tradisi, apalagi yang bernama tradisi Islam, adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kita”, ia adalah sesuatu yang berafiliasi ke masa lalu dan menjadi sebuah ingatan yang melahirkan mekanisme berpikir atas memori yang ada.

Persoalan keagamaan yang muncul di tengah masyarakat Arab dan dalam menyikapi turats yang mereka miliki, dan di antara riuh-rendah perdebatannya, yang mungkin banyak menemuni jalan buntu, mendorong al-Jabiri untuk memasarkan gagasan-gagasan yang dimiliknya dengan menggeserkan perhatiannya untuk mempublikasikan sejumlah karya-karyanya.

Muhammad Abid Al-Jabiri menawarkan suatu ajakan untuk dapat memikirkan secara kritis apa yang dianggap sebagai “rujukan” dan “cara merujuknya”.

Ia menjelaskan bahwa apa yang dibutuhkan saat ini adalah suatu kombinasi antara “kritik atas masa lalu” agar terhindar dari manipulasi sejarah untuk kepentingan sekarang, dan adanya “kritik masa kini” agar tidak muncul upaya penegasan identitas dan ideologi dalam berhadapan dengan konsep-konsep Barat yang dianggap asing tersebut.

Sementara itu, jika melacak pada karakter pemikiran al-Jabiri, khususnya jika melihat karya-karyanya, pemikiran al-Jabiri tidak lepas dari kecenderungan dan kecintaannya pada para pemikir Maghribi seperti Ibn Massarah (883-931), Ibn Hazm (994-1064), Ibn Bajjah (1095-1138), Ibn Rusyd (1128-1198), al-Shatibi (w. 1388), dan Ibn Khaldun (1332-1406).

Apresiasi al-Jabiri terhadap Ibn Hazm misalnya karena Ibn Hazm dianggap telah berhasil melakukan rekonstruksi terhadap metode bayani dengan memberikan landasan burhani serta membuang seluruh pengaruh irfani dari Syiah maupun tasawuf. Yang dimaksud dengan landasan burhani adalah metode penalaran Aristoteles beserta segenap pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya.

Baca Juga:  Belajar dari Kisah Ibnu Hajar Al Asqalani

Begitu juga dengan pemikiran Ibn Rusyid, al-Shatibi, dan Ibn Khaldun. Semuanya diapresiasi karena menyandarkan epistemologinya pada nalar burhani. Al-Jabiri (1991: 179) mengatakan bahwa para tokoh tersebut telah berhasil membangun sebuah tradisi nalar kritis yang ditegaskan di atas struktur berpikir demonstratif, yakni struktur berpikir yang kemudian dikenal dengan epistemologi burhani.

Dalam konteks tradisi pemikiran Islam kontemporer, al-Jabiri juga memiliki banyak kesamaan pemikiran dengan para pemikir Islam mutakhir dalam hal ide-ide kritik pemikiran keagamaan. Untuk menyebut beberapa nama saja, seperti Halim Barakat, Hisham Sharabi dengan teori Neopatriarchy-nya, Hasan Hanafi dengan proyek al-Turats wa al-Tajdid-nya, yang keduanya merupakan sebuah kritik atas struktur masyarakat Arab dan pola pikirnya, begitu juga dengan Nasr Hamid Abu Zayd, Adonis, dan pemikir kontemporer lainnya.

Namun demikian, yang membedakan al-Jabiri dengan para pemikir kontemporer lainnya adalah jalur yang dipilih: masalah epistemologi Arab-Islam, atau lebih tepatnya kritik epistemologi. Karena baginya, metodologi hanyalah refleksi eksternal dari bangunan epistemologi itu sendiri.

Secara garis besar, Muhammad Abid al-Jabiri membuat hipotesa tentang hambatan atas kebangkitan Arab-Islam, menurutnya disebabkan oleh setidaknya dua faktor.

Pertama, adanya pembelaan terhadap tradisi tanpa kritik yang berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam. Kedua, di sini, tradisi mengukuhkan otoritasnya sehingga menimbulkan wacana yang semakin jauh dari realitas.

Titik tolak pemikiran bukan berasal dari realitas tetapi memori yang diadopsi dari tradisi sehingga realitas kontemporer dibaca dari perspektif tradisi.

Akibatnya alam pikiran generasi sekarang diarahkan oleh metode, konsep dan pikiran para pendahulu dan turut terbawa serta terlibat dalam konflik dan persoalan-persoalan mereka.

Rohmatul Izad