Peranan Mr. Hempher Terhadap Gerakan Muhammad bin Abdul Wahab (Bag 10)

mr hempher

Pecihitam.org – Kini Mr. Hempher sudah berkenalan dengan Muhammad ibn Abdulwahab yang menurutnya sebagai pemuda yang sangat tidak fanatik terhadap golongan tertentu, dan juga sangat gencar menentang pemerintahan khalifah Ustmaniyah. Pemuda seperti inilah yang bisa dimamfaatkan oleh colonial untuk memecah belah Islam dari dalam. Mr. hempher melanjutkan kisahnya selepas pertemuannya dengan Muhammad Ibn Abdulwahab.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Adapun riwayat 4 mazhab, ialah bahwa muncul sebuah jalan dari kaum muslimin sesudah lebih dari satu abad setelah nabi mereka wafat, dengan lahirnya mereka empat ulama. Mereka adalah Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, Malik dan Muhammad bin Idris (imam Syafi’i). Sebagian khalifah mewajibkan agar kaum muslim bertaqlid (mengikuti) salah satu dari empat orang imam.

Bahwa tiada seorang alim yang berijtihad di dalam al-qur’an dan sunnah dan pandangan ini pada hakikatnya menutup pintu pemahaman mereka dan bahwa pengharaman  ijtihad akan menjumudkan kaum muslimin. Adapun kaum Syi’ah menggunakan peluang itu dengan mengembangkan mazhab (pemikiran) mereka seluas mungkin.

Sehingga setelah jumlah kaum syi’ah tidak mencapai angka sepuluh dari jumlah ahlussunnah, kini jumlah mereka lebih banyak dan menyamai jumlah mereka (sunni). Hal yang alami bahwa ijtihad merupakan perkembangan Islam di bidang fikih dan memperluas pemahaman al-qur’an dan sunnah sesuai kebutuhan zaman seperti senjata canggih. Dan sebaliknya pembatasan mazhab dalam metode yang khusus dan menutup pintu pemahaman dan pendengaran dari seruan kebutuhan-kebutuhan zaman maka itu ibarat senajata yang lemah.

 Seumpama anda punya senjata yang lemah sedangkan musuh anda bersenjata canggih, maka cepat atau lambat anda pasti berusaha mengalahkan musuh anda! (perkiraanku akan datang segera disuatu masa, orang ahlussunnah yang berakal membuka pintu ijtihad.

Jika tidak maka aku kabarkan kepada Ahlussunnah bahwa mereka akan berlalu pada masa dengan jumlah yang semakin sedikit sedangkan orang Syi’ah akan menjadi lebih banyak disebab mereka tidak menutup pintu ijtihad).

Muhammad Ibn Abdul Wahab, si pemuda angkuh ini mengikuti apa yang dia pahami dalam al-qur’an dan sunnah dan dia membandingkan dengan pandangan syaikh-syaikh (ulama)nya. Ia (Muhammad) tidak mengikuti pandangan ulama  dan mazhab manapun.

Bahkan dia ini menolak pandangan Abu Bakar dan Umar, jika apa yang dia pahami dari qu’ran dan sunnah berbeda dengan yang ia pahami. Ia mengatakan, ” bahwa Rasulullah pernah bersabda “Aku tinggalkan kepada kalian kitab dan sunnah dan beliau tidak bersabda “aku tinggalkan kepada kalian kitab, sunnah, sahabat dan mazhab-mazhab.” Karena yang wajib di ikuti adalah al-qur’an dan sunnah meskipun padangan keduanya berbeda dengan pandangan-pandangan mazhab dan sahabat serta ulama.”

Baca Juga:  Kritik Terhadap Kitab Ensiklopedi Aqidah dan Bid'ah Salafi Wahabi

Begitulah Muhammad Ibn Abdul Wahab berpandangan dengan memandang ulama itu rendah sehingga tidak perlu mengikuti ulama. Pernah suatu ketika Ia dan kami bertamu di rumah salah satu ulama Persia (Abdul Ridha), untuk memenuhi undangan jamuan makan bersama.

Kami yang menjadi para tamunya, Ialah Muhammad Ibn Abdulwahab, Syaikh Jawad al-Qummi (seorang alim Syiah), dan aku bersama sebagian temannya tuan rumah. Pada waktu itu terjadi perdebatan yang seru dan serius antara Muhammad dan Syaikh dan aku tidak ingat semuanya dari perdebatan itu namun yang aku ingat adalah poin-poinnya saja.

Syaikh al-Qummi berkata kepadanya, “Jika anda berfikiran bebas dan berijtihad sebagaimana yang anda nyatakan, kenapa anda tidak mengikuti Ali seperti orang Syi’ah?

Lalu Muhammad menjawab,” Karena Ali seperti Umar dan lainnya yang ucapannya bukan hujjah. Sesunggugnya hanya al-Qur’an dan sunnah-lah yang menjadi hujjah”. Syaikh menimpali, “Bukankah Rasulullah pernah bersabda “Aku kota ilmu dan Ali pintunya (kuncinya)” jika seperti itu Ali tidak sama dengan yang lainnya”.

Muhammad menjawab, “Jika ucapan Ali itu adalah hujjah, mengapa Rasulullah tidak mengatakan Kitabullah dan Ali bin Abu Thalib?” Syaikh menjawab, “Bahkan Nabi bersabda, “Kitabullah dan I’trah ahlul baitku”,

Sementara Ali adalah kepala I’trah (keturunan)! Aku melihat Muhammad tidak menerima bahwa Rasulullah pernah mengatakan seperti itu. Namun Syaikh memberikan jawaban yang memuaskan sehingga Muhammad diam dan tidak menjawab apapun.

Tetapi ia membantahnya, “Jika Rasulullah mengatakan “Kitabullah dan ‘Itrahku” maka di mana sunnahnya?”. Lalu syaikh menjawab, “Sunnah rasul adalah syarahnya kitabullah! Ketika beliau mengatakan “Kitabullah dan ‘Itrahku” yang Syaikh maksud adalah Kitabullah dengan syarahnya yaitu sunnah.” Jawab Syaikh.

Muhammad “kalau begitu, ucapan ‘Itrah juga merupakan syarah bagi Kitabullah! Lalu apa perlunya dengan mereka (karena sudah ada sunnah)?. Syaikh menjawab, “Ketika Rasullah wafat, umat Islam membutuhkan syarah al-Qur’an, sebuah syarah  yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan zaman. Karena itu Rasulullah mengembalikan umat kepada al-Qur’an sebagaimana asl ‘Itrah seperti para pensyarah bagi al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan zaman”.

Aku sangat kagum dengan pembahasan ini. Melihat Muhammad seorang pemuda di hadapan Syaikh yang sudah berumur tua seperti seekor burung kecil yang tidak berkutik dalam genggaman tangan seorang pemburu.

Baca Juga:  Peranan Mr. Hempher Terhadap Gerakan Muhammad bin Abdul Wahab (Bag 2)

Aku menemukan kebingunganku selama ini ada pada dirinya (Muhammad Ibn Abdulwahab), Ia bebas, angkuh dan bersikap keras terhadap para Syaikh (ulama) pada masanya serta kemandirian berfikir yang tidak mengikuti pandangan ulama jika tidak sesuai dengan apa yang dipahaminya dari al-Qur’an dan sunnah termasuk khulafah yang empat.

Inilah titik kelemahan yang paling menonjol yang mana dengan itu aku menjatuhkan dirinya (Muhammad). Jelas pemuda yang sesat ini tidak dapat dibandingkan dengan Syaikh Turky, yang mana aku pernah belajar dengannya sewaktu aku di Turky.

Syaikh (guru ku) adalah figur salaf yang kokoh seperti gunung. Jika Syaikh (ia pengikut mazhab Hanafi) hendak menyebut nama Imam Abu Hanifah, ia akan bangkit dan berwudhu kemudian menyebut nama Abu Hanifah.

Jika ia ingin mengambil kitab al-Bukhari (kitab besar yang amat disucikan umat Islam ahlussunnah), ia mengambil air sembahyang terlebih dahulu. Adapun Muhammad Ibn Abdulwahab sangat mencela Abu Hanifah dan Ia pernah berkata, “sesungguhnya separuh kitab al-Bukhari adalah kebathilan”.

Kini aku telah menjalin hubungan yang erat dengannya (Muhammad). Aku selalu membersarkan hatinya dan aku katakan padanya bahwa dirinya lebih utama daripada Ali dan Umar. Seandainya Rasulullah hadir kembali kedunia ini, maka Ia akan memilihmu sebagai khalifahnya, ” pikirkanlah, bahwa kemajuan Islam ada di tanganmu! Kau adalah penyelamat satu-satunya yang diharapkan oleh islam yang sedang mengalami kemunduran ini”.

Aku telah sepakat dengannya bahwa “kita harus mengkritik penafsiran al-Qur’an berdasarkan jalan pemikiran kita, bukan berdasarkan pandangan sahabat, imam, mazhab serta ulama-ulama. Kita membaca al-Qur’an dan bicara tentang poin-poin darinya (aku bermaksud menjerumuskan Muhammad kedalam perangkap). Dalam hal ini Muhammad menunjukkan bahwa Ia sependapat dengan pandanganku dan menampakkan kepribadiannya yang bebas dan sangat mempercayaiku.

Suatu hari aku berkata padanya, “jihad itu tidak wajib”!. Dia menyergahnya, “bagaimana dengan firman Allah “dan perangilah orang kafir?”. Aku berkata, “Perangilah kafir dan munafiqin”. Jika jihad itu wajib, lalu kenapa Rasulullah tidak memerangi kaum munafik?”. Dia menjawab, “Rasulullah memerangi mereka dnegan lisannya”. Aku menimpali,” kalau begitu jihad melawan kaum kuffar adalah wajib dengan lisan!”.

Ia menjawab, “Tetapi Rasulullah berperang dengan kuffar”. Lalu aku berkata, “Perang Rasullah adalah Difa’ yaitu mempertahankan diri, ketika mereka hendak membunuhnya maka Rasulullah melawan mereka”. Akhirnya Muhammad menganggukkan kepalanya tanda menerima pendapatku.

Pernah suatu ketika aku berkata padanya, ” kawin Mut’ah itu boleh”. Ia menjawab, “tidak!”. Lalu aku berkata, “Allah berfirman, “maka istri-istri yang telah kamu nikmati (Mut’ah) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban (an-nisa’: 24).

Baca Juga:  Saat Ulama Salafi Wahabi Berdusta Atas Nama Imam Abu Hanifah

Lalu dia menjawab, “Tetapi Umar yang mengharamkan mut’ah dengan mengatakan, “Dua mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah dan aku yang mengharamkannya dan menghukum siapa saja yang melanggarnya”. Aku berkata padanya, ” Bukankah engkau pernah bilang ” Aku (Muhammad Ibn Abdul Wahab) lebih tahu dari pada Umar? Jika Umar mengharamkan apa yang dihalalkan Rasul, mengapa dirimu meninggalkan pandangan al-Qur’an dan kau ikuti pandangan Umar?”.

Aku melihat Ia (Muhammad) terdiam tanda puas dengan keteranganku, nampaknya dia sedang mengalami gejolak kebutuhan biologisnya (sementara dia belum punya istri). Aku katakana padanya, “Bukankah kita adalah orang yang bebas (dalam pemikiran) dan mengambil mut’ah dan kita bersenang-senang?”.

Ia menganggukkan kepalanya tanda setuju, dan aku memanfaatkan sikap setujunya atas pendapatku. Kemudian aku menjanjikan seorang wanita untuknya agar di mut’ah olehnya. Keinginanku adalah membuyarkan rasa takutnya dari perselihan antara ia dan orang lain umumnya.

Akhirnya Ia memberikan isyarat bahwa ini rahasia antara aku denganya dan tidak memberitahu namanya kepada perempuan yang akan di mut’ah olehnya (Muhammad). Maka aku langsung pergi ke tempat perempuan-perempuan Nasrani, yang mana mereka adalah antek-antek kementerian kami (Britania Raya) untuk merusak pemuda Muslim.

Kini aku mendapatkan seorang wanita yang aku panggil dengan Shafiyyah, dan aku telah menceritakan kepadanya semua tentang pemuda ini. Pada waktu yang dijanjikan aku pergi bersama Muhammad, ke rumah Shafiyyah yang saat itu sedang sendirian. Aku bacakan akad nikah mut’ah untuk Muhammad dalam waktu seminggu, dengan mahar sekian gram emas secara tunai. Aku senangkan hatinya dari luar sedangkan Shafiyyah dari dalam.            

Setelah Shafiyyah mengambil hatinya dan memberikan manis kemaksiatan yang dilakukan Muhammad Abdul Wahab terhadap syariat dibawah naungan pemikiran dan kemandirian pandangan yang bebas. Tiga hari kemudian aku berbincang dengannya… Bersambung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *