Radikalisme; Faktor Kemunculan dan Sebuah Legitimasi Teks Keagamaan

Radikalisme; Faktor Kemunculan dan Sebuah Legitimasi Teks Keagamaan

PeciHitam.org – Beberapa tahun terakhir, mungkin kita sering mendengar kata radikalisme. Namun pasti ada yang belum mengerti, apa radikalisme itu? Seperti apa? Apa saja faktor penyebabnya? Bagaimana mencegahnya? Nah, pada artikel kali ini, kami akan mencoba mengupasnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kata radikalisme secara bahasa berasal dari kata dasar radix yang artinya akar (pohon). Sedangkan pengertian radikalisme secara istilah, menurut KBBI yaitu paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan social dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Daftar Pembahasan:

Faktor Penyebab Munculnya Radikalisme

Sebenarnya, kelompok atau gerakan radikalisme tidak langsung muncul begitu saja, namun memiliki latar belakang atau faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme. Adapun beberapa faktor penyebab munculnya radikalisme antara lain:

Faktor Sosial-Politik

Jika kita telusuri dalam beberapa kasus, konflik yang ditimbulkan berasal dari masalah sosial politik. Kaum radikalisme dalam hal ini biasanya digunakan sebagai alat kekerasan dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain.

Adapun yang terlihat saat ini, aksi-aksi yang dilakukan dengan membawa bahasa dan simbol tertentu serta slogan-slogan agama, kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan politik yang dianggapnya lebih mulia.

Faktor Emosi Keagamaan

Faktor tersebut merupakan faktor paling dominan dalam radikalisme. Faktor sentimen keagamaan, termasuk aksi solidaritas keagamaan bagi orang yang tertindas oleh kekuatan tertentu.

Meskipun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.

Peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh negara Israel terhadap palestina, biasa dijadikan sebagai pemicu emosi keagamaan. Adanya sikap radikal di kalangan umat Islam terhadap Israel, yakni menginginkan agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat beroperasi dalam hal ekspor impor.

Faktor Kultural

Faktor ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar, menurut Musa Asy’ari di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai.

Radikalisme muncul sebagai anti tesa atau pertentangan terhadap budaya lain yang dianggapnya dapat mengikis budaya setempat. Misalnya sekularisme, dominasi Barat dari bangsa timur atau budaya muslim dan sebagainya. Dengan mendominasinya budaya Barat, dalam hal ini budaya ketimuran dan Islam merasa akan membahayakan keberlangsungan moralitas Islam.

Baca Juga:  Benarkah Khilafah Merupakan Solusi bagi Umat Islam? Baca dulu!

Jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme untuk menentang hal tersebut justru semakin menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.

Faktor Ideologis

Faktor Ideologis yang akhir-akhir ini muncul yaitu anti-Komunisme. Tiongkok sebagai negara berpaham ideologi komunis, segala hal yang terkait dengan Tiongkok dimusuhi dan dianggap membahayakan Muslim. Kemudian muncullah sentimen terhadap warga keturunan Tiongkok (China).

Faktor Kebijakan Pemerintah

Kemudian salah satu pintu gerbang munculnya radikalisme ialah ketidakmampuan pemerintah untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian orang atau kelompok yang disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar.

Dalam hal ini elit-elit pemerintah belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.

Namun akhir-akhir ini, seolah faktor kebijakan pemerintah dalam mewabahnya radikalisme di Indonesia lebih disebabkan karena memanasnya kontestasi politik sejak 2012 lalu, antara kubu terpilih dan yang tumbang. Sehingga apapun kebijakannya, akan selalu ada kontra.

Legitimasi Teks Keagamaan

Kaum radikalisme dalam melakukan perlawanan, sering kali menggunakan legitimasi teks keagamaan sebagai penopangnya. Merebaknya Gerakan ekstrimisme Islam, terjadi hampir di seluruh kawasan Islam, termasuk Indonesia.

Tidak jarang ditemukan juga menggunakan teks-teks keislaman, seperti Al-Quran, hadis dan classical sources– kitab kuning sebagai basis legitimasi teologis.

Salah satu ayat yang biasa digunakan kaum radikalisme, seperti surat at-Taubah ayat 29, berikut:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29)

Ayat tersebut biasa digunakan menjadi dasar atau pelopor bentuk tindak kekerasan dengan dalih menjalankan syari’at, bentuk memerangi kepada orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Denmark dan Swedia: Benarkah Tanpa Kenal Tuhan Hidup Damai Sejahtera?

Bahkan tidak jarang, mereka menafsirkan teks-teks keislaman sekehendak mereka sendiri tanpa memperhatikan  kontekstualisasi dan aspek-aspek historisitas dari teks tersebut. Akibatnya banyak fatwa yang bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan yang universal dan bertentangan dengan misi diturunkannya Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Selain itu, kaum radikalisme juga memang memiliki misi tersendiri yang menginginkan terwujudnya cita-cita berdirinya negara Islam Internasional yang dipimpin oleh seorang khalifah seperti zaman keemasan Islam dulu yang dianggap lebih baik dari system pemerintahan sekarang.

Peran Idiologi Pancasila untuk Membentengi Diri dari Radikalisme

Pancasila merupakan pegangan hidup Bangsa Indonesia yang kini mulai terkikis seiring pesatnya perkembangan Teknologi dan kuatnya arus Informasi di era globalisasi saat ini. Pemerintah juga sekarang ini tengah sibuk terhadap masyarakat yang berpergian ke Syiria terkait ISIS.

Padahal, jika nilai-nilai Pancasila ini diserap baik oleh bangsa Indonesia maka tidak perlu takut terhadap paham-paham Radikalisme seperti ISIS. Sebab Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang bersifat fleksibel terhadap perkembangan zaman namun tetap memiliki ciri khas tersendiri.

Pancasila di era globalisasi merupakansebuah pegangan sekaligus pedoman hidup yang dapat menjadi jawaban atas tantangan baru yang dihadapi bangsa ini. Arus informasi yang semakin cepat sehingga paham-paham dunia barat  sangat mudah diakses oleh masyarakat Indonesia. Liberalisme yang dianut oleh dunia barat kini merambat ke tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai dampak negatif globalisasi.

Ideologi Pancasila sebenarnya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, hanya saja nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak terjiwai oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Sehingga paham liberalis dan radikalis dapat dengan mudahnya menembus pemikiran bangsa ini.

Rentannya para pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita bersama saat ini. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.

Faktor terbesar yang menyebabkan para pemuda terjerumus radikalisme saat ini ialah pengaruh media sosial. Hari ini, media sosial kita diisi dengan konten-konten keislaman yang berbau radikalisme.

Bagi para pemuda yang memang masih belum memiliki dasar keagamaan yang kuat, tentu semua informasi yang didapatkannya tidak melalui penyaringan. Sehingga informasi tersebut hanya diamini begitu saja.

Baca Juga:  Alasan Wiranto yang Jadi Target Kelompok Teroris

Peran penanaman Pendidikan Pancasila bagi para pemuda kiranya akan sangat efektif dilakukan. Sebab jika ia sudah memahami hal tersebut, segala informasi yang bertentangan dengan Pancasila, tentu akan ditolaknya. Karena sejatinya, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, juga secara tidak langsung memancarkan nilai-nilai Islam.

Perspektif Islam tentang Radikalisme

Islam sama sekali tidak membolehkan radikalisme. Karena Islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Islam berasal dari dari kata salam yang berarti selamat, aman, damai. Islam tidak memperkenankan kekerasan sebagai metode menyelesaikan masalah.

Islam menganjurkan agar kita mengajak kepada kebaikan dengan bijak (hikmah), nasihat yang baik (mau’izah hasanah) dan berdialog dengan santun (wajadilhum billati hiya ahsan). Radikalisme, apalagi terorisme, hanya akan membuat Islam jauh dari watak aslinya sebagai agama rahmat, dan bisa membuat kehilangan tujuannya yang hakiki.

Syari’at Islam diturunkan kepada manusia untuk menjaga irama pondasi kehidupan (maqasid asy-syari’ah) yaitu:

Pertama, melindungi keselamatan fisik atau jiwa manusia dari tindakan kekerasan di luar ketentuan hukum (hifz an-nafs).

Kedua, melindungi keyakinan atas suatu agama (hifz ad-din).

Ketiga, menjaga kelangsungan hidup dengan melindungi keturunan atau keluarga (hifz an-nasl).

Keempat, melindungi hak milik pribadi atau harta benda (hifz al-mal)

Kelima, melindungi kebebasan berfikir (hifz al-aql).

Dengan demikian syari’at Islam pada dasarnya melindungi dan menghargai manusia sebagai individu yang bermartabat. Semua tindakan yang melawan kebebasan dan martabat manusia, bertentangan dengan syari’at.

Untuk mewujudkan itu semua, syari’at Islam selain berfungsi melindungi seluruh dimensi kemanusiaan, juga diturunkan untuk memudahkan manusia dalam menjalankan hidupnya, bukan membuat hidup jadi sulit. Islam melindungi hak hidup manusia, karena itu perbuatan melawan hak ini tidak diperkenankan. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq