Surah Al-Ahzab Ayat 6; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Ahzab Ayat 6

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Ahzab Ayat 6 ini, menerangkan kedudukan Nabi Muhammad di antara umatnya. Diterangkan bahwa sekalipun orang-orang yang beriman itu mengutamakan diri mereka, tetapi Nabi Muhammad lebih banyak memperhatikan, mementingkan, dan mengutamakan mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ahzab Ayat 6

Surah Al-Ahzab Ayat 6
ٱلنَّبِىُّ أَوۡلَىٰ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡ أَنفُسِهِمۡ وَأَزۡوَٰجُهُۥٓ أُمَّهَٰتُهُمۡ وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٍ فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ إِلَّآ أَن تَفۡعَلُوٓاْ إِلَىٰٓ أَوۡلِيَآئِكُم مَّعۡرُوفًا كَانَ ذَٰلِكَ فِى ٱلۡكِتَٰبِ مَسۡطُورًا

Terjemahan: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).

Tafsir Jalalain: ٱلنَّبِىُّ أَوۡلَىٰ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡ أَنفُسِهِمۡ (Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukminin dari diri mereka sendiri) maksudnya apa yang diserukan oleh Nabi saw. agar mereka melakukannya, dan apa yang diserukan oleh hawa nafsu mereka agar mereka melanggarnya, maka seruan Nabilah yang harus lebih diutamakan daripada kehendak diri mereka sendiri. وَأَزۡوَٰجُهُۥٓ أُمَّهَٰتُهُمۡ (dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka) haram untuk dinikahi oleh mereka.

وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ (Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah) yakni kaum kerabat بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٍ (satu sama lain lebih berhak) waris-mewarisi فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ (di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin) daripada waris-mewarisi berdasarkan saudara seiman dan berhijrah yang berlangsung pada permulaan Islam, kemudian dimansukh oleh Ayat ini إِلَّآ (kecuali) tetapi أَن تَفۡعَلُوٓاْ إِلَىٰٓ أَوۡلِيَآئِكُم مَّعۡرُوفًا (kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara kalian seagama) melalui wasiat, masih tetap diperbolehkan.

كَانَ ذَٰلِكَ (Adalah yang demikian itu) yaitu dihapusnya hukum waris-mewarisi karena seiman dan hijrah dengan hubungan kekerabatan فِى ٱلۡكِتَٰبِ مَسۡطُورًا (telah tertulis di dalam Alkitab) Alkitab yang dimaksud di dalam dua tempat pada Ayat ini adalah Lohmahfuz.

Tafsir Ibnu Katsir: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengetahui tentang kasih sayang dan nasehat Rasulullah saw. kepada umatnya, maka beliau lebih diutamakan oleh orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri. Serta keputusan beliau terhadap mereka didahulukan atas pilihan mereka untuk diri mereka sendiri, sebagaimana Allah berfirman:

“Maka demi Rabbmu, mereka [pada hakekatnya] tidak berimana hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’: 65)

Dan tercantum dalam hadits shahih: “Demi Rabb yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang kalian beriman sehingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, harta dan anaknya serta seluruh manusia.”

Terdapat pula di dalam kitab shahih, bahwa Umar bin al-Khaththab berkata: “Ya Rasulallah, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri.” Maka Rasulullah bersabda: “Tidak ya Umar, hingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.” Maka Umar berkata: “Ya Rasulallah, Demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu termasuk diriku sendiri.” Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Sekarang [baru benar] ya Umar.”

Untuk itu di dalam Ayat ini Allah berfirman: ٱلنَّبِىُّ أَوۡلَىٰ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡ أَنفُسِهِمۡ (“Nabi itu [hendaknya] lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri.”) berkenaan dengan Ayat ini, al-Bukhari meriwAyatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

Baca Juga:  Surah Al Falaq; Terjemahan, Tafsir dan Keistimewaannya

“Tidak ada satu orang Mukmin pun, kecuali aku adalah orang yang lebih utama baginya di dunia dan di akhirat. Jika kalian suka, bacalah: Untuk itu di dalam Ayat ini Allah berfirman:

ٱلنَّبِىُّ أَوۡلَىٰ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡ أَنفُسِهِمۡ (“Nabi itu [hendaknya] lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri.”) maka seorang mukmin manapun yang meninggalkan harta, maka hendaknya ia mewariskannya kepada keluarganya [ahli warisnya] yang ada. Dan jika dia meninggalkan utang atau tanggungan [anak-anak dan tanggungan], maka datangkanlah kepadaku, karena akulah penolongnya.” Diriwayatkan sendiri oleh al-Bukhari. DiriwAyatkan seperti itu pula oleh Imam Ahmad dari hadits Abu Hushain, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw.

Firman Allah: وَأَزۡوَٰجُهُۥٓ أُمَّهَٰتُهُمۡ (“Dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.”) yakni dalam hukum, haram dinikahi dan dalam kewajiban menghormati, menjunjung, memuliakan dan mengagungkannya bagaikan ibu kandung. Akan tetapi tidak boleh berduaan dengan mereka.

Keharaman dalam mengawini tersebut tidak menurun ke anak-anak perempuan mereka dan juga tidak kepada saudara-saudara mereka, demikian menurut ijma’.

Firman Allah: وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٍ فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ (“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak [waris mewarisi] di dalam kitab Allah.”) مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ (“daripada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muhajirin”) yaitu, kaum kerabat lebih utama waris mewarisi daripada orang-orang Muhajirin dan Anshar.

Ayat ini merupakan nasikh [pembatal] hukum sebelumnya tentang waris-mewarisi oleh sebab sumpah setia dan persaudaraan yang terjadi di antara mereka.

Sebagaimaan Ibnu ‘Abbas dan lainnya berkata: “Dahulu orang-orang Muhajirin mewarisi orang-orang Anshar yang bukan kerabat dan bukan satu rahim dengannya dikarenakan persaudaraan yang dipersaudarakan antara satu dengan lainnya oleh Rasulullah saw.” demikian yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair dan bukan hanya satu ulama salaf dan khalaf yang mengatakan demikian, hingga Allah menurunkan Ayat ini.

Firman Allah: إِلَّآ أَن تَفۡعَلُوٓاْ إِلَىٰٓ أَوۡلِيَآئِكُم مَّعۡرُوفًا (“Kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu [seagama].”) yaitu terhapuslah waris-mewarisi dan yang tinggal hanyalah pertolongan, kebaikan, hubungan silaturahim, bantuan dan wasiat.

Firman Allah: كَانَ ذَٰلِكَ فِى ٱلۡكِتَٰبِ مَسۡطُورًا (“Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab [Allah].”) yaitu hukum ini yang menyatakan bahwa ulul arhaam [orang yang mempunyai hubungan rahim] sebagian mereka dengan sebagian yang lain lebih utama [dalam hal waris mewarisi] itu adalah hukum Allah yang telah ditentukan dan tertulid di dalam kitab induk yang tidak akan berganti dan berubah.

Itulah yang dikatakan oleh Mujahid dan lainnya. Sekalipun Allah telah mensyariatkan hukum yang berbeda pada satu waktu, karena mengandung satu hikmah yang besar, dan Allah mengetahui bahwa Allah akan menghapuskan hukum tersebut pada hukum yang akan berlaku menurut ketentuan-Nya dan keputusan-Nya yang telah ditentukan pada syariat. wallaaHu a’lam.

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan kedudukan Nabi Muhammad di antara umatnya. Diterangkan bahwa sekalipun orang-orang yang beriman itu mengutamakan diri mereka, tetapi Nabi Muhammad lebih banyak memperhatikan, mementingkan, dan mengutamakan mereka.

Nabi selalu menolong dan membantu mereka, dan selalu berkeinginan agar mereka menempuh jalan yang lurus yang dapat menyampaikan mereka kepada kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu, sebenarnya Nabi lebih berhak atas diri mereka sendiri.

Baca Juga:  Surah Al-Ahzab Ayat 4-5; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Cinta Nabi kepada kaum Muslimin melebihi cinta beliau terhadap makhluk Allah manapun. Dengan demikian, hendaklah kaum Muslimin mengikuti segala perintahnya.

Nabi adalah pemimpin kaum Muslimin dalam kehidupan duniawi dan penuntun mereka ke jalan Allah. Apabila beliau mengajak kaum Muslimin berperang di jalan Allah, hendaklah mereka segera mengikutinya, tidak perlu menunggu izin dari ibu bapak. Mereka juga hendaknya selalu bersedia menjadi tebusan, perisai, dan pemelihara Nabi.

Pada hadis yang lain diterangkan tentang kepemimpinan Nabi terhadap kaum Muslimin: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Tidak seorangpun dari orang-orang yang beriman, kecuali akulah yang paling dekat kepadanya di dunia dan di akhirat.

Bacalah firman Allah, jika kamu sekalian menghendaki, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri.” Maka barang siapa di antara orang-orang yang beriman (mati) dan meninggalkan harta, maka harta itu hendaknya diwarisi ‘ashabah (ahli waris)nya. Dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau keluarga, maka hendaklah datang kepadaku, maka akulah orang yang akan mengurus keadaannya.” (RiwAyat al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Berdasarkan Ayat dan hadis di atas, para ulama sependapat bahwa setelah Rasulullah meninggal dunia, maka imamlah yang menggantikan kedudukan beliau. Oleh karena itu, imam wajib membayar hutang orang-orang fakir yang meninggal dunia, sebagaimana Rasulullah telah melakukannya. Imam membayar hutang itu dengan mengambil dananya dari Baitul Mal atau Kas Negara.

Karena Rasulullah adalah bapak dari kaum Muslimin, maka istri-istri beliau pun adalah ibu-ibu mereka. Maksudnya ialah menempati kedudukan ibu, dalam kewajiban memuliakan dan menghormatinya, dan haram menikahinya.

Adapun dalam hal yang lain, seperti hubungan waris-mewarisi, hukum melihat auratnya atau berkhalwat dengannya, sama hukumnya dengan perempuan lain yang tidak memiliki hubungan mahram.

Prinsip ini tidaklah bertentangan dengan firman Allah: Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. (al-Ahzab/33: 40). Karena yang dimaksud ialah bahwa Nabi Muhammad itu adalah bapak dari seluruh orang-orang yang beriman, bukan bapak angkat dari seseorang.

Kemudian Ayat ini menerangkan bahwa hubungan kerabat lebih berhak untuk menjadi sebab mendapatkan warisan daripada hubungan persaudaraan, keagamaan, atau karena berhijrah. Sebagaimana diketahui bahwa kaum Muslimin pada permulaan Islam di Medinah saling mewarisi dengan jalan persaudaraan yang dijalin oleh Nabi, bukan dengan dasar hubungan kerabat.

Oleh karena itu, seorang dari Muhajirin memperoleh warisan dari seorang Anshar, sekalipun mereka tidak ada hubungan kerabat. Mereka itu waris-mewarisi semata-mata karena hubungan persaudaraan yang telah dijalin oleh Nabi.

Hubungan semacam itu dilakukan Nabi karena orang-orang Muhajirin yang baru pindah dari Mekah ke Medinah dalam keadaan miskin, karena mereka tidak sempat membawa harta benda mereka dari Mekah. Sedangkan orang-orang Anshar, sebagai penduduk asli Medinah, tentu sewajarnya menjadi penolong kaum Muhajirin yang miskin ini.

Waktu itu tugas utama kaum Muslimin ialah memperkuat persatuan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar untuk menghadapi musuh yang selalu mencari kesempatan untuk menghancurkan mereka.

Memperkuat hubungan antara Muhajirin dan Anshar adalah salah satu jalan untuk memperkuat persatuan itu. Maka Nabi saw memperkuat hubungan itu dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.

Persaudaraan itu dijadikannya sama dengan persaudaraan yang berdasar atas pertalian kerabat, sehingga antara Muhajirin dan Anshar dapat waris-mewarisi. Oleh karena itu, Nabi mempersaudarakan Abu Bakar ash-siddiq, seorang Muhajirin, dengan Kharijah bin Zaid, seorang Anshar.

Baca Juga:  Surah Al-Ahzab Ayat 28-29; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Demikian pula Zubair dipersaudarakan dengan Ka’ab bin Malik dan Umar bin Khaththab dengan ‘Utbah bin Malik al-Anshari, Abu ‘Ubaidah dengan Sa’ad bin Mu’az, dan lain-lain.

Diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya, dari Zubair bahwa ia berkata, “Sesungguhnya kami seluruh orang Quraisy yang datang ke Medinah tanpa harta, dan mendapati golongan Anshar sebagai teman yang paling baik, maka kami mengadakan ikatan persaudaraan dengan mereka, dan saling berhak waris mewarisi. Maka Rasulullah saw mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, aku dengan Ka’ab bin Malik.”

Setelah kaum Muslimin menjadi kuat dan orang Muhajirin serta orang-orang Anshar mempunyai kehidupan yang baik, maka turunlah Ayat yang menghapus hukum persaudaraan seagama dan hijrah sebagai dasar waris-mewarisi.

Allah menetapkan hubungan kerabat sebagai dasar hukum warisan, sedangkan hubungan antara kaum Muslimin dikembalikan kepada kedudukan semula, yaitu hubungan seagama, sekeyakinan, tolong menolong yang tidak membawa kepada waris-mewarisi, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. (al-hujurat/49: 10)

Hadis Nabi saw: Tidak beriman salah seorang kamu hingga ia menginginkan pada saudaranya apa yang diinginkannya pada dirinya sendiri. (RiwAyat al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan an-Nasa’i dari Anas)

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa tidaklah berdosa seorang mukmin berbuat suatu kebaikan kepada orang mukmin yang lain, yang telah terjalin antara mereka hubungan kasih sayang, hubungan seagama dan sebagainya.

Kebaikan itu ialah berupa wasiat untuk mereka, karena tidak lagi berhak waris-mewarisi dengan turunnya Ayat ini. Kadar wasiat ini telah ditetapkan oleh hadis, yaitu tidak lebih dari sepertiga dari seluruh harta peninggalan.

Menetapkan “ulu al-arham” (kerabat) sebagai dasar hukum waris-mewarisi adalah keputusan Allah yang ditetapkan di dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, hukum tersebut tidak boleh ditukar atau diganti oleh siapa pun.

Tafsir Quraish Shihab: Nabi Muhammad lebih berhak untuk memberikan hak perwaliannya kepada orang-orang beriman. Kasih sayang Rasulullah pada mereka melebihi kasih sayang mereka pada diri mereka sendiri. Maka cintailah dan taatilah ia. Istri-istri nabi adalah seperti ibu mereka yang wajib dihormati dan tidak boleh dinikahi sepeninggal nabi.

Orang-orang yang terikat dalam hubungan kekerabatan (pertalian darah) lebih utama dari orang-orang beriman lain dan orang-orang muhajirin untuk saling mewarisi dan diwarisi. Ini adalah suatu persoalan yang wajib hukumnya dalam al-Qur’ân.

Namun demikian, kalian tidak dilarang untuk memberikan sebagian hak milik kepada orang Mukmin yang membela agama mesipun mereka tidak memiliki hubungan persaudaraan, sebagai suatu bentuk kebajikan. Kalian juga diperbolehkan memberikan harta kalian melalui wasiat. Pewarisan harta bagi para kerabat merupakan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak dapat berubah.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Ahzab Ayat 6 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S