Tujuan Ilmu Tarekat, Perjalanan Menuju Spiritual Tertinggi

Tujuan Ilmu Tarekat, Perjalanan Menuju Spiritual Tertinggi

Pecihitam.org- Tujuan dari ilmu Tarekat yang pada awalnya hanyalah dimaksudkan sebagai metode, cara, dan jalan yang ditempuh seorang sufi menuju pencapaian spiritual tertinggi, pensucian diri atau jiwa. Maksud penyucian jiwa adalah menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela guna menuju ma’rifat Allah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Adapun sifat-sifat tercela dalam Buku “Solusi Tasawuf Atas Problem Manusia Modern” meliputi : hasad (iri hati), haqaq (dengki atau benci), su‟udzan (buruk sangka), kibir (sombong), ujub (merasa sempurna diri dari orang lain), riya (memamerkan kelebihan), suma‟ (mencari-cari nama atau kemashuran), bukhl (kikir), hub al-mal (materialistic), takabur (membagakan diri), ghadhab (pemarah), ghibah (pengumpat), namimah (berbicara di belakang orang lain / jawa ngerasani) kidzib (dusta), khianat (ingkar janji).

Pensucian diri atau jiwa dalam bentuk intensifikasi dzikrAllah, berkembang secara sosiologis menjadi sebuah institusi sosial-keagamaan yang memiliki ikatan keanggotaan yang sangat kuat.

Esensi dari institusi tersebut misalnya berupa interaksi guru-murid, interaksi antar murid atau anggota tarekat, dan norma atau kaidah kehidupan religius yang melandasi pola persahabatan di antara mereka.

Baca Juga:  Benarkah Imam Asy-Syafi'i Mencela Sufi Sebagaimana Tuduhan Para Salafi Wahabi?

Secara organisatorik, tarekat merupakan organisasi dan Trimingham menyebutnya sebagai sufi order yang berbasis ketaatan atau kepatuhan yang luar biasa, yang terlembaga dalam jiwa para murid atau anggota tarekat, atau fanatisme terhadap guru atau mursyid tarekat.

Namun demikian, institusi ketaatan tersebut pada ujungnya adalah mengarahkan wajah spirit para murid tarekat tertuju taat kepada Allah. Dengan demikian, secara manajerial, tarekat adalah suatu organisasi dengan pola dinamika dan otoritas yang top-down, yang sangat tergantung pada kepemimpinan mursyid tarekat.

Sejarah perkembangan tarekat mencatat bahwa tarekat-tarekat itu secara natural mengalami perjalanan Panjang. Sebagai contoh adalah munculnya kehidupan zuhud dan uzlah yang dipelopori oleh Hasan al-Basri (110 H) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H).

Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya), yang dipraktekan oleh para pejabat Bani Umayyah. Berkembangnya tasawuf filosofis yang dipelopori oleh Al-Hajjaj (309 H), dan Ibn Arabi (637 H), tampaknya tidak lepas dari adanya pengaruh gejala global masyarakat Islam, yang cendrung tersilaukan oleh berkembangnya pola hidup rasional.

Baca Juga:  Tujuan Utama Mengamalkan Ajaran Tasawuf dalam Islam

Hal ini merupakan pengaruh para filosofi paripatetik, seperti Al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi dan para tokoh filosof paripatetik lainnya Demikian juga halnya, munculnya gerakan tasawuf sunni yang dipelopori oleh al-Qusyairi, al-Gazali, juga tidak terlepas dari dinamika masyarakat Islam pada saat itu.

Mayarakat banyak mengikuti pola hidup sufistik yang menjauhi syariat dan tenggelam dalam keasikan filsafatnya Sehingga muncul gerakan kembali ke syari‟at dalam ajaran tasawuf, yang dikenal dengan istilah tasawuf sunni. Lihat, Yudian Wahyudi Asmin,Aliran dan TeologiFilsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995).

Dengan meminjam teori Darwin struggle for life (perjuangan keras untuk mempertahankan eksistensi) dari natural selection. Hal itu benar secara historik, bahwa banyak tarekat-tarekat yang secara organisatorik lenyap ditelan masa karena tidak terdapat pendukung yang memperjuangkannya, sebagaimana tarekat-tarekat yang dinisbatkan kepada sufi besar, yaitu ibn Sab‟in.

Baca Juga:  Perbedaan Makna "Menyendiri" dalam Istilah Khalwat dan Uzlah, dan Praktiknya dalam Tradisi NU

Namun demikian, terdapat pula fenomena tarekat-tarekat yang mengalami perkembangan luar biasa seperti tarekat Qadiriyyah, Naqshabandiyyah, Khalwatiyyah, dan lain-lain.

Perkembangan tarekat-tarekat tersebut tidak lepas dari upaya perjuangan para pengamalnya, dengan pola-pola, strategi, dan model-model tertentu yang patut dipahami.

Di lain pihak, perjuangan tarekat-tarekat tersebut tidak luput dari peran-peran sosial, budaya, politik dan sebagainya yang niscaya diambil oleh tarekat sebagai suatu keniscayaan empirik, karena tarekat adalah organisasi sosial yang praktis bersentuhan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Mochamad Ari Irawan