Wali Songo: Sejarah Lengkap 9 Tokoh Penyebar Islam di Tanah Nusantara

Wali Songo

Pecihitam.org – Penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari peran para pendakwah. Terutama mereka yang berjuang berdakwah pada abad ke 14. Para pendakwah tersebut dikenal dengan sebutan Wali songo (bahasa Jawa: ꦮꦭꦶꦱꦔ; Walisɔngɔ).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Wali songo berasal dari kata Wali yang berarti “orang yang dipercaya” atau “orang yang ditugaskan”. Sedangkan kata Songo dalam (bahasa Jawa: Sɔngɔ)  artinya sembilan. Dengan demikian, istilah ini sering diterjemahkan sebagai “Sembilan Wali”.

Meskipun disebut sebagai Wali songo (Sembilan Wali) namun ternyata anggota dari kesembilan wali hidup pada waktu yang berbeda tidak dalam waktu yang sama. Selain itu, ada sumber yang menggunakan istilah “Wali songo” untuk merujuk pada sosok selain dari kesembilan individu dari “Wali songo” yang paling terkenal.

Kemudian, setiap anggota Wali songo saling dikaitkan dengan gelar “Sunan” yang dalam bahasa Jawa, konteks ini berarti “terhormat”. Sebagian besar wali juga dijuluki Raden selama hidup mereka, karena mereka rata-rata berketurunan Ningrat.

Makam para wali sangat dihormati oleh masyarakat, sering menjadi tujuan ziarah, sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada wali songo yang telah menyebarkan Islam di Indonesia pada masa hidupnya.

Daftar Pembahasan:

Makna Wali Songo

Ada beberapa pendapat mengenai arti atau makna Wali songo.

  • Pendapat pertama, adalah wali yang sembilan. Yaitu menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa.
  • Pendapat kedua, menyebutkan bahwa kata songo / sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
  • Pendapat ketiga lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
  • Pendapat keempat yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).

Para Wali songo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka sangat terasa dalam berbagai bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Konsep Wali songo atau Wali Sembilan dalam kosmologi Islam, sumber utamanya dapat dilacak pada konsep kewalian yang secara umum oleh kalangan sufisme diyakini meliputi sembilan tingkat kewalian.

Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah memaparkan tentang sembilan tingkat kewalian dengan tugas masing-masing sesuai kewilayahannya. Kesembilan tingkat kewalian itu:

  1. Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa para wali di seluruh alam semesta.
  2. Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Qutthub dan menggantikan kedudukannya jika wafat.
  3. Wali Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru mata angin.
  4. Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim.
  5. Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat.
  6. Wali Nujaba, yang setiap masa berjumlah delapan orang.
  7. Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama, baik pembelaan dalam bentuk argumentasi maupun senjata.
  8. Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab.
  9. Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan umat Islam.

Nama Para Wali Songo

Pada umumnya terdapat 9 nama yang masyhur dikenal sebagai anggota Walisongo antara lain, yaitu:

1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Sunan Gresik

Maulana Malik Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan julukan Sunan Gresik adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad Saw. Beliau disebut juga Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo. Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim

Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan dari As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam catatan itu tertulis:

  1. As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin
  2. As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin
  3. As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
  4. As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
  5. As-Sayyid Abdullah bin
  6. As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
  7. As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
  8. As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
  9. As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
  10. As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin
  11. As-Sayyid Alwi bin
  12. As-Sayyid Ubaidillah bin
  13. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
  14. Al-Imam Isa bin
  15. Al-Imam Muhammad bin
  16. Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
  17. Al-Imam Ja’far Shadiq bin
  18. Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
  19. Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
  20. Al-Imam Al-Husain bin
  21. Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti
  22. Nabi Muhammad Rasulullah

Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.

Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama:

  1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah.
  2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad
  3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.

Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha (Sunan Santri/ Raden Santri) dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus).

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Beliau mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit.

Sunan Gresik berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Beliau membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Beliau juga membangun masjid sebagai tempat peribadatan pertama di tanah Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut menjadi masjid Jami’ Gresik.

Baca Juga:  Cara Membangun Optimisme Dalam Menjalani Hidup

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Hingga kini makam tersebut selalu ramai jadi tujuan ziarah wali oleh masyarakat dari berbagai penjuru daerah.

2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

sunan ampel
Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat beliau adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut:

  1. Sunan Ampel bin
  2. Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
  3. Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin
  4. Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
  5. Sayyid Abdullah bin
  6. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
  7. Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
  8. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
  9. Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
  10. Sayyid Alwi bin
  11. Sayyid Muhammad bin
  12. Sayyid Alwi bin
  13. Sayyid Ubaidillah bin
  14. Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin
  15. Sayyid Isa bin
  16. Sayyid Muhammad bin
  17. Sayyid Ali Al-Uraidhi bin
  18. Imam Ja’far Shadiq bin
  19. Imam Muhammad Al-Baqir bin
  20. Imam Ali Zainal Abidin bin
  21. Imam Al-Husain bin
  22. Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
  23. Nabi Muhammad Rasulullah.

Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di tanah Jawa. Beliau menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning.

Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang, Siti Syari’ah, Sunan Derajat, Sunan Sedayu, Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah.

Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah, Asyiqah, Raden Husamuddin (Sunan Lamongan, Raden Zainal Abidin (Sunan Demak), Pangeran Tumapel dan Raden Faqih.

Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi awal dasawarsa keempat abad ke-15, yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang sebagaimana riwayat yang menyatakan bahwa sebelum ke Jawa, Raden Rahmat telah singgah ke Palembang.

Menurut Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam (1977), Raden Rahmat sewaktu di Palembang menjadi tamu Arya Damar selama dua bulan, dan dia berusaha memperkenalkan Islam kepada raja muda Palembang itu.

Arya Damar yang sudah tertarik kepada Islam itu hampir saja diikrarkan menjadi Islam. Namun, karena tidak berani menanggung risiko menghadapi tindakan rakyatnya yang masih terikat pada kepercayaan lama, ia tidak mengatakan keislamannya di hadapan umum. Kemudian menurut cerita setempat, setelah memeluk Islam, Arya Damar memakai nama Arya Abdillah.

Keterangan dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J. Edel (1938) menjelaskan bahwa pada waktu Kerajaan Champa ditaklukkan oleh Raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukim di Jawa. Itu berarti Raden Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum tahun 1446 M, yakni pada tahun jatuhnya Champa akibat serbuan Vietnam.

Hal itu sejalan dengan sumber dari Serat Walisana yang menyatakan bahwa Prabu Brawijaya, Raja Majapahit mencegah Raden Rahmat kembali ke Champa karena Champa sudah rusak akibat kalah perang dengan Kerajaan Koci.

Penempatan Raden Rahmat di Surabaya dan saudaranya di Gresik, tampaknya memiliki kaitan erat dengan suasana politik di Champa, sehingga dua bersaudara tersebut ditempatkan di Surabaya dan Gresik, kemudian dinikahkan dengan perempuan setempat.

Salah satu ajaran sunan Ampel yang sampai sekarang terkenal yaitu ajaran “Molimo” atau “Moh Limo”.

Kata “Moh” berasal dari bahasa Jawa yang artinya tidak, dan “Limo” artinya Lima. Jadi Moh Limo adalah “Tidak melakukan lima perbuatan yang dilarang oleh Allah”.

Isi dari ajaran Moh Limo adalah:

  1. Moh Mabuk (Tidak mabuk atau minum-minuman).
  2. Moh Main (Tidak main atau tidak berjudi).
  3. Moh Madon (Tidak main perempuan).
  4. Moh Madat (Tidak memakai obat-obatan).
  5. Moh Maling ( Tidak Mencuri).

Bahkan ajaran Molimo ini sampai sekarang masih menjadi ajaran yang dipegang umat muslim Jawa hingga saat ini.

3. Sunan Bonang (Maulana Makhdum Ibrahim)

Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Beliau adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam.

Sunan Ampel juga dikatakan sebagai pencipta suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya.

Universitas Leiden Belanda konon menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang, namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525 dan makamnya berada di daerah Tuban, Jawa Timur.

4. Sunan Drajat

Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan juga merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Nama asli dari sunan Drajat adalah Masih Munat, sedangkan nama sewaktu masih kecil adalah Raden Qasim.

Sunan Drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Beliaulah Wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Beliau adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.

Baca Juga:  Strategi Dakwah Walisanga Menyebarkan Ajaran Islam di Nusantara

Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat dengan menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan.

Tembang macapat Pangkur juga disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalan Sunan Drajat terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.

5. Sunan Kudus

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus bernama asli Ja’far Shadiq adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Berikut urutan nasabnya:

  1. Sunan Kudus/Ja’far Shadiq bin
  2. Sunan Ngudung bin
  3. Fadhal Ali Murtadha bin
  4. Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
  5. Jamaluddin Al-Husain bin
  6. Ahmad Jalaluddin bin
  7. Abdillah bin
  8. Abdul Malik Azmatkhan bin
  9. Alwi Ammil Faqih bin
  10. Muhammad Shahib Mirbath bin
  11. Ali Khali’ Qasam bin
  12. Alwi bin
  13. Muhammad bin Alwi bin
  14. Ubaidillah bin
  15. Ahmad Al-Muhajir bin
  16. Isa bin
  17. Muhammad bin
  18. Ali Al-Uraidhi bin
  19. Ja’far Shadiq bin
  20. Muhammad Al-Baqir bin
  21. Ali Zainal Abidin bin
  22. Al-Husain bin
  23. Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
  24. Nabi Muhammad Rasulullah.

Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasihat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara.

Beliau banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan.

Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

6. Sunan Giri

Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Beliau merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Sunan Giri mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku.

Salah satu keturunannya yang sangat terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima. Makam Sunan Giri terletak di Desa Giri, Kabupaten Gresik Jawa Timur.

7. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Beliau adalah murid Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya.

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga juga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

8. Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said merupakan putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria kemudian menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau nama aslinya Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, beliau masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja.

Sunan Gunung Jati mengembangkan kawasan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten,

Tokoh Pendahulu Wali Songo

1. Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro nama aslinya adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra. Beliau adalah keturunan ke-19 dari Rasulullah Saw. urutan nasabnya sebagaimana berikut:

  1. Maulana Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al Akbar bin
  2. Ahmad Jalaluddin bin
  3. Abdillah bin
  4. Abdul Malik Azmatkhan bin
  5. Alwi Ammil Faqih bin
  6. Muhammad Shahib Mirbath bin
  7. Ali Khali’ Qasam bin
  8. Alwi bin Muhammad bin
  9. Alwi bin Ubaidillah bin
  10. Ahmad Al-Muhajir bin
  11. Isa bin
  12. Muhammad bin
  13. Ali Al-Uraidhi bin
  14. Ja’far Shadiq bin
  15. Muhammad Al-Baqir bin
  16. Ali Zainal Abidin bin
  17. Al-Husain bin
  18. Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
  19. Nabi Muhammad Rasulullah.

Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Hingga kini belum diketahui yang mana yang benar-benar merupakan makamnya.

2. Syekh Datuk Kahfi

Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati merupakan guru dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im), yaitu putera dan puteri dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), raja Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat.

Syekh Datuk Kahfi wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.

Baca Juga:  Karomah Mbah Sholeh, Tukang Sapu Masjid yang Punya Sembilan Makam

Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh lain yang juga merupakan murid Syekh Nurjati adalah:

  1. Maulana Magribi
  2. Pangeran Makhdum
  3. Maulana Pangeran Panjunan
  4. Maulana Pangeran Kejaksan
  5. Maulana Syekh Bantah
  6. Syekh Majagung
  7. Maulana Syekh Lemah Abang
  8. Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan
  9. Syarif Hidayatullah.

Pada suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, dibawah pimpinan Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muidnya:

“Wahai murid-murid ku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimana pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk masyarakat islamiyah itu?”.

Para murid dalam sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan teratur.

Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati segera dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya organisasi dakwah dewan Wali songo.

Asal usul Wali Songo

Walaupun ada pendapat yang menyebut Wali songo merupakan keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif.

Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Wali songo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):

L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada tahun 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[9] mengatakan:

“Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad Saw).”

L.W.C Van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

“Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampur-baur dengan penduduk, dan sebagian mereka mempunyai jabatan-jabatan tinggi.

Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW).

Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa orang-orang Hindu kepada pemikiran baru yang kemudian diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”

Pernyataan Van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, ini bertepatan dengan kedatangan atau kelahiran sebagian besar Wali songo di pulau Jawa.

Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan juga di Indonesia. Ini berbeda dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar mereka bermadzhab Hanafi.

Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i yang bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait antara lain seperti: mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia.

Kitab fiqh madzhab Syafi’i, Fathul Muin yang sangat populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar. Isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.

Selain itu, pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Wali songo seperti Raden Patah dan Pati Unus juga sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13.

Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

*Diolah dari berbagai sumber

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik