Metode Memilih Fiqih dalam Beragamnya Perbedaan Fatwa

metode memilih fiqih

Pecihitam.org – Fiqih adalah salah satu ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah-masalah hukum Islam. Hukum Islam ada yang hukum taklifi dan ada hukum mawdhu’i. Hukum taklifi ada 5 hukum yaitu wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Hukum mawdhu’i ada lima hukum juga yaitu sebab, syarat, mani’, sah dan batal. Maka hukum-hukum yang dibicarakan dalam Ilmu Fiqh adalah ada sepuluh hukum.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Semua kejadian yang terjadi pada manusia akan dilebelkan salah satu dari sepuluh hukum tersebut oleh fuqaha. Penetapan hukum-hukum itu pada suatu kejadian oleh fuqaha adalah disebut dengan fatwa. Fatwa muncul dari hasil usaha keras seorang faqih (ahli fiqh) atau secara kolektif dalam istinbat hukum fiqh dari dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil fiqh semuanya ada 19 dalil, sebagaimana dikatakan oleh Imam Thufi dalam Risalahnya.

Istinbat hukum dari dalil-dalil itu adalah dengan menggunakan metodologi istinbat yang telah ditetapkan oleh ushuliyin (ulama ushul fiqh). Metodologi istinbat ini memang tabiatnya atau ruhnya istinbat hukum fiqh yang tidak boleh tidak ada.

Adapun metodologi istinbat hukum fiqih ada empat macam: 19 dalil hukum tersebut, metode pengambilan dalil itu dalam istinbat, mengenal realitas (idrak al-waqi’) dan syarat-syarat mujtahid. Empat macam metodologi istinbat ini adalah satu-kesatuan yang wajib ada semua saat istinbat hukum fiqh.

Baca Juga:  Memakai Deodoran Saat Ihram, Apakah Termasuk Dibolehkan?

Apabila hukum-hukum fiqh yang keluar bukan melalui dari metodologi istinbat tersebut maka hukum itu bid’ah, sekalipun kebutuhan sesuai dengan ilmu, karena hukum itu muncul bukan atas dasar ilmu. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذاَ وَلَيْسَ مِنِّيْ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengadakan dalam urusan kami ini dan tidak termasuk dalm bagian kami maka ia ditolak”.

Sebenarnya maksud hadis ini adalah barangsiapa berbicara masalah agama tidak atas dasar ilmu maka ia bid’ah.

Hukum istinbat seperti itu adalah haram dan berdosa serta menanggung dosa orang yang mengamalkannya terus. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ

“Barangsiapa diberi fatwa tanpa didasari ilmu maka dosanya adalah atas orang yang berfatwa”.

Oleh karena itu, saya menyebutnya dengan fatwa bid’i. Fatwa bid’i ini telah berjamur dalam masyarakat Islam karena pengaruh ilmu pengetahuan yang sangat terbuka dan aksesnya pun sangat mudah sehingga semua orang bisa memberi fatwa dan minta fatwa.

Baca Juga:  Sudah Ada Al-Qur'an dan Sunnah, Lalu Buat Apa Ijtihad Ulama?

Karena itu, perlu disosialisasikan kepada masyarakat Islam tentang metode memilih fiqih dalam berkecamuknya khilafiyah fiqh. Khilafiyah fiqh sebenarnya telah terjadi sejak masa sahabat hingga masa mazhab dan terus ada hingga sekarang. Khilafiyah seperti ini memang keniscayaan dalam fiqh karena fiqh adalah hasil pikiran manusia (mujtahid) dari nas yang dhanni. Karakteristik nas dhanni adalah multitafsir. Maka satu permasalahan fiqh pun akan multifatwa karena mujtahidnya banyak.

Lembaga Fatwa Dar al-Ifta Mesir telah menformalisasikan formulasi standar berfiqih dalam perbedaan fatwa dalam satu kitab yang diberi nama Dhwabith al-Ikhtiyar al-Fiqhi ‘inda al-Nawazil. Formulasi metode berfiqh dalam perbedaan fatwa yang diformalisasikan oleh Lembaga Fatwa Dar al-Ifta Mesir atau Lembaga Fatwa Dar al-Ifta al-Azhar ada tiga formulasi.

Pertama, suatu hukum fikih dinisbahkan kepada salah satu mazhab yang empat, baik hukum fikih itu yang di ambil dari kitab-kitab mujtahid dalam salah satu mazhab empat itu, atau dari kitab-kitab ulama yang masih muqallid dalam salah satu mazhab empat tersebut.

Kedua, suatu hukum fikih yang khilafiyah itu harus dari khilaf yang mu’tabar, jangan dari khilaf yang tidak mu’tabar. Khilaf yang mu’tabar adalah madrak (dalil) khilafnya kuat, khilaf dari ulama yang diperhitungkan dan bukan pendapat baru dari pendapat-pendapat (khilaf) yang sudah ada.

Baca Juga:  Bervariasi Saat Berhubungan Intim, Bagaimana Hukumnya?

Ketiga, suatu hukum fikih itu harus dari pendapat yang mu’tamad (kuat) kecuali karena mendatangkan maslahat maka boleh selain yang mu’tamad.

Apabila fatwa-fatwa fiqh yang keluar dari tiga kategori metode berfiqh tersebut maka tidak boleh diamalkan, karena khawatir jatuh dalam bid’ah atau keluar dari mazhab empat yaitu Mazhab Syafii, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali. Lain masalahnya jika hanya untuk membaca dan mengkaji lebih luas untuk pengetahuan saja. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *