Boleh Menyampaikan Hadits Dhaif Tanpa Menjelaskan Statusnya

Boleh Menyampaikan Hadits Dhaif Tanpa Menjelaskan Statusnya

Pecihitam.org – Sebelum pembahasan mengenai apakah boleh menyampaikan hadits dhaif dalam dakwah kita, terlebih dahul kita harus memahami bahwa Hadits merupakan salah satu rujukan dalam hukum Islam selain Alquran. Hadits kerap memuat sejumlah kaidah terkait akidah, ibadah, muamalah, maupun amalan keseharian.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Muhadditsin membagi hadits ke dalam tiga kategori: shahih, hasan, dan dhaif. Kategori ini dibagi berdasarkan kualitas hadits dengan ukuran kualitas perawi dan ketersambungan sanadnya. Kualitas hadits yang paling tinggi adalah shahih, kemudian hasan, dan terakhir dhaif. Menurut sebagian ulama, hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hasan.

Hadis dhaif dinisbahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, tetapi kualitas perawinya dinilai kurang karena tidak kuat hafalannya maupun kredibilitasnya, atau bisa juga karena sanadnya terputus.

Baca Juga:  Begini Cara Sederhana Agar Kita Bisa Mengenali Hadits Dhaif

Ada juga hadis maudhu’ atau hadis palsu. Hadis ini disebut memuat informasi yang berasal dari Rasulullah, padahal bukan perkataan Rasulullah.

Sementara, bagaimana pandangan ulama terkait menyampaikan hadits dhaif namun tidak disebutkan statusnya?

Dikutip dari laman Syariah Nahdlatul Ulama, para ulama membolehkan mengamalkan dan menyampaikan hadits dhaif, selama tidak berkaitan dengan persoalan halal-haram, akidah, dan tidak palsu.

Pendapat ini dikemukakan oleh Hasan Muhammad Al-Masyath dalam kitabnya Al Taqriratus Saniyyah fi Syarahil Mandzumah Al Bayquniyyah:

قد أجاز بعض العلماء رواية الحديث الضعيف من غير بيان ضعفه بشروط: أولا أن يكون الحديث في القصص أو المواعظ أو فضائل الأعمال أو نحو ذلك مما لا يتعلق بصفة الله والعقائد والا بالحلال والحرام وسائر الأحكام الشرعية وأن لا يكون الحديث موضوعا أو ضعيف شديد الضعف

Baca Juga:  Sucikah Benda Najis yang Terbasuh oleh Air Hujan? Berikut Penjelasannya

“Sebagian ulama membolehkan periwayatan hadits dhaif tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan beberapa syarat: hadits tersebut berisi kisah, nashat-nasihat, atau keutamaan amalan, dan tidak berkaitan dengan sifat Allah, akidah, halal-haram, hukum syariat, bukan hadits maudhu’, dan tidak terlalu dhaif.”

Merujuk pada pendapat ini, para dai dibolehkan untuk menyampaikan hadits yang berkaitan dengan kisah-kisah dan motivasi dalam ceramahnya meskipun tidak menjelaskan kualitas hadits yang disampaikan kepada jamaahnya.

Hal ini dibolehkan dengan catatan hadits yang disampaikan tidak berkaitan dengan akidah, persoalan halal dan haram, bukan hadits palsu, dan haditsnya tidak terlalu dhaif. Wallahu a’lam

Sumber: NU.or.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *