Hadits Shahih Al-Bukhari No. 520 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 520 – Kitab Waktu-waktu Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Meninggalkan Shalat Ashar” Hadis ini menjelaskan ancaman bagi orang-orang yang lalai akan salat Ashar. Seolah-olah mereka kehilangan keluarga dan hartanya bendanya semuanya. Dan gugurlah seluruh amal-amalnya. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Waktu-waktu Shalat. Halaman 373-376.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ قَالَ كُنَّا مَعَ بُرَيْدَةَ فِي غَزْوَةٍ فِي يَوْمٍ ذِي غَيْمٍ فَقَالَ بَكِّرُوا بِصَلَاةِ الْعَصْرِ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muslim bin Ibrahim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hisyam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Abu Katsir] dari [Abu Qilabah] dari [Al Malih] berkata, “Kami pernah bersama [Buraidah] pada suatu peperangan saat cuaca mendung, lalu ia berkata, “Segeralah laksanakan shalat ‘Ashar! Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Barangsiapa meninggalkan shalat ‘Ashar sungguh hapuslah amalnya.”

Keterangan Hadis: Maksud bab di atas adalah, apa hukum orang yang meninggalkan shalat Ashar?

lbnu Rasyid berkata, “Imam Bukhari telah melakukan hal yang sangat baik dalam hal ini, dimana dia hanya menyebutkan awal hadits sebagai judul bab dan meninggalkan masalah ini sebagai masalah yang dapat ditakwilkan.” Ada juga yang berpendapat, bahwa selayaknya Imam Bukhari menyebutkan hadits pada bab ini dalam bab sebelumnya, sehingga tidak perlu lagi mencantumkan bab ini. Namun pendapat ini dikritik, karena meninggalkan (tarku) lebih jelas keinginan untuk melakukannya dengan sengaja daripada mengakhirkannya (fawat)

Buraidah adalah Ibnu Al Hushaib Al Aslami.

ذِي غَيْمٍ (pada hari yang mendung) Ada pendapat yang mengatakan, bahwa disebutkannya kalimat ini secara khusus, karena hari yang mendung adalah waktu yang rentan untuk mengakhirkan shalat; baik bagi orang yang berhati-hati untuk mengetahui masuknya waktu shalat sehingga terlalu mengakhirkan shalat sampai keluar waktunya, atau bagi orang yang sibuk bekerja lalu dia mengira bahwa waktu shalat masih ada, sehingga terlena dalam kesibukannya sampai habis waktunya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 315-316 – Kitab Haid

فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Sesungguhnya Nabi SAW) huruf fa’ di sini berfungsi sebagai ta ‘Iii (menerangkan alasan hukum). Dalam hal ini terdapat kesulitan untuk mengetahui masuknya waktu shalat, karena untuk mengetahuinya mereka berpatokan dengan matahari. Namun pendapat ini dapat dijawab, karena Buraidah mengatakan hal itu setelah mengetahui bahwa waktu shalat telah masuk. Sebab, dalam keadaan mendung pun matahari terkadang tetap tampak. Kemudian dalam keadaan mendung dan matahari tertutup awan, dia membolehkan melakukan ijtihad untuk mengetahui masuknya waktu shalat.

مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ (barangsiapa meninggalkan shalat Ashar) Ma’mar dalam riwayatnya menambahkan lafazh مُتَعَمِّدًا (dengan sengaja), demikian juga riwayat Ahmad dari hadits Abu Darda’.

فَقَدْ حَبِطَ (maka gugurlah) Dalam riwayat Al Mustamli dikatakan فَقَدْ سَقَطَ (maka jatuhlah), sedangkan dalam riwayat Ma’mar disebutkan, أَحْبَطَ اللَّهُ عَمَلَهُ (Allah menggugurkan amalnya)

Hadits ini dijadikan dasar bagi orang dari golongan Khawarij dan lainnya untuk mengafirkan orang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Mereka mengatakan, “Dia sama dengan firman Allah dalam surah Al Maa’idah ayat 5 yang berbunyi, وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ (barangsiapa kafir setelah beriman, maka gugurlah amalnya).”

Ibnu Abdil Barr berkata, “Yang dapat dipahami dari ayat tersebut, bahwa orang yang tidak kafir setelah beriman, maka amalnya tidak gugur.” Dengan demikian antara pemahaman ayat dan teks hadits saling bertentangan, sehingga terbuka pintu untuk menakwilkan hadits. Karena, mengompromikan dua dalil yang bertentangan lebih utama jika memungkinkan daripada melakukan tarjih (menguatkan salah satu dan melemahkan yang lainnya). Madzhab Hambali dan mereka yang mengikuti madzhab mereka berpegang dengan makna lahiriah ayat di atas, bahwa orang yang meninggalkan shalat dihukumi kafir, dan jawaban mereka sebagaimana yang telah dikemukakan. Di samping itu seandainya pendapat mereka itu benar, maka tidak akan dikhususkan shalat Ashar dalam masalah ini. Sedangkan mayoritas ulama menakwilkan hadits tersebut. Dalam menakwilkannya mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Di antara mereka menakwilkan sebab meninggalkan, dan di antara mereka ada yang menakwilkan lafazh habitha (gugur), dan ada yang menakwilkan lafazh amal (perbuatan). Ada juga yang mengatakan, bahwa maksudnya adalah orang yang meninggalkannya karena menentang kewajiban shalat Ashar, atau mengakui tapi menganggap ringan dan melecehkan orang yang melaksanakannya. Namun pendapat ini dikritik, karena yang dipahami oleh seorang sahabat adalah meremehkan shalat atau menganggap ringan. Untuk itu diperintahkan untuk segera melaksanakannya sebagaimana yang telah disebutkan bahwa pemahaman seorang sahabat adalah lebih utama daripada pemahaman selainnya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 325 – Kitab Tayammum

Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah orang yang meninggalkannya karena malas. Tapi ancaman yang telah disebutkan adalah sebagai celaan yang keras, namun lahiriahnya tidak dimaksudkan seperti hadits Rasul, (tidaklah seorang melakukan zina sedangkan dia beriman).

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah majaz tasybih, seolah-olah artinya adalah seperti orang yang gugur amalnya. Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah hampir gugur amalnya. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “gugur” di sini adalah “kurangnya amal pada waktu amal perbuatan itu diangkat ke sisi Allah.” Seakan-akan yang dimaksud dengan “amal” adalah shalat secara khusus, yaitu orang yang shalat Ashar pada waktu itu tidak mendapat pahala dan tidak juga diangkat amalnya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 631-633 – Kitab Adzan

Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud habath (gugur) adalah “batal”, tidak dapat dimanfaatkan dengan melaksanakannya. Seperti orang yang banyak kejelekannya daripada kebaikannya, maka dia tergantung kehendak Allah SWT. Jika Dia mengampuninya, maka ketergantungan itu berarti membatalkan manfaat kebaikan pada waktu itu, meskipun mendapat siksa kemudian diampuni. Al Qadhi Abu Bakar bin Arabi berpendapat seperti itu, sebagaimana yang dikemukakan pada kitab tentang “Iman” bab “Kekhawatiran Seorang Mukmin Jika Amalnya Gugur”. Kesimpulan dari pendapat itu, bahwa yang dimaksud dengan habath (gugur) dalam ayat tidak sama dengan pengertian habath dalam hadits. Dia mengatakan dalam Syarah Tirmidzi, bahwa lafazh habath terbagi menjadi dua; pertama, habath isqath, yaitu kufur yang menggugurkan keimanan dan semua kebaikan. Kedua, habath muwazanah, yaitu kemaksiatan yang menggugurkan manfaat kebaikan ketika kemaksiatan lebih banyak dan lebih kuat daripada kebaikan sampai mendapatkan keselamatan, sehingga pahala kebaikannya kembali kepadanya.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksud “amal” dalam hadits tersebut adalah amal atau perbuatan dunia, dimana menyibukkan diri dalam urusan tersebut dapat meninggalkan shalat, dalam arti tidak dapat memanfaatkan dan menikmatinya. Adapun takwil yang paling mendekati adalah pendapat yang mengatakan bahwa ancaman yang disebutkan adalah sebagai celaan yang keras.

M Resky S