Hadits Shahih Al-Bukhari No. 70-71 – Kitab Ilmu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 70-71 – Kitab Ilmu ini, menjelaskan tentang pemahaman Ibnu Umar dalam memahami hadis Rasulullah saw. Hadis berikutnya menjelaskan tentang macam-macam iri yang dibolehkan. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Ilmu. Halaman 313-319.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 70

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ صَحِبْتُ ابْنَ عُمَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلَمْ أَسْمَعْهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا حَدِيثًا وَاحِدًا قَالَ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُتِيَ بِجُمَّارٍ فَقَالَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً مَثَلُهَا كَمَثَلِ الْمُسْلِمِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِيَ النَّخْلَةُ فَإِذَا أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ فَسَكَتُّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ النَّخْلَةُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Abdullah] Telah menceritakan kepada kami [Sufyan] berkata, telah berkata kepadaku [Ibnu Abu Najih] dari [Mujahid] berkata; aku pernah menemani [Ibnu Umar] pergi ke Madinah, namun aku tidak mendengar dia membicarakan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali satu kejadian dimana dia berkata: Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu Beliau dipertemukan dengan jama’ah. Kemudian Beliau bersabda: “Sesungguhnya diantara pohon ada suatu pohon yang merupakan perumpamaan bagi seorang muslim”. Aku ingin mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma namun karena aku yang termuda maka aku diam. Maka kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah pohon kurma”.

Keterangan Hadis: Kita dapat memahami dari ungkapan “selama menemani Ibnu Umar ke Madinah”, bahwa para sahabat sangat berhati-hati dalam menyampaikan hadits dan Nabi SAW. Maka mereka hanya menyampaikannya pada saat dibutuhkan, karena mereka takut akan terjadi penambahan atau pengurangan terhadap hadits yang disampaikan oleh Rasulullah. Ini adalah metode Ibnu Umar dan ayahnya (Umar) serta para sahabat lainnya. Adapun banyaknya hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, disebabkan banyaknya orang yang bertanya dan meminta fatwa kepadanya.

Adapun korelasi antara hadits dengan judul bab ini, bahwa ketika Nabi SAW bertanya kepada sekelompok orang. Ibnu Umar telah mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah pohon kurma. Karena definisi Al Fahmu (pemahaman) adalah kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat memahami suatu perkataan dengan memperhatikan konteksnya, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.

Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id mengenai wafatnya Nabi, yaitu Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih seorang hamba-Nya -dengan memanggilnya.”” Maka seketika itu Abu Bakar menangis dan berkata, “Kami pertaruhkan untukmu ya Rasulullah dengan segala kemampuan kami” sehingga semua orang yang hadir terkesima.

Hal itu dikarenakan Abu Bakar telah memahami dari konteks hadits yang diucapkan oleh Rasulullah bahwa beliau adalah orang yang dimaksud dalam sabdanya itu. Oleh karena itu, Abu Said berkata, “Abu Bakar adalah orang yang paling mengetahui dengan maksud perkataan Nabi tersebut.” Sesungguhnya Allah adalah Sang Pemberi petunjuk kepada kebenaran.

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 71

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَلَى غَيْرِ مَا حَدَّثَنَاهُ الزُّهْرِيُّ قَالَ سَمِعْتُ قَيْسَ بْنَ أَبِي حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Al Humaidi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan] berkata, telah menceritakan kepadaku [Isma’il bin Abu Khalid] -dengan lafazh hadits yang lain dari yang dia ceritakan kepada kami dari Az Zuhri- berkata; aku mendengar [Qais bin Abu Hazim] berkata; aku mendengar [Abdullah bin Mas’ud] berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal; (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain”.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 370-372 – Kitab Shalat

Keterangan Hadis: Umar berkata, “Dalamilah ilmu agama sebelum kalian menjadi pemimpin. ” Al Kasyinihani menambahkan dalam riwayatnya, “Dan setelah kalian menjadi pemimpin.” Sedangkan perkataan Umar dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalur Muhammad bin Sirin dari Al Ahnaf bin Qais bahwa Umar berkata (seperti disebutkan di atas). Sanad hadits tersebut adalah shahih.

Maksud Imam Bukhari menambahkan “dan setelah kalian menjadi pemimpin” adalah agar tidak menimbulkan kesan bahwa seseorang dibolehkan untuk tidak mendalami agama jika telah memperoleh kekuasaan, karena maksud dari perkataan Umar adalah bahwa kekuasaan sering menjadi penghalang seseorang untuk mendalami agama. Sebab, terkadang seorang pemimpin -karena perasaan sombong dan malunya- tidak mau duduk dalam suatu majelis bersama para penuntut ilmu.

Maka Imam Malik mengomentari tentang keburukan para qadhi (hakim) dengan berkata, “Jika seorang hakim telah turun dari jabatannya, maka ia tidak mau kembali ke dalam majelis yang pernah diikutinya.” Imam Syafi’i juga berkata, “Apabila terjadi berbagai peristiwa, maka ia tidak akan banyak mengetahui “

Dalam kitab Gharibul Hadits. Imam Abu Ubaid telah menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut: “Daiamilah agama selagi kalian masih menjadi orang kecil (rakyat) atau sebelum menjadi seorang pemimpin, karena jika kalian telah menjadi pemimpin, maka kalian akan merasa malu untuk menuntut ilmu kepada orang yang lebih rendah kedudukannya sehingga kalian tetap menjadi orang-orang yang bodoh. ” Sedangkan Syamir Al-Lughawi menjelaskan, bahwa maksud hadits tersebut adalah sebelum kalian menikah, karena jika seseorang telah menikah, maka ia akan menjadi pemimpin keluarganya apalagi jika telah dikaruniai anak.

Ada sehagian orang yang berpendapat bahwa Umar ingin menghilangkan sifat rakus terhadap kekuasaan, karena seseorang yang telah mendalami agama maka ia akan mengetahui bahaya kekuasaan, dengan demikian ia akan berusaha menjauhinya. Pendapat ini sangat jauh dari apa yang dimaksudkan, karena yang dimaksud dengan “Tusawwaduu” adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah lebih umum daripada pernikahan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengkhususkan makna kata tersebut, karena faktor yang menghalangi seseorang untuk mencari ilmu dapat berupa pernikahan ataupun hal-hal lainnya.

Al Karmani menafsirkan kata “Tusawwaduu” dengan arti “tumbuh jenggotnya”, sehingga hadits tersebut ditujukan kepada para pemuda agar mereka mendalami agama sebelum tumbuh jenggotnya atau bisa juga ditujukan kepada orang dewasa sebelum putih jenggotnya.

Ibnu Munir berkata, “”Kesesuaian antara perkataan Umar tersebut dengan judul bab adalah, bahwa Umar menjadikan kekuasaan sebagai salah satu hasil yang dicapai dari mencari ilmu. Oleh karena itu, beliau mewasiatkan kepada para muridnya agar menggunakan waktunya dengan baik dalam mencari ilmu sebelum menjadi pemimpin. Hal ini sangat mendorong seseorang dalam mencari ilmu, karena jika seseorang

mengetahui bahwa ilmu merupakan perantara untuk mencapai kekuasaan, maka ia akan menjadi giat belajar.”

Dalam hal ini. saya berpendapat bahwa maksud Imam Bukhari adalah menjelaskan, sesungguhnya jabatan kepemimpinan menurut kebiasaan sering menimbulkan iri hati dan dengki, namun ada hadits yang menunjukkan bahwasanya iri dan dengki tidak boleh terjadi kecuali dalam dua hal, yaitu ilmu dan kebaikan.

Baca Juga:  Bagaimana Cara Menilai Matan Hadis? Ini 4 Tolak Ukur Ala al-Ghazali

Tapi suatu kebaikan tidak dapat dikatakan sebagai hal yang terpuji jika tidak berdasarkan ilmu. Seolah-olah Imam Bukhari ingin mengatakan, “Belajarlah sebelum mendapat jabatan agar kalian bisa berlomba-lomba dalam kebaikan.”” Dia juga mengatakan, “Apabila sebuah jabatan menurut kebiasaan bisa menghalangi pemiliknya untuk menuntut ilmu, maka tinggalkan kebiasaan tersebut dan pelajarilah ilmu agar kalian benar-benar mendapatkan ghibthah yang sebenarnya.”

Adapun arti ghibthah adalah, seseorang berharap mendapatkan apa (nikmat) yang ada pada orang lain tanpa menginginkan hilangnya nikmat dari orang tersebut.

Hasad adalah sifat yang terdapat dalam diri seseorang, sehingga ia menginginkan hilangnya nikmat yang dimiliki orang lain.

Sebagian orang berpendapat bahwa hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain untuk menjadi miliknya sendiri. Akan tetapi pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa hasad adalah bersifat umum. Hal ini disebabkan karena manusia mempunyai tabiat selalu ingin mengungguli orang lain sehingga apabila ia melihat orang lain memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya, maka ia akan berharap agar benda itu lepas dari tangannya, dengan demikian ia akan lebih unggul atau paling tidak dapat menyamainya.

Orang yang mempunyai sifat semacam ini adalah orang yang tercela, jika hal itu terdetik dalam hati atau diungkapkan dengan perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu. sifat tersebut harus dijauhi sebagaimana larangan-larangan lainnya.

Sifat hasad dibolehkan jika nikmat tersebut dimiliki oleh orang kafir atau fasik yang dijadikan sebagai sarana untuk berbuat maksiat kepada Allah. Ini adalah definisi hasad secara umum. Adapun yang dimaksud dengan hasad dalam hadits di atas adalah ghibihah. Maksud ghibthah adalah perasaan ingin memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain tanpa ada perasaan ingin menghilangkannya dari pemiliknya. Hai semacam ini juga disebut dengan persaingan yang jika dilakukan untuk ketaatan, maka termasuk perbuatan yang mulia sebagaimana firman

Allah. “Untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Qs. Al Muthaffifiin (83): 26)

Sedangkan jika persaingan itu dilakukan untuk kemaksiatan, maka termasuk perbuatan yang tercela sebagaimana firman Allah, “Janganlah kalian berlomba-lomba.'” Tetapi jika dilakukan dalam hal-hal yang diperbolehkan, maka hukumnya adalah mubah (boleh). Dari sini seakan-akan Rasulullah bersabda dalam hadits ini, “Tidak ada persaingan yang lebih utama daripada persaingan dalam dua hal berikut ini, yaitu ilmu dan kebaikan. “

Pembatasan pada dua hal tersebut (ilmu dan kebaikan) dikarenakan ketaatan kepada Allah dapat berupa ketaatan fisik dan harta atau harta dan fisik. Dalam hadits di atas. Nabi telah mengisyaratkan ketaatan dalam bentuk fisik, yaitu dalam sabdanya: “Dan orang yang diberi Allah hikmah kemudian dipergunakannya dengan baik dan diajarkannya,” Juga dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar رَجُل آتَاهُ اللَّه الْقُرْآن فَهُوَ يَقُوم بِهِ آنَاء اللَّيْل وَآنَاء النَّهَار ‘Dan orang yang diberi Allah Al-Qur ‘an kemudian ia mengamalkannya sepanjang malam dan siang. “

Mengamalkan di sini adalah mengamalkan secara mutlak, tidak hanya sekedar membacanya di dalam maupun di luar shalat atau mengajarkannya. Akan tetapi termasuk dalam mengambil hukum atau fatwa, juga harus berdasarkan Al Qufan. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi (pertentangan) antara kedua lafazh hadits tersebut.

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Yazid bin Al Akhnas dengan lafazh, رَجُل آتَاهُ اللَّه الْقُرْآن فَهُوَ يَقُوم بِهِ آنَاء اللَّيْل وَآنَاء النَّهَار ، وَيَتَّبِع مَا فِيهِ “Dan orang yang diberi Allah Al Quran kemudian ia mengamalkannya sepanjang malam dan siang, dan mengikuti ajaran-ajarannya. “

Kata “hasad” dalam hadits tersebut juga dapat ditafsirkan secara hakiki (bukan kiasan), akan tetapi huruf istitsna ‘ (pengecualian) di sini bersifat mungathi’ (terpisah dengan kalimat sebelumnya). Dengan demikian, maksud dari hadits ini adalah meniadakan sifat hasad secara mutlak, dan kedua hal ini (ilmu dan kebaikan) merupakan hal yang terpuji atau tidak mengandung unsur hasad.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 489-490 – Kitab Shalat

إِلَّا فِي اِثْنَتَيْنِ (Kecuali kepada dua orang). Demikianlah disebutkan dalam banyak riwayat, yaitu dengan huruf ta’ta’nist (yang menunjukkan bentuk mu annats (feminin). Maksudnya adalah, sifat hasad (iri) tidak dibolehkan kecuali dalam dua hal. Sedangkan dalam bab “I’tisham” (berpegang teguh pada agama), Imam Bukhari menyebutkan dengan lafazh إِلَّا فِي اِثْنَيْنِ.

مَالًا (harta). Lafazh ini disebutkan dalam bentuk nakirah (indeftnit) agar mencakup seluruh jenis harta, baik dalam jumlah banyak atau sedikit.

هَلَكَته (Menghabiskannya). Kata tersebut digunakan untuk menunjukkan, bahwa ia membelanjakan semua hartanya sehingga ia tidak memiliki harta lagi. Kemudian Nabi menyempurnakan kata tersebut dengan kata فِي الْحَقّ (dalam kebenaran), yaitu dalam ketaatan kepada Allah. Kata ini disebutkan untuk menghilangkan adanya sifat boros yang berlebihan.

Maksud الْحِكْمَة adalah Al Qur’an, seperti yang lelah dijelaskan di atas. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah, segala sesuatu yang melindungi seseorang dari kebodohan dan keburukan.

Pelajaran yang dapat diambil

Dalam hadits ini. Abu Hurairah menambahkan kalimat yang mengindikasikan bahwa makna hasad dalam hadits tersebut adalah Al Ghibthah. Kalimat tersebut adalah فَقَالَ رَجُل لَيْتَنِي أُوتِيت مِثْل مَا أُوتِيَ فُلَان ، فَعَمِلْت مِثْل مَا يَعْمَل (Kemudian orang itu berkata, “Semoga Allah memberikan kepadaku seperti yang diberikan kepada si fulan, sehingga aku dapat melakukan apa yang ia lakukan.”) sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bab “Fadhailul Qur’an” (keutamaan A! Qur’an).

Dalam riwayat Tirmidzi dari Abu Kabsyah Al Anmari disebutkan, bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, maka ia menyebutkan sebuah hadits panjang yang menyamakan ganjaran orang yang membelanjakan hartanya dalam kebenaran dan orang yang tidak mempunyai harta namun ia berharap bisa melakukan seperti orang pertama tadi. Adapun lafazhnya adalah, وَعَبْد رَزَقَهُ اللَّه عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقهُ مَالًا ، فَهُوَ صَادِق النِّيَّة يَقُول : لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْت مِثْل مَا يَعْمَل فُلَان ، فَأَجْرهمَا سَوَاء “Dan ada hamba yang diberi rezeki oleh Allah berbentuk ilmu bukan harta, maka dengan niat yang tulus dia mengatakan, ‘Seandainya aku memiliki harta pasti aku akan berbuat seperti yang dilakukan si fulan. ‘ Maka ganjaran kedua orang tersebut adalah sama.” Kemudian diteruskan dengan lawannya yaitu, أَنَّهُمَا فِي الْوِزْر سَوَاء dan dosa kedua orang tersebut adalah sama.”

Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa sanad hadits ini adalah hasan shahih. Adapun penamaan kedua orang tersebut mempunyai ganjaran yang sama, merupakan jawaban atas pernyataan Al Khaththabi yang mengatakan, bahwa orang kaya yang mengindahkan syarat-syarat dalam membelanjakan harta adalah lebih baik daripada orang miskin. Memang dia lebih baik jika dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki harta, dan dia sama sekali tidak berharap bisa seperti orang tadi. Kita akan membahas masalah ini pada hadits الطَّاعِم الشَّاكِر كَالصَّائِمِ الصَّابِر Insyaa Allah.

M Resky S