Hakikat Manusia Menurut Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali

Hakikat Manusia Menurut Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali

Pecihitam.org – Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin di bab yang menerangkan tentang keajaiban hati, al-Ghazali memandang bahwa hakikat manusia adalah kalbu (hati). Diterangkan bahwa keistimewaan dan kelebihan manusia di antara makhluk-makhluk lainnya adalah bahwa manusia memiliki potensi untuk makrifat kepada Allah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Makrifat pada Allah Yang Mahatinggi di dunia adalah keagungan dan kesempurnaan-Nya, sementara bagi kehidupan akhirat, makrifat Allah merupakan perbendaharaan dan kemuliaannya. Adapun tangga untuk mencapai makrifat Allah adalah dengan kalbunya. Dan bukan dengan pancaindra serta anggota badannya.

Kalbu atau hati dalam arti ruhani sering disebut akal, nafsu dan ruh. Kalbu atau hati ini merupakan hakikat manusia yang berwujud zat halus dan bersifat Ilahi. Dengan hati inilah manusia mampu menangkap baik alam kebendaan ataupun alam keruhanian dan bahkan alat untuk makrifat kepada Allah itu sendiri.

Sebagai bentuk jasmani, hati dibedakan dengan akal, nafsu dan ruh. Hati dalam kejasmanian adalah segumpal daging yang berada dalam dada sebelah kiri.

Demikian ruh dalam arti kejasmanian berupa zat halus yang bersumber dari dalam hati jasmani, mengalir ke seluruh anggota badan melalui aliran darah dan urat-urat yang menghidupi seluruh tubuh manusia.

Baca Juga:  Al-Hallaj: Biografi dan Pemikirannya Tentang Hulul

Sedangkan nafsu dalam pengertian jasmani adalah nama bagi kekuatan syahwat yang menjadi sumber bagi timbulnya watak-watak tercela. Sedangkan akal dalam jasmani adalah kekuatan yang merupakan sifat ilmu yang tempatnya terdapat dalam hati.

Selanjutnya, al-Ghazali mengibaratkan kehidupan manusia pada hakikatnya laksana orang yang sedang naik kereta kuda. Kusir yang merupakan hakikat manusia dalam kalbu (akal, nafsu, ruh) sedang kuda penghela keretanya, jenis nafsu yang mendorong ke arah keduniawian, yakni nafsu lauwamah dan nafsu amarah yang bersumber dari kekuatan ghodlob.

Maka bila sang kusir tidak sanggup mengendalikan kedua kuda tunggangnnya, ia akan disesatkan oleh kuda-kudanya, yakni ke arah keduniawian dan tiada memedulikan yang haq dan benar. Karena sifat hawa nafsu cenderung ke arah hal-hal yang tercela, maka seseorang yang hidupnya dikuasai nafsu lauwamah dan amarah akan menjadi budak hawa nafsu.

Sebaliknya, jika sang aku (kalbu, ruh, akal, nafsu) dapat menguasai dan mengendalikan nafsu lauwamah dan amarahnya, maka bersinarlah sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya. Yang muaranya membangkitkan watak cinta, kasih sayang, kebaikan, kesucian, kemuliaan, keadilan, kejujuran, dan keluhuran. Bahkan watak asli dari ruh manusia adalah selalu rindu untuk makrifat dengan Allah yang merupakan sangkan paraning dumadi hidupnya.

Baca Juga:  Al-Hayawan Al-Nathiq: Hakikat Manusia, Rasional yang Spiritualis

Perjuangan yang paling pokok dalam hidup manusia, menurut al-Ghazali, adalah untuk menampakkan sifat-sifat ketuhanan yang terpendam dalam lubuk hatinya. Yakni dengan jalan mengenal, menguasai dan membasmi watak-watak hewani yang memperbudak jiwanya.

Perjuangan untuk menguasai dan memerangi hawa nafsu kebinatangan, dalam Islam disebut sebagai jihad akbar, yakni perang melawan musuh dalam selimut diri manusia.

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali secara berhadap-hadapan membagi manusia menjadi Abdul Hawa dan Abdullah (hamba Allah). Bagi golongan yang hidupnya diabdikan untuk melampiaskan hawa nafsu, akan tampak tiga pola watak yang menguasai hidupnya.

Jika manusia dikuasai oleh nafsu lauwamah akan tampak watak bahimiyah-nya, jika nafsu amarah watak yang muncul adalah sabu’iyah. Bila hidup manusia dikuasai oleh kedua nafsu itu secara bersama-sama, maka akan menjelma menjadi watak syaitoniyah, yakni takabur, hasut (dengki), jahil, dan lain-lain.

Sebaliknya, jika hidup manusia dipersembahkan kepada Allah (Abdullah) maka tampak sifat-sifat ketuhanannya berupa cinta, keindahan, keadilan, kejujuran, kerinduan, kemuliaan da nada dambaan untuk makrifat kepada Allah.

Baca Juga:  Belajar Cinta dari Tokoh Sufi Jalaluddin Rumi

Selain itu, al-Ghazali pun menjelaskan bahwa manusia juga memiliki bakat untuk menjadi penjahat dan bijaksana. Dengan kata lain, manusia sangat potensial untuk menjadi insan kamil (manusia sempurna) atau menjadi penjahat yang paling buas dibanding kebuasan binantang.

Konsep insan kamil ini, diungkapkan al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz Min al-Dlalal dengan ungkapan “kekeramatan para wali itu, pada hakikatnya adalah taraf permulaan dari tingkat kenabian”.

Wali, atau umumnya disebut waliyullah adalah orang yang telah dianugerahi penghayatan makrifat kepada Allah, dan menjadi orang suci yang dikasihi Allah.

Menurut al-Ghazali, wali Allah adalah orang suci yang selalu takut kepada Allah. Wali dianugerahi berbagai ilmu gaib sehingga bisa mengetahui hal-hal yang terjadi di dunia.

Wali Allah, dengan demikian, merupakan gambaran insan kamil yang dapat dicapai dengan jalan tasawuf. Wali itu adalah orang yang dapat mencapai keruhanian yang selapis di bawah pangkat kenabian dan memancar sifat-sifat ketuhanan. Dengan begitu, hakikat manusia yang sebenar-benarnya, dapat dilihat melalui tingkat kewalian tersebut.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *