Seputar Hukum Mahar yang Dihutang dalam Pernikahan, Ini Penjelasannya

hukum mahar yang dihutang

Pecihitam.org.,- Mahar, satu kata inilah yang sangat penting ketika seorang lelaki hendak menikahi seorang wanita. Dan mengapa harus ada mahar? Tentu ini tidak lain karena Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan kita sebagai seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya. Namun yang kadang menjadi pertanyaan ialah terkait, hukum mahar yang diberikan secara kontan dan mahar yang dihutang.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya mahar adalah salah satu hukum akad yang wajib ada, sekaligus merupakan pemberian seorang suami kepada istrinya sebagai bentuk ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kepada sang istri. Sebagaimana yang dilukiskan Allah Swt., dalam QS. an Nisa [4]: 4

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”

Sedangkan kadar dari mahar itu sendiri tidak secara mutlak disebutkan jumlahnya yang harus terpatok pada angka tertentu, bahkan para Fuqaha telah sepakat bahwa tidak ada batas tertinggi dari mahar itu. Lain halnya jika kita memandang mahar dari batas rendahnya maka para ulama berbeda pendapat

Pertama, Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in sepakat bahwa mahar tidak ada batas rendahnya, dimana sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan sebagai mahar, begitupun dengan apa dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.

Baca Juga:  Inilah 5 Asas Penting dalam Fiqih Jinayah / Hukum Pidana Islam

Kedua, sebagian fuqaha lainnya seperti Imam Malik dan sebagian pengikutnya mengatakan bahwa mahar paling sedikit seperempat dinar emas murni atau perak seberat tiga dirham sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar adalah sepuluh Dirham atau yang senilai dengannya.

Lantas bolehkah hukum mahar seorang wanita dihutang oleh suaminya yang mungkin karena ketidakmampuan memenuhi jumlah mahar yang telah ditentukan oleh pihak wanita?

Memandang perkara ini, maka sepatutnya si laki laki yang hendak memberikan mahar kepada Wanita untuk membayar sebagian dari mahar yang akan diberikan secara kontan, sebagaimana Sabda Rasulullah Saw.,

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw., melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya ‘saya tidak punya apa apa’, maka Rasulullah menjawab, ‘Dimanakah baju besi Huthamiyyah-mu? Lalu berikanlah barang itu kepada Fatimah”

Dari hadits diataslah seolah memberikan jalan bahwa alangkah baiknya jikalau memberikan sebagian atau separuh dari mahar yang akan diberikan kepada si pihak wanita. Yang dapat dinilai sebagai tindakan yang lebih baik dan secara hukum dipandang sunnah. (Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group), h. 65)

Baca Juga:  Begini Hukum Menghitung Hari Baik dan Buruk Yang Perlu Diperhatikan

Sedangkan dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fikih.

Pertama, Segolongan ahli fikih beranggapan bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara dihutang secara keseluruhan.

Kedua, segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka bilamana akan menggauli sang istri.

Ketiga, pembolehan lainnya dalam mahar yang dihutang tetapi hanya untuk masa tenggang waktu terbatas dan jelas, dan pendapat inilah dikemukakan oleh Imam Malik.

Sedangkan pelaksanaan pembayaran mahar sebagai berikut

  1. Mahar dibayar secara kontan
  2. Mahar dibayar dengan cara ditangguhkan sampai batas waktu yang disepakati
  3. Mahar dibayar dengan cara dicicil sampai lunas
  4. Mahar dibayar dengan cara pemberian uang maka, sisanya diangsur atau sekaligus dengan cara perjanjian (Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka setia, 2013), h. 268)

Lantas bagaimana jika mahar yang tadinya dihutang kemudian dalam hubungan pernikahan tersebut terputuskan baik karena sang istri diceraikan atau karena ditinggal mati?

Pertama, jikalau suami menceraikan si istri, maka si istri masih berhak mendapatkan mahar yang tadinya dihutang. Sekalipun mereka belum berhubungan badan, dan paling tidak jumlah mahar yang diberikan ialah separuh dari jumlah mahar yang telah ditentukan. Sebagaimana Firman Allah Swt., dalam QS. Al Baqarah [2]: 237

Baca Juga:  Bermakmum Pada Imam yang Shalatnya Beda, Sahkah Shalat Kita?

“Jika kamu menceraikan Istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya. Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Istri-istrimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”

Kedua, Jika suami meninggal padahal mahar yang telah ditentukan belum terlunasi, maka utang maharnya dapat diambil dari harta warisan yang ditinggalkannya, kalaupun dia tidak mempunya harta warisan. Maka keluarga dekatnyalah yang wajib membayarkannya. (Miftah Faridh, 150 Masalah nikah dan keluarga, Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 97)

Semoga bermanfaat!

Rosmawati