Hutang Orang Yang Sudah Meninggal, Siapa yang Menanggung?

hutang orang yang sudah meninggal

Pecihitam.org – Hutang orang yang sudah meninggal secara finansial dibagi menjadi dua kategori. Pertama utang finansial yang berhubungan dengan Tuhan seperti tanggungan zakat, orang tua yang sudah tidak kuat lagi menjalankan ibadah puasa Ramadhan sehingga ia harus membayar fidyah, dan lain sebagainya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Begitu juga seumpama ada orang yang selama hidupnya tidak pernah membayar zakat sama sekali padahal ia masuk kategori orang mampu, sedangkan ia meninggal dalam keadaan masih belum membayar zakat-zakatnya.

Kedua, hutang finansial yang berhubungan dengan sesama manusia seperti hutang uang, pakaian, beras dan lain sebagainya.

Allah SWT berfirman:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (setelah dibayar) utangnya.” (QS An-Nisa’: 11)

Aset orang yang meninggal dunia tidak boleh dibagikan kepada ahli waris terlebih dahulu sebelum tanggungan finansial mayit terpenuhi.

Ada sedikitnya tiga pandangan ulama tentang mana yang semestinya diprioritaskan jika ada orang meninggal dengan mempunyai dua jenis tanggungan di atas.

  1. Pertama, yang harus diselesaikan pertama kali adalah hutang finansial kepada Allah. Pendapat ini yang paling shahih.
  2. Kedua, lebih penting mendahulukan hutang sesama manusia.
  3. Ketiga, masing-masing mempunyai kedudukan yang sama.

Masing-masing dari perbedaan tiga pandangan di atas dikupas panjang lebar di beberapa kitab fiqih (Lihat selengkapnya: an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Muhadzzab [Darul Fikr], juz 6, halaman 232).

Adapun bagi orang meninggal dalam keadaan mempunyai tanggungan utang, ahli waris tidak bisa begitu saja membelanjakan harta warisan tanpa mendapatkan izin dari semua orang yang dihutangi oleh mayit sebelum utang-utang tersebut dibayar.

Bagaimanpu juga, orang yang mempunyai piutang mendapat hak kepemilikan aset yangh ditinggalkan mayit. Sehingga segala transaksi apa pun yang menggunakan harta mayit harus atas persetujuan orang-orang yang mempunyai piutang kepada si mayit tersebut.

Baca Juga:  Onani dan Masturbasi: Hukum Merangsang Diri Sendiri dalam Islam

Jika seseorang meninggal dunia, entah ia meninggalkan aset warisan cukup banyak ataupun sedikit, dan kemudian ada salah satu keluarga mengumumkan bahwa semua hutang tanggungan si mayit ia yang menanggung, maka pergeseran tanggungan hutang ini hukumnya sah.

Akan tetapi, meskipun pergeseran tanggungan tersebut sah, hutang mayit itu tetap dianggap belum lunas jika keluarga atau penanggung yang bersedia menanggung hutang tersebut belum membayarkan utang mayit tersebut secara kontan.

Sebagaimana yang disampaikan Ibnu Ziyad berikut ini:

“Ada orang meninggal dunia. Ia mempunyai tanggungan hutang. Namun ia juga meninggalkan aset yang berbanding lurus dengan jumlah utang atau bahkan lebih banyak. Utang mayit dianggap belum lunas selama belum benar-benar dibayar secara kontan. Adapun jika ada ahli waris atau siapa saja yang berkenan menanggung hutang mayit dengan misi supaya tanggungan utang mayit kepada pribadi penanggung, hukumnya tetap tidak bisa secara otomatis lunas. Demikian menurut pendapat masyhur.

Adapun pendapat yang berdasar atas perkataan Sayidina Ali radliyallahu ‘anh yang menegaskan lunasnya tanggungan mayit bisa sebab ada yang menanggung tersebut hanya mengarah kepada hukum pergeseran tanggungan utang orang lain termasuk orang yang meninggal itu hukumnya sah (namun tidak menjadi lunas jika tidak dibayarkan secara tunai). (Ibnu Ziyad, Ghayatu Talhishil Murad, [Darul Fikr, Beirut, 1994), halaman 219.

Lalu bagaimana jika hutang orang yang sudah meninggal dunia yang harus dibayar melebihi aset yang ia tinggalkan atau bahkan misalnya ia tidak punya tinggalan aset sama sekali? Apakah ahli warisnya mempunyai kewajiban untuk membayarnya?

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Tidur di Masjid? Ini Penjelasannya

Para ulama bersepakat bahwa istilah warisan utang tidak ada dalam fiqih. Apabila memang orang yang meninggal dunia mempunyai tanggungan hutang menggunung, di sisi lain ia tidak meninggalkan aset cukup, maka ahli waris tidak otomatis berkewajiban membayar hutang-hutang si mayit.

Akan tetapi jika ada ahli waris atau orang yang berkeinginan untuk berbaik hati, melakukan kesunnahan maka hukumnya sah-sah saja membayarkan hutang keluarganya yang sudah meninggal dunia. Imam Al-Qurthubi mengatakan;

وبالاجماع لو مات ميت وعليه دين لم يجب على وليه قضاؤه من ماله، فان تطوع بذلك تأدى الدين عنه.

Artinya: “Sesuai konsensus ulama, jika ada orang meninggal, sedangkan ia mempunyai tanggungan hutang, maka bagi walinya tidak wajib membayarkan hutang dengan mengambil harta walinya. Namun apabila ia ingin berbuat sunnah melalui demikian, bisa melaksanakan dengan cara membayarkan hutang yang telah ditanggung mayit tersebut. (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Quran, [Maktabah Ar-Risalah, Beirut, 2006 M], juz 5, halaman 230).

Lalu bagaimana misalkan keluarga tersebut memang tidak mampu lalu dimintakan zakat. Hutang mayit diambilkan dari bagian gharim daripada ashnaf zakat?

Imam Nawawi menyampaikan dalam karyanya Al-Majmu’, beliau mengutip dari Syekh Husain Yahya Al-Yamani, bahwa zakat yang disalurkan untuk melunasi utang mayit atas nama gharim terdapat dua pendapat.

Pertama, tidak boleh. Pendapat ini berdasarkan As-Shaimariy, mazhab An-Nakha’iy, Abu Hanifah dan Ahmad.

Kedua, boleh-boleh saja sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut spesifikasi orang hidup atau mati.

Baca Juga:  Hukum Memakai Cadar, Ini Pendapat Para Ulama Mazhab

ـ (فَرْعٌ) لَوْ مَاتَ رَجُلٌ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَا تِرْكَةَ لَهُ هَلْ يُقْضَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ فِيهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا صَاحِبُ الْبَيَانِ (أَحَدُهُمَا) لَا يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ الصَّيْمَرِيِّ وَمَذْهَبُ النَّخَعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ (وَالثَّانِي) يَجُوزُ لِعُمُومِ الْآيَةِ وَلِأَنَّهُ يَصِحُّ التَّبَرُّعُ بِقَضَاءِ دَيْنِهِ كَالْحَيِّ وَلَمْ يُرَجِّحْ وَاحِدًا مِنْ الْوَجْهَيْنِ

Artinya: “Jika ada orang meninggal, ia mempunyai tanggungan utang sedangkan ia tidak mempunyai aset yang ditinggalkan. Apakah utang boleh dibayarkan dari jatah “gharimin” (orang-orang hutang)? Di sini terdapat dua wajah. Pertama, tidak boleh. Pendapat ini dilontarkan oleh As-Shaimariy, mazhab An-Nakha’iy, Abu Hanifah dan Ahmad. Kedua, boleh-boleh saja sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut spesifikasi orang hidup atau mati.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Darul Fikr], juz 6, halaman 211)

Menurut Ad-Darimi, kebolehan mengambil jatah zakat untuk melunasi hutang orang yang sudah meninggal tersebut apabila memang tidak ada ahli waris yang membayarkannya. Sedangkan menurut Syekh Yusuf bin Ahmad Ibnu Kajjin tetap tidak diperbolehkan ambil harta zakat, hingga untuk membeli kain kafan pun harus dibebankan kepada ahli waris meskipun mereka orang yang miskin. Wallahua’lam Bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *