Imam Bukhari: Sang Pembela Ahlussunnah wal Jamaah

Imam Bukhari Sang Pembela Ahlussunnah wal Jamaah

Pecihitam.org – Imam Bukhari memiliki nama lengkap yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al-Bukhari, yang Lebih masyhur dikenal dengan nama Imam Bukhari.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ia dilahirkan pada hari Jumat, 13 Syawal 194 H di Bukhara, Uzbekistan Asia Tengah. Kakek beliau bernama Bardizbeh, seorang keturunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Namun orang tuanya yang bernama Mughoerah, sudah memeluk Agama Islam dalam asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.

Imam Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’, maksudnya beliau sangat berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram.

Imam Bukhari juga dikenal sebagai salah seorang pembela mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebuah mazhab keagamaan yang menjadi ajaran para sahabat dan tabiin. Ketokohan Imam Bukhari sebagai Imam Ahlussunnah tergambar secara khusus dalam pembukaan karya monumentalnya, Shahih Bukhari, yang ia beri tajuk “Kitab al-Iman”

Dalam tajuk kitab tersebut, selain ia menyelamatkan hakikat keimanan kepada Allah Swt. dari bahaya perpecahan, penyelewengan, dan dalil-dalil yang menyimpang dalam memahami Dzat dan agama-Nya, serta dari kekuasaan yang zalim, ia juga meletakkan dasar-dasar mazhab Ahlussunnah dan membantah paham Murji’ah yang dianggap sebagai sekte pertama yang suka membuat-buat bid’ah dalam agama, sehingga dianggap keluar dari paham yang shahih dalam sejarah Islam.

Sebagaimana aI-Qur‘an menyebut mereka ini dengan: “Orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (QS: Ali Imran [3]: 7).

Bahkan, bisa dikatakan, bid’ah-bid’ah yang muncul setelahnya juga akibat perbuatan bid’ah yang mereka Iakukan tersebut. Semuanya saling terkait satu sama lain. Sehingga, bid’ah-bid’ah semacam ini mengancam eksistensi kemurnian hadits-hadits Nabi.

Bila ditelusurl lebih lauh, awal mula penyelewengan kaum Murji’ah tersebut berasal dari paham mengenai sifat Allah yang diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham: “Apakah sifat Allah termasuk ‘ain ad-dzat-Nya, ataukah sesuatu yang berada di luar dzat-Nya?” Konon, mata rantai pemikiran Ja’d bin Dirham ini bersumber dari Aban bin Saman, dari Thalut, dari Labid bin al-A’sham, seorang Yahudi yang pernah menyihir Nabi Saw. Dan, Labid sendiri menerima pemikiran ini dari seorang Yahudi yang berasal dari Yaman.

Mengenai sosok Ja’d bin Dirham ini, lbnu Taimiyah berkata, “Ja’d bin Dirham berasal dari daerah yang bernama Harran. Penduduk di sana banyak yang mengikuti ajaran Shabi’ah-ajaran agama peninggalan raja Namrud dan ajaran kaum Kan’an yang memercayai kekuatan sihir. Sebagai catatan, Namrud adalah seorang raja kaum Shabi’ah yang musyrik-sebagaimana Kisra adalah raja Persia yang memeluk agama Majusi, Pharaoh adalah raja Mesir, Najasyi adalah raja Habasyah, Bathalomeus adalah raja Yunani, dan Kaisar adalah raja Romawi.

Baca Juga:  Pantaskah Wahabi Disebut Sebagai Ahlussunnah wal Jamaah?

Pada era Namrud-era Nabi Ibrahim a.s. diutus-mayoritas kaum Shabi’ah masih berada dalam kungkungan kemusyrikan. Mereka suka menyembah bintang dan membuat berhala sebagai sesembahan. Hanya sedikit saja dari mereka, yang beragama tauhid-memercayai adanya Allah, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur‘an.

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada AHah, hari kemudian, dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 62).

Dan, dalam ayat yang lain: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. AI-Ma‘idah [5]: 69).

Dari kaum ini pula, Abu Nashr al-Farabi-seorang tokoh filsuf Islam abad ketiga Hijriyah-mempelajari dan mengadopsi teori-teori Filsafat mereka. Sebagaimana pula, Jahm bin Shafwan-seperti penuturan Imam Ahmad bin Hanbal dan ulama yang lain-mempelajari ilmu filsafat dari beberapa filsuf India ketika berdebat dengan sekte Samaniyah.

Sementara filsafat yang dianut oleh para filsuf India berasaskan pada pengingkaran terhadap seluruh cabang ilmu, kecuali ilmu yang dapat diterima melalui panca indera (hissy). Adapun Ibnu Taimiyah berkata, “Mata rantai (sanad) keilmuan Jahm bin Shafwan bersumber dari ajaran Yahudi, paham Shabi’in, dan paham kaum musyrikin, sedangkan filsuf yang sesat adalah mereka yang berasal dari golongan Shabi’in dan golongan musyrikin.

Paham sesat ini kian merebak pada abad kedua Hijriyah, terlebih dengan munculnya buku-buku filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Romawi dan Yunani ke dalam Bahasa Arab. Sehingga, tanpa disadari, sedikit demi sedikit, banyak dari musuh-musuh Islam memasukkan tipu daya mereka ke dalam hati orang-orang yang memang sejak awal sudah diselimuti kesesatan.

Pada abad berikutnya, tepatnya abad ketiga Hijriyah, berkembanglah ajaran Jahmiyah. Ajaran ini diprakarsai oleh Bisyr bin Ghiyats al-Marisi dan para kelompoknya. Mereka ini gemar sekali mengecam-bahkan menyesatkan perkataan dan pendapat para ulama semisal Imam Malik, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Ibnu Mubarak, Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Fudhail bin lyadh, Imam Bisyr al-Hafi, dan para Imam Ahlussunnah lainnya.

Akan tetapi, karena kegigihan Imam Bukhari dalam melindungi agama Ini dari para pembuat bid’ah tersebut, agama ini, terutama melalui sunnah Nabinya, akhirnya bisa terselamatkan kemurniannya. Beliau juga mampu mengembalikan hadits-hadits Nabi yang sempat diselewengkan kepada jalan yang benar.

Baca Juga:  Biografi Imam Tirmidzi Pengarang Kitab Sunan at Tirmidzi

Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa Imam Bukhari dinobatkan sebagai seorang tokoh yang gigih memperjuangkan kebenaran dan mengalahkan yang batil; mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah; dan berusaha menempatkan yang haq pada tempatnya secara tepat.

Atas dasar kegigihan Imam Bukhari dalam membela sunnah Nabi ini, banyak dari para ulama semasanya, dan bahkan para ulama setelahnya, memuji dan mengakui kecerdasan akal dan kelembutan pribadinya. Tak hanya itu, mereka juga mengakui kebesaran nama Imam Bukhari di bidang keilmuan agama, dan bahkan karya besar “Shahih Bukhari” secara aklamatis ditempatkan dalam urutan kedua setelah al-Qur‘an.

Imam adz-Dzahabi, seorang sejarawan terkemuka Islam klasik, misalnya, menuliskan bahwa: “Imam Bukhari adalah seorang penulis riwayat hadits-sumber agama setelah al-Qur‘an. Dengan kerja kerasnya, agama Allah hingga saat ini terjaga dengan baik. Dan, atas kerja kerasnya pula, Allah menganugerahkan ilmu, amal, dan kelembutan akhlak kepadanya, sehingga ia dapat diterima di bumi dan di langit.”

Oleh karena itu, tak heran apabila generasi setelahnya, bahkan hingga generasi saat ini, selalu mengenang nama dan karya-karyanya, meski pada kenyataannya, banyak di antara mereka tidak mengetahui secara detail perjuangan Imam Bukhari dalam memperjuangkan agama Allah Swt. tersebut

Setelah kitab Shahih Bukhari selesai ditulis, Imam Bukhari juga berhasil menyusun karya lain yang menjadi penopang karya utamanya tersebut, yaitu aI-Jami’ aI-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi. Kitab ini bisa dibilang sebagai karya yang pertama kali menuliskan hadits shahih tanpa ada tambahan hadits-hadits lain.

Oleh sebab itu, dengan kedua karyanya tersebut, Imam Bukhari layak mendapatkan pujian dan sanjungan dari kaum muslimin. Mengomentari kitab keduanya ini, Imam Syihabudin Abu Fadhlillah al-Umari (w. 749 H.) berkata, “Kitab al-Jami’ ash-Shahih menjadi sumber dari setiap karya kitab hadits, dan terbukti ia dapat menjadi sarana kesuksesan, serta menjadi hujjah untuk mendapatkan kemenangan. Dengan kitab tersebut, hampir seluruh tipu muslihat musuh dapat teridentifikasi dan ditangkal sedemikian rupa.

Sekiranya tak berlebihan bila dikatakan bahwa kitab tersebut sudah menjadi sarana penting dalam mencari solusi berbagai persoalan yang melanda umat. Sementara dari segi sistematika penulisan, kitab ini termasuk kitab yang sistematis dalam peletakan bab-babnya, dan sangat rinci tatkala menjelaskan kandungan-kandungan makna yang ada di dalam lafazh-Iafazh hadits.

Sedangkan dari segi keshahihannya, tak seorang pun yang meragukan ketelitian dan kecermatan hadits-hadits yang ditulis; tak seorang pun yang mampu mengikuti persyaratan yang diketengahkan Imam Bukhari saat menyebut hadits-haditsnya.

Dan, dari segi kemanfaatannya, kitab ini selalu-bahkan hingga detik ini-diambil keutamaannya oleh masyarakat Islam; kitab yang diakui oleh mayoritas ulama sebagai kitab yang paling shahih.”

Baca Juga:  Ahlussunnah wal Jama’ah Asya’irah Yang Mendominasi Islamisasi Nusantara

Oleh karena itu, kehadiran sosok Imam Bukhari di negeri Bukhara tersebut bagaikan terangnya slnarmatahari tatkala ia bersinar. Kehadirannya di dunia ini disambut oleh awan yang dipenuhi dengan wewangian ambar yang memayunginya ke mana pun Ia pergi. Penduduk Transoxiana pantas mencucurkan air mata haru karena mendapat kehormatan atas kehadiran sang imam di negeri mereka.

Dengan kebesaran, kehormatam dan keikhlasan Imam Bukhari dalam mengemban ajaran-Nya, ia akhirnya dapat melewati perialanan dunia fana ini dengan penuh kemuliaan, hingga akhirnya ia bertemu dengan malaikat yang berkata kepadanya, “Salamun ‘alaikum bima shabartum”. Alangkah baiknya tempat kesudahan (surga-Nya) bagi dirinya.

Dalam catatan sejarah, Imam Bukhari pernah melakukan perjalanan mencari hadits kepada para muhaditsin yang ada di setiap pelosok negeri Khurasan, Jibal, lrak, Syam, Mesir, Hijaz, ataupun di negeri-negeri lainnya.

Setiap kali ia singgah di suatu negeri, para penduduk berbondong-bondong menyambutnya dengan penuh penghormatan. Mereka sangat mengakui berbagai keutamaan yang dimilikinya, dan percaya bahwa ia yang paling unggul dalam bidang riwayah dan dirayah hadits Nabi. Sehingga, sangat beralasan ketika Syekh Ali Thanthawi menyebutnya dengan gelar Amirul Mukminin dalam bidang hadits (Amfrul Mukminfn fi al-Hadits).”

Bila kita tempatkan-sekaligus bandingkan-sosok Imam Bukhari dan karyanya ini dalam skala yang lebih luas, terutama dalam kekayaan khazanah keilmuan Islam secara umum, barangkali sangat menarik apabila kita kutip pertanyaan sekaligus pengakuan lbnu Taimiyah tatkala ia mencoba meraba-raba kekayaan keilmuan Islam sesungguhnya, “Sebenarya berapa banyak jumlah karya para sarjana Muslim saat ini?”

la melanjutkan, “Amat banyak, tetapi dari berjuta-juta karya sarjana Muslim tersebut, semuanya tidak ada yang dapat menandingi kemasyhuran, keutamaan, dan kebesaran karya Imam Bukhari-sebuah karya yang ditempatkan pada urutan kedua setelah al-Qur‘an; karya yang dijadikan hujjah di hadapan Allah Swt.; dan karya yang dijadikan referensi kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.

Pustaka:

Prof. Dr. Yahya Ismail, Biografi Imam Bukhari, hlm.7-13
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz VII. hlm. 351.
Ibid, Juz V, hlm.22
At-Taudhid, Juz I, hlm.26
Masalik Al-Abshar fi Mamalik al-Amshar, Juz V, hlm.255

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *