Islam dan Pancasila, Mengapa Tak Perlu Dipertentangkan?

Islam dan Pancasila, Mengapa Tak Perlu Dipertentangkan?

PeciHitam.org Bertepatan dengan tanggal 1 Juni 1945, Pancasila ditetapkan dalam sebuah Rapat Penutup BPUPKI (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Badan ini merupakan bentukan Jepang untuk tetap mendapatkan dukungan tokoh-tokoh bangsa Indonesia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Soekarno membuat sebuah konsep tatanan Nilai yang kemudian terkenal dengan Konsep pancasila. Maka tanggal ini pada Tahun 2016 ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila oleh Presiden Republik Indonesia. Konsep ini tetap kukuh menjadi Ideologi Negara hingga saat ini.

Dasar Ideologi Pancasila untuk Negara yang mayoritas Islam bukannya tidak menerima ganjalan dan pertentangan. Islam yang  secara kultural dan ajaran memiliki tata nilai sendiri tentu tetap kukuh dipegang oleh pemeluknya.

Hubungan Islam dan Pancasila memiliki sejarah panjang dan fluktuatif sesuai dengan bumbu-bumbu isunya. Tidak terkecuali, pada saat awal kemerdekaan banyak riak ketidak-puasan dari kalangan Islam Modern-Konservatif yang mana ingin mendirikan negara berbasis Islam sebagai dasar Negara.

Hubungan Islam dan Pancasila dalam tataran Ideologis dan praktis bisa ditelisik dalam Ijtihad pemikiran para cendekiawan Muslim. berikut penjelasaanya!

Daftar Pembahasan:

Panas Dingin Negara dan Agama

Islam menjadi agama mayoritas di Nusantara dengan jumlah pemeluk lebih dari 200 juta. Angka yang sangat besar dari jumlah penduduk 280an juta yang berpaspor Indonesia. Akan tetapi mayoritas Islam tidak menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.

Awal kemerdekaan menunjukan bahwa pendiri Bangsa Indonesia bukan hanya dari golongan Nasionalis Sekuler yang memisahkan Agama dan Negara, akan tetapi terdapat tokoh Islam sekelas KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir dan Agus Salim.

Tokoh-tokoh ini berjibaku dalam memikarkan dasar negara yang tepat supaya menjadi negara yang kuat di atas perbedaan. Penerimaan Panitia Sembilan terhadap Pancasila bukan menjadi akhir dari perseteruan Isu Agama dan Negara. Karena Isu ini terus menjadi Komoditas, baik agama, sosial, pemikiran sampai Politik di Nusantara.

Kalangan Islam Modern yang  merujuk kepada semangat Pan-Islamisme (kebangkitan Islam) yang tumbuh di Timur Tengah dan Asia Tengah banyak yang  menolak Pancasila karena kekecewaaan terhadap NKRI. Pemberontakan Darul Islam/ Negara Islam Indonesia kepada NKRI merupakan contoh kecil ketegangan NKRI dengan Agama.

Agama dihadapkan kepada Negara yang sebenarnya hanya untuk kepentingan elitis kecil yang terlanjur ingin berkuasa. Kekalahan dalam setiap usaha yang dicanangkan dengan menggunakan sentimen Agama tidak sepenuhnya hilang.

Era modern sekarang ini, tetap ada gerakan-gerakan yang kecil yang berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam bukan kebangsaan. Sebuah Kampanye yang menampilkan dan memanfaatkan setimen agama yang berlebihan untuk membenturkan komponen bangsa dalam konflik.

Kampanye propaganda yang membenturkan Agama dan Negara tidak lain untuk menimbulkan sebuah gerakan bughah (pemberontakan) bagi segelintir elit yang ingin berkuasa. Kepanjangannya bisa dilihat pada era modern, yang mana banyak ‘tokoh’ yang berteriak tentang kriminalisasi ‘Ulama’.

Baca Juga:  Tiga Peran Penting Nahdlatul Ulama dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Teriakan ini tidak lain untuk membuat sebuah Narasi dalam kerangka membenturkan Agama dan Negara untuk menarik ceruk keuntungan kekuaasaan.

Terlepas dari Isu ini, Islam adalah sebuah Nilai Absolut yang bisa digunakan oleh Manusia seluruh dunia dalam bentuk tatanan Nilai, tidak harus bentuk Formal.

Islam dan Pancasila: Internalisasi dan Formalisasi

Fenomena yang terjadi di Nusantara memberikan gambaran yang aneh dalam menggambarkan hubungan Agama dan Negara. Beberapa Ormas yang mengklaim diri sebagai Organisasi Modern malah banyak mempersoalkan bentuk modern, sedangkan disatu pihak ada sebuah ormas Tradisional bisa menerima nilai-nilai Islam kontemporer.

Pemikiran para cendekiawan Islam seperti Abdurrahman Wahid, Achmad Musthofa Bisri, Mahbub Junaidi dan Fahmi D Saifudin menunjukan bagaimana seharusnya Negara dan Agama mengatur ritme hubungannya. Islam merupakan sebuah Ideologi ajaran yang bersifat transeden, wahyu Ilahiyah dan dipastikan kebenarannya.

Sedangkan Negara adalah hasil Ijtihad kemanusiaan dengan berpedoman kepada nilai-nilai yang berasal dari akal pikiran manusia. Negara Ketuhanan adalah sebuah delusi yang mustahil diwujudkan karena tidak mungkin tuhan memiliki Negara. Maka seharusnya dalam bernegara mengikuti Pola Negara yang terinternalisasi dengan nilai Agama.

Internalisasi Islam dalam sebuah negara kiranya tergambar dalam Asas-asas Bernegara ala Nusantara, NKRI. Indonesia memiliki Ideologi Negara bernama pancasila yang dalam banyak pandangan Ulama memiliki nilai-nilai keislaman yang tepat dan proporsional.

Bentuk Ijtihad Ulama Nusantara tersebut tidak berlebihan karena poin-poin dalam Islam masuk didalamnya. Persetujuan tokoh KH Hasyim Asy’ari melalui KH Wahid Hasyim  merupakan sebuah tanda bahwa tidak ada masalah dalam pancasila, walaupun diakui banyak kekurangan dalam segi praksisnya.

Kekurangan dalam praktek merupakan kekurangan yang bersifat teknis, tidak bisa dijadikan alasan untuk menyalahkan nilai dasar. Sebagaimana ada seorang beragama Islam mencuri, maka tidak serta merta Islam itu agama yang salah.

Islam dan Pancasila merupakan sebuah bukti tentang Internalisasi nilai kedalam Ideologi Negara tanpa menimbulkan perpecahan dan pertumpahan darah. Lain halnya dengan usaha Formalisasi nilai yang dalam lintasan sejarah sering pemicu peperangan dan pertumpahan darah.

Tahrirdam (pertumapahan darah) adalah sebuah pantangan yang banyak dianut oleh Ulama-ulama Nusantara. Keinginan Internalisasi nilai Islam diwujudkan dengan mendukung Islam dan Pancasila berjalan beriringan. Dengan tidak mempertentangkan dalam kerangka mengikuti Ijtihad Ulama Nusantara merupakan jalan kebenaran.

Nalar Ideologis Pancasila

Nalar Ideologis untuk bisa menerima pancasila bukan semata-mata hasil pemikiran sekuler. Pemikiran/ kontemplasi yang mendalam dan pergulatan pemikiran yang bersumber dari 5 pokok cara berpikir dalam Islam.

Baca Juga:  Dialektika Islam dan Budaya Lokal Jawa dalam Aktivitas Sosial

5 pokok cara berpikir Moderat/ islam Wasatiyah tersebut adalah Tawazun (seimbang), Ta’adul (berkeadilan) tassamuh (toleransi), Tawassut (Moderat), Taawun (saling menolong).

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩

Artinya; “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan tersebut. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Qs. Ali Imran: 159)

Tafsir tentang redaksi (وَشَاوِرْهُمْ) merujuk kepada perjanjian yang bisa dicapai dengan akal budi manusia. Tidak melulu berdasarkan wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini pernah dilakukan oleh Sahabat Ali bin Abi Thalib yang melakukan perjanjian dengan Mu’awiyah bin Abi Shufyan.

Hanya golongan Khawarij yang menolak dan ‘melaknat’ perjanjian atas dasar kesepakatan manusia. Bahkan golongan ini mengambil posisi sebagai musuh mereka yang menyetujui/ meratifikasi perjanjian tafkhim dumatul jandal.

Tafsir tentang (فِي الأمْرِ) merujuk kepada urusan yang bersifat duniawi seperti Perpolitikan, ekonomi, mu’ammalah,  dan simpul kesosialan lainnya. Fokus utama dari makna teks (فِي الأمْرِ) adalah boleh melakuakn Ijtihad dalam bentuk apapun selama tidak masuk dalam ranah Ketauhidan dan Ketuhanan.

Oleh karena itu, Islam dan Pancasila bukan masalah yang harus dipertentangkan akan tetapi bisa saling mengisi nalar ideologi Umat Islam. Pancasila bukan sebagai berhala yang menjadi sesembahan, hanya sekedar hasil Ijtihad Ulama Nusantara.

Pancasila memang tidak terdapat dalam Ajaran Islam, akan tetapi Nilai Pancasila tidak terlepas dari nafas keislaman. Teks pancasila poin pertama menunjukan bahwa,

  1. Pancasila mengakui adanya Eksistensi ketuhanan, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Ikhlas ayat 1;

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (١

Artinya; Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa” (Qs. Al-Ikhlas: 1)

Islam dan Pancasila tidak bertentangan karena dua entitas ini sama-sama mengakui nilai ketuhanan, dan tentunya dalam Islam diwujudkan dalam Asma Allah SWT.

  1. Nilai pancasila kedua yakni kemanusiaan, humanity yang dalam wacana keislaman dimaknai sebagai Allah menerangkan bahwa keberagaman bisa menjadikan keharmonisan;

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣

Artinya; Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Qs. Al-Hujurat; 13)

  1. Keadailan, menunjukan bahwa Islam dan Pancasila tidak bertentangan. Islam dengan jelas menghargai adanya sikap keberadilan bahkan dengan mereka yang berbeda sekalipun. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah;
Baca Juga:  Benarkah Tradisi Haram Seperti Kata Wahabi?

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (٨

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Qs. Al-Maidah: 8)

  1. Musyawarah untuk menentukan kemaslahatan menunjukan bahwa Islam dan Pancasila tidak pantas untuk ditarungkan. Allah SWT menunjukan dalam ayat untuk bermusyawarah;

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩

Artinya; “Bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Qs. Ali Imran: 159)

  1. Poin kelima adalah keadilaan sosial yang merata untuk semua komponen bangsa. Sebagaimana Allah Firmankan dalam Al-Qur’an;

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (٩٠

Artinya; “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (Qs. An-Nahl: 90)

Islam dan Pancasila jika ditilik dalam literasi Keislaman Klasik memang tidak akan ditemukan terminologinya. Akan tetapi tidak menjadi dasar untuk menyalahkan secara buta tanpa memandang argumentasinya. Perjalanan sejarah dan pergulatan pemikiran serta Ijtihad Ulama Nusantara cukup untuk menjaga Islam dan Pancasila di NKRI.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan