Pecihitam.org – Ketika ada orang yang meninggal sering kali kita mendengar Adzan tak kala jenazah dimasukkan ke dalam liang lahat. Beberapa kalangan menganggap itu perbuatan yang dilarang, karena menganggap Adzan hanya untuk shalat saja. Namun bagaimana sebenarnya hukum mengadzani jenazah diliang lahat?
As-Syeikh Isma’il Usman Zein Al-Yamani beliau berfatwa bahwa hukum mengadzani jenazah diliang lahat adalah boleh dan hal tersebut tidak apa-apa. Karena adzan ketika menguburkan mayat atau meletakkan di liang lahat mempunyai faedah secara umum dan khusus .
Faedah umumnya yaitu adzan ini termasuk dzikir, dan berdzikir ketika memasukkkan mayat ke kubur adalah hal yang terpuji. Adapun faedah khususnya yaitu bahwasanya adzan dan iqamat mempunyai faedah untuk mengusir syaithan. ( Kitab Qurratul Ain Bi Fatawa Syeikh Ismail Zain halaman 235).
Adapun keterangan menganalogikan keluarnya seseorang dari dunia dengan lahir ke dunia yaitu: banyak dari para ulama’ yang menyebutkan masalah ini dan mereka menqiyaskan (menganalogikan) adzan ini dengan adzan di telinga bayi saat dilahirkan kedunia oleh karenanya disunnahkan pula ketika di ia keluarkan dari dunia. Karena agar seseorang yang baru keluar dari perut ibunya menuju dunia diiringi dengan dzikir begitupula baguslah kiranya seseorang yang keluar dari dunia menuju akherat juga diiringi dengan dzikir. (kitab Quratul ain bi Fatawa Ismail Usman Zain halaman 236).
Dari pandangan para ulama mazdhab Syafiiyah, adzan dan iqamah tidak hanya khususkan sebagai penanda masuknya waktu shalat, baik oleh dasar hadist ataupun implementasi dari makna hadist. Maka dari itu ada sebagian ulama yang membolehkan adzan ketika pemakaman mayit, dan sebagian lainnya ada yang tidak menganjurkan hal tersebut.
Dalam hal ini ahli fikih Ibnu Hajar al-Haitami berkata:
قَدْ يُسَنُّ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ كَمَا فِي آذَانِ الْمَوْلُودِ ، وَالْمَهْمُومِ ، وَالْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إنْسَانٍ ، أَوْ بَهِيمَةٍ وَعِنْدَ مُزْدَحَمِ الْجَيْشِ وَعِنْدَ الْحَرِيقِ قِيلَ وَعِنْدَ إنْزَالِ الْمَيِّتِ لِقَبْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَوَّلِ خُرُوجِهِ لِلدُّنْيَا لَكِنْ رَدَدْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَعِنْدَ تَغَوُّلِ الْغِيلَانِ أَيْ تَمَرُّدِ الْجِنِّ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ ، وَهُوَ ، وَالْإِقَامَةُ خَلْفَ الْمُسَافِرِ (تحفة المحتاج في شرح المنهاج – ج 5 / ص 51)
“Terkadang adzan disunahkan untuk selain shalat, seperti adzan di telinga anak yang lahir, orang yang kesusahan, orang yang pingsan, orang yang marah, orang yang buruk etikanya baik manusia maupun hewan, ketika sedang berperang, ketika terjadi kebakaran, dikatakan juga ketika menurunkan mayit ke dalam liang lahat, diqiyaskan seperti saat pertama lahir ke dunia. Namun saya membantahnya di dalam kitab Syarah al-Ubab. Juga disunahkan saat kerasukan jin, berdasarkan hadis sahih, begitu pula adzan dan iqamah saat melakukan perjalanan”
(Tuhfat al-Muhtaj 5/51)
Di kitab lainnya Ibnu Hajar secara khusus menjelaskan masalah ini:
( وَسُئِلَ ) نَفَعَ اللَّهُ بِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ . (الفتاوى الفقهية الكبرى – ج 3 / ص 166)
“Ibnu Hajar ditanya: Apa hukum adzan dan iqamat saat menutup pintu liang lahat?
Ibnu Hajar menjawab: Ini adalah bid’ah.
Barangsiapa yang mengira bahwa adzan itu sunnah ketika turun ke liang lahat, dengan diqiyaskan pada anak yang lahir ke dunia. Dengan persamaan akhir hidup dengan permulaan hidup, maka tidak benar. Dan dari segi apa persamaan keduanya? Kalau hanya antara permulaan dan akhir hidup tidak dapat disamakan” (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra 3/166)
Namun tentunya yang dimaksud bid’ah disini bukanlah bid’ah yang sesat. Karena Ibnu Hajar ketika menyebut bid’ah umumnya menyebut dengan kata “al-Madzmumah”, atau “al-Munkarah” dan lain sebagainya dalam kitab yang sama. Beliau hanya sekedar menyebut bid’ah karena di masa Rasulullah Saw hal tersebut memang tidak diamalkan
Mengadzani jenazah diliang lahat awal pertama kali dilakukan adalah di abad ke 11 hijriyah berdasarkan ijtihad seorang ahli hadis di Syam Syria, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh al-Muhibbi: Yaitu Muhammad bin Muhammad bin Yusuf bin Ahmad bin Muhammad Ia diberi gelar Syamsuddin al-Hamawi. Berasal dari ad-Dimasyqi, kelahiran al-Midani, asy-Syafii. Ia seorang yang alim di Syam, ahli hadis disana, pemuka ulama dan al-hafidz yang kokoh.
Ia wafat di Qoulanj hari Senin 13 Dzulhijjah 1033 ketika dhuha. Disalatkan sebelum Ashar dan dimakamkan di pemakaman ‘pintu kecil’ di dekat makam orang tuanya. Ketika janazahnya diturunkan ke kubur, para muadzin melakukan bid’ah yang mereka lakukan selama beberapa tahun di Damaskus, yang diampaikan oleh beliau (Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Yusuf) kepada mereka bahwa ‘adzan ketika pemakaman adalah sunnah’. Ini adalah pendapat lemah yang dipilih oleh sebagian ulama generasi akhir. Pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar dalam kitab al-Ubab dan lainnya, maka mereka melakukan adzan di kuburnya” (Khulashat al-Atsar 3/32)
Dari pendapat pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa:
- Jawaban ini melihat dari sudut pandang ulama’ yang membolehkan adzan ketika memasukkan mayat ke kubur.
- Faedah mengadzani jenazah antara lain adalah sebagai dzikir.
- Di dalam madzhab Syafii ada dua pendapat dalam masalah ini, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan dan semua mempunyai wijhat nadzor ( sisi pandang ) sendiri-sendiri.
- Hendaknya kita untuk toleransi di antara pendapat ulama yang mungkin tidak sesuai dengan pendapat kita.
- Pendapat dari Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah jelas dan tidak perlu dipertentangkan dan didebatkan.
Wallahua’lam Bisshawab