Muhadharah, Mukasyafah dan Musyaha­dah: Perjalanan Spiritual Para Sufi Menuju Allah

Muhadharah, Mukasyafah dan Musyaha­dah: Perjalanan Spiritual Para Sufi Menuju Allah

Pecihitam.org- Perlu dipahami, dalam aktifitas mendekatkan diri pada allah, seorang salik umumnya mendapat proses-proses perubahan dalam tingkatan. Diantara tingkatan proses ini adalah Muhadharah Mukasyafah dan Musyaha­dah

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Muhadharah merupakan kehadiran hati, selanjutnya setelah itu terjadi mukasyafah, yakni kehadiran hati yang disertai kejelasan (ketersingkapan), lalu timbulah musyahadah, yakni kehadiran Al-Haqq (dalam hati) tanpa bingung dan linglung.

Apabila “langit sirri” (rahasia ketuhanan) bersih dari “mendung sitru”, maka “matahari kesaksian” akan muncul atau terbit dari bintang kemuliaan.

Hakikat musyahadah seperti yang dikatakan Imam Al-Junaid:

Wujud Al-Haqq bersama kelenyap­anmu. Salik yang mengalami muhadharah terikat dengan ayat­-ayat-Nya. Salik yang mencapai mukasyafah dilapangkan dengan sifat-sifat-Nya. Dan salik yang memiliki musyahadah ditemukan dengan Dzat-Nya. Salik yang muhadharah akalnya menunjuk­kannya. Salik yang mukasyafah ilmunya mendekatkannya. Dan salik yang musyahadah ma’rifatnya menghapusnya.” Tidaklah bertambah penjelasan mengenai hakikat musya­hadah kecuali diperkuat dengan apa yang diutarakan ‘Amru bin Utsman Al-Maki.

Inti ucapan yang disampaikannya adalah menerangkan bahwa hakikat musyahadah adalah cahaya-cahaya tajalli yang datang susul-menyusul pada hati salik tanpa disusupi sitru dan keterputusan, sebagaimana susul-menyusulnya kedatangan kilat.

Baca Juga:  Ibnu Athaillah: Bertaubatlah Setiap Waktu

Malam yang gelap gulita dengan disertai kilat yang datang susul-menyusul dan sambung ­menyambung dapat menjadikannya terang seperti dalam siang.

Demikian juga hati jika senantiasa diterangi dengan keabadian tajalli, maka kenikmatan “anugerah siang” (kiasan tentang konti­nuitas anugerah keilahian dan ketersingkapan ketuhanan dengan pemanjangan waktu siang hingga menjangkau malam hari) akan selalu mengada, sehingga malam tidak lagi ada.

Mereka bersyair: “malamku dengan wajah-Mu terbit bersinar cahaya
kegelapannya pada manusia berjalan di waktu malam manusia dalam kepekatan malam yang gelap gulita sedang kami dalam cahaya siang yang terang benderang.” An-Nuri berkata, “Tidak sah musyahadah salik selama dia dalam keadaan hidup. Jika waktu pagi terbit, lampu tidak dibu­tuhkan lagi.”

Segolongan ulama sufi membayangkan bahwa musyahadah menunjukkan keberadaan ujung taftiqah (perpisahan, lihat pasal farqu) karena bab mufa’alah (timbangan kata) dalam bahasa Arab hanya terjadi dalam penerapan di antara dua makna.  Ini jelas menunjukkan khayalan pelakunya karena di dalam penampakan AI-Haqq adalah kehancuran makhluk.

Baca Juga:  Tasawuf Sebagai Solusi Alternatif Problem Manusia Modern

Dalam syair dikatakan: “Ketika menjadi terang pagi hari cahayanya memancar dengan sinar-sinar yang berasal dari pantulan, sinar-sinar bintang meminumkan pada mereka segelas demi segelas, saat cobaan membakar sehingga membuatnya terbang secepat orang yang pergi menghilang. Gelas apapun akan mencabut mereka dari akarya dan mem­buat mereka fana’ (hancur). Gelas menyambar mereka dan tidak membiarkan mereka, tetap dalam keberadaan. Padahal tidak ada gelas yang menetapkan dan memercikkan mereka. Gelas yang mencabut mereka secara keseluruhan dan tidak sedikit pun tulang-belulang manusia yang masih membekas dan ada.” Adalah seperti yang dikatakan sufi: “Mereka berjalan di malam hari tidak tetap, tidak membekas dan tidak meninggalkan jejak.”

Ulama’ Sufi, Yakni Imam Al Qusyairi Rahimahulloh mengatakan : ”Muhadhoroh adalah kehadiran hati, kemudian setelah itu terjadi mukasyafah, yaitu kehadiran hati yang disertai kejelasan (ketersingkapan), kemudian timbullah musyahadah, yaitu kehadiran Al Haq/Alloh dalam hati tanpa bingung dan linglung. Apabila “langit sirri” (Rahasia KeTuhanan) bersih dari “mendung sitru”, maka “matahari kesaksian” terbit dari bintang kemuliaan …” (Al Risalatul Qusyairiyyah : 75).

Baca Juga:  Tari Sufi Dalam Pemaknaan Jalaluddin Rumi

Jika melihat dari syair di atas maka sudah jelas bahwa Muhadharah Mukasyafah dan Musyaha­dah merupakan Mustolahat Tasawuf ( Istilah yang digunakan Ulama’ shufi ) yang berhubungan dengan kondisi spiritual seorang Salik untuk sampai kepada Al-Haq yakni Allah SWT (Wushul), bukan berkaitan dengan supranatural seperti Jin dan Jun, Khodam V Brawijaya, Ilmu Ladunni, Karomah yang oleh sebagian orang “di plintir” untuk kepentingan “komunitas-nya.” Seakan-akan mereka itu golongan Ahli Tasawuf.

Mochamad Ari Irawan