Peran Negara dalam Pengelolaan Zakat Umat Islam di Indonesia

Peran Negara dalam Pengelolaan Zakat Umat Islam di Indonesia

Pecihitam.org- Negara Indonesia, meskipun bukan negara Islam, namun memiliki jumlah penduduk yang beragama Islam terbesar di dunia. 87,21 % atau sekitar 207.176.162 jiwa penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam agama Islam, terdapat kewajiban-kewajiban (taklif) yang dibebankan kepada pemeluknya sebagai bentuk ketaatan pemeluknya dan penghambaan kepada Tuhannya.

Kewajiban-kewajiban tersebut termuat dalam rukun Islam yang berjumlah lima, yaitu : membaca dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah puasa dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah.

Dari beberapa rukun Islam tersebut, perintah untuk mendirikan shalat dan membayar zakat umat islam tampaknya lebih ditekankan oleh agama Islam, karena kedua rukun tersebut merupakan pondasi keimanan seorang Muslim.

Dalam al-Quran, kitab suci umat Islam, perintah untuk mendirikan shalat selalu diiringi dengan perintah membayar zakat. Menurut Yusuf al-Qaradlawi, dalam al-Quran kata zakat disebut sebanyak 30 kali.

27 kali diantaranya beriringan dengan shalat dalam satu ayat dan pada satu tempat kata zakat disebutkan dalam satu konteks dengan shalat meskipun tidak disebutkan dalam satu ayat, yaitu pada surat al-Mu’minun (23) : 1-4. Yusuf al- Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, cet. II, 1973, Beirut : Muassasah ar-Risalah.

Sebagai pranata sosial-ekonomi yang lahir pada abad ke-7 M, zakat adalah sistem fiskal pertama di dunia yang memiliki kelengkapan aturan yang luar biasa, mulai dari subyek pembayar zakat, obyek harta zakat (mal al-zakat) beserta tarifnya masing-masing (miqdar al-zakat), batas kepemilikan harta minimal tidak terkena zakat (nishab), masa kepemilikan harta (haul), hingga alokasi distribusi penerima dana zakat (mustahiq).

Baca Juga:  Pengertian, Tujuan, dan Hukum Mengeluarkan Zakat

Jika diterapkan secara sistemik dalam perekonomian, khususnya perekonomian berbasis aturan dan semangat Islam yang komprehensif, zakat juga akan memiliki berbagai karakteristik dan implikasi ekonomi yang penting dan signifikan, yang membuatnya diinginkan secara social.

Namun demikian, aspek pengelolaan zakat atau administrasi zakat tidak banyak mendapat pengaturan dalam syariat Islam. Nabi Muhammad SAW tercatat mengelola dan meregulasi zakat secara langsung dan memperlakukannya sebagai bagian dari keuangan negara.

Namun, contoh itu terjadi dalam kondisi struktur negara yang masih sederhana, tingkat perekonomian yang rendah dan luas kekuasaan wilayah negara yang terbatas.

Seiring meningkatnya populasi masyarakat Muslim dan perluasan wilayah negara Islam, Nabi Muhammad SAW kemudian mengangkat sejumlah besar petugas zakat.

Dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menutup seluruh wilayah jazirah Arab dengan petugas zakatnya. Hal ini kemudian menjadi landasan secara umum bahwa sejak masa Nabi Muhammad SAW masalah zakat adalah urusan dan tugas pemerintah.

Namun yang lebih jelas terlihat adalah diangkatnya para petugas khusus zakat oleh Nabi Muhammad SAW ini, menandai era baru di mana zakat kini tidak hanya dikelola secara personal oleh Nabi Muhammad SAW, namun juga dikelola secara kolektif oleh petugas profesional yang mendapat bagian dari zakat terhimpun di bawah alokasi ‘amilin.

Nabi Muhammad SAW sebagai pengelola zakat tidak menerima bagian dari zakat, begitu pun keluarga dan kerabatnya semasa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Dengan demikian, telah terjadi transformasi pengelolaan zakat yang mengarah pada struktur yang formal, kolektif, terorganisir dan permanen sejak masa Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga:  Zakat Penghasilan; Pengertian, Qiyas hingga Syarat dan Nisabnya

Sejarah Islam mencatat, seiring perkembangan wilayah kekuasaan, tingkat perekonomian yang semakin maju dan struktur pemerintahan yang semakin kompleks, kebijakan pengelolaan zakat berubah secara dinamis sesuai perubahan zaman, yang terlihat mengikuti kaidah tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyah manuth bi al-mashlahah (kebijakan pemerintah terkait dengan rakyat terikat dengan kemaslahatan umum).

Karena itu, sejak awal Islam, pengelolaan zakat telah menjadi ruang ijtihad yang luas berbasis mashlahah. Perubahan politik dan komitmen keagamaan penguasa memberi dampak besar terhadap dinamika pengelolaan zakat oleh negara dan menimbulkan diskursus yang tajam di antara para fuqoha’ yang terekam dalam kajian fiqh klasik.

Di era modern kini ketika sebagian besar negara Muslim atau negara dengan penduduk mayoritas Muslim adalah sekuler, kajian fiqh kontemporer tidak cukup memberikan perhatian pada isu ini.

Secara umum, kini terdapat lima bentuk pengelolaan zakat di masyarakat Muslim kontemporer, yaitu :

Pertama, sistem pengumpulan zakat secara wajib oleh negara;

Kedua, pengumpulan zakat secara wajib, namun dilakukan oleh masyarakat atau swasta;

Ketiga, pengumpulan zakat secara sukarela oleh negara;

Keempat, pengumpulan zakat secara sukarela oleh swasta;

Kelima, pengumpulan zakat secara sukarela di tingkatan individual tanpa pengelolaan secara kolektif sama sekali.

Sebagai negara yang memiliki populasi penduduk Muslim terbesar di dunia, persoalan zakat pun menjadi tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Besarnya penduduk Muslim Indonesia berbanding lurus dengan besarnya potensi zakat di negara ini. Potensi zakat di Indonesia yang mencapai 217 triliun rupiah merupakan jumlah yang sangat besar yang dapat menjadi solusi finansial dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia.

Baca Juga:  Perintah "Khudz Min Amwalihim" dalam Al-Quran, Apa Maksudnya?

Penelitian Beik (2012) secara empiris membuktikan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin, kesenjangan pendapatan dan tingkat keparahan kemiskinan pada keluarga miskin. Ini menunjukkan bahwa zakat memiliki potensi yang besar sebagai instrumen untuk mereduksi kemiskinan dan pengangguran.

Di negara-negara yang menjadikan agama Islam sebagai landasan konstitusi negara, pelaksanaan zakat adalah suatu kewajiban. Ada pemaksaan dari negara kepada warga negara untuk membayar zakat dan terdapat sanksi atas kelalaian pembayaran zakat.

Di negara-negara ini, zakat dimasukkan dalam sistem keuangan negara, bahkan bisa dikatakan sebagai pajak wajib umat Islam karena negara tersebut tidak membebankan pajak kepada pemeluk agama Islam kecuali zakat.

Negara Indonesia bukanlah negara agama / negara Islam, di mana syariat agama Islam dijadikan sebagai landasan konstitusi negara, melainkan negara demokrasi yang menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan konstitusi.

Mochamad Ari Irawan